Pak Jk Bilang Siapa Mengawasi Siapa

Ridhmedia
18/10/19, 17:57 WIB

Pak Jusuf Kalla, biasa disapa Pak JK yaitu pria murah senyum, yang selalu terlihat, kapanpun ia muncul, dengan raut wajahnya solah selalu basah dengan air wudhu. Pak JK, pria asal Sulawesi Selatan ini, bukan pria biasa. Dua kali menjadi Wakil Presiden jelas bukan hal biasa. Semakin tidak biasa karna Pak JK dua kali menjadi Wakil Presiden buat dua figur presiden yang berbeda. Ini yaitu satu pencapaian yang tidak dapat, setidaknya sejauh ini, dicapai orang lain dalam tradisi politik kepresidenan Indonesia. Ini kasus spesifik.

Dirinya, karna itu perlu diakui mempunyai pengetahuan praktis serta aktual tentang seluk-beluk hubungan antar lembaga negara. Rasanya pengetahuannya soal ini lebih dari siapapun. Karena lebih dari siapapun itulah, maka penilaiannya tentang kesamaan status lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945 dikala ini, beralasan didalami lebih jauh.

Penilaian itu disampaikan Pak JK kepada pimpinan MPR dalam pertemuan mereka (Kamis, 17 Oktober) di rumah dinasnya. Menirukan diskripsi Pak JK, Bambang Soesatyo, Ketua MPR dari Golkar, yang sempat merintis jalan menuju Ketua Umum Golkar ini, serta bisa menjadi bakal terus merintis memperbesar jalan itu, mengungkapkan hal yang dikatakan Pak JK. Katanya Pak JK pun mempertanyakan siapa yang berwenang mengawasi lembaga jika semua lembaga mempunyai kewenangan yang sejajar. Yang menjadi pertanyaan Pak JK siapa mengawasi siapa? (Republika.co.id, Kamis, 17/10).

Harus Sangat Cermat

Pidato dua sahabat baginda Muhammad Rasulullahu Alaihi Wasalam, Sayidina Abubakar serta Sayidina Umar, berkelas. Kata Sayidina Abubakar pada pidatonya sesaat setelah diangkat selaku khalifah; Saudara-saudara saya sudah diangkat menjadi pemimpin, bukan karna saya yang terbaik di antara kalian semuanya. Untuk itu jika saya berbuat baik bantulah aku, serta jika saya berbuat salah, luruskanlah aku.

Kujur, Sayidina Abubakar melanjutkan yaitu amanah, serta kesombongan yaitu hianat. Orang lemah di antrara kalian saya pandang kuat posisinya disisiku serta saya bakal melindungi hak-haknya. Orang kuat di antara kalian saya pandang lemah posisinya disisiku  dan saya bakal mengambil hak-hak mereka yang mereka peroleh dengan cara yang jahat buat saya kembalikan kepada yang berhak menerimanya. Sungguh berkelas.

Tidak kalah berkelasnya yaitu pidato sayidina Umar Bin Khattab, lekas setelah dilantik selaku khalifah. Kata-katanya dalam pidato itu sungguh merupakan pantulan jiwanya. “Aku ini keras, banyak orang takut padaku.” Kalau saya nanti salah, lalu siapa yang berani mengingatkanku.

Tidak berapa lama muncul seorang dengan menghunus pedang, seraya mengatakan akulah yang bakal meluruskanmu. Hebat, berkelas betul. Sayidina Umar menyambut seruan itu dengan “Alhamudlillah, masih ada orang yang hendak serta berani mengingatkanku".

Pidato seperti itukah yang bakal diucapkan Pak Jokowi lekas setelah diambil sumpahnya di MPR? Saya tidak berharap, serta memang tidak perlu berharap. Sejarah juga menyodorkan serangkaian kenyataan tentang penguasa yang tidak suka diawasi. Mereka karna itu, dalam sejarah, memutar otak buat menemukan segala cara agar tidak terawasi. Runya sejarah itulah yang membawa James Madison, arsitek UUD Amerika menemukan cara, yang kelak disebut ilmuan tata negara serta politik dengan check and balances.

Pengawasan, buat alasan serta kepentingan apapun, selalu menjadi hal penting. Apalagi dalam bernegara. Itu bukan karna tidak ada orang jujur, adil, penyanyang, pembela orang-orang kecil, berpihak penuh pada hak, serta tegas berkelahi dengan kejahatan, siapapun penjahat itu, yang memerintah. Sama sekali tidak.

Bukan juga karna tidak ada malaikat yang datang memerintah, serta memang tidak ada malaikat yang memerintah. Karena malaikat, demikian James Madison, tidak menjadi pemerintah, serta pemerintah itu bukan malaikat, mereka mempunyai ambisi, maka ambisi itu perlu dilawan dengan ambisi dari cabang kekuasaan lainnya. Setiap orang dibekali nafsu, ambisi serta kepentingan, yang bisa membawanya menjadi tiran, sehingga kekuasaan itu perlu dikontrol.

Cara melokalisir ambisi, serta kepentingan itu yaitu mengerangkakan, menyatukan, ambisi serta kepentingan itu pada hukum, pada  konstitusi. Itu pertimbangan filosofisnya. Bagaimana teknis pembatasannya? Teknisnya yaitu menyebarkan atau meleburkan unsur-unsur tertentu dari satu cabang kekuasaan ke cabang kekuasaan yang lain. Skema ini tumpang tindih.

Mereka akhirnya perlu saling mengawasi secara berimbang, cheks and balances dalam statusnya selaku organ yang satu serta lainnya sejajar. Tidak ada satu lembaga yang lebih tinggi statusnya dari yang lainnya. Menyatakan perang misalnya yaitu kekuasaan yang sepenuhnya bersifat eksekutif. Tetapi DPR dilibatkan pada dikala presiden  menggunakan kekuasaan ini. Bagaimana bentuk pelibatannya?

Dalam kasus Indonesia Presiden menjadi Panglima tertinggi Angkatan darat, Angkatan Laut serta Angkatan Udara. Presiden juga memegang kekuasaan menyatakan perang. Tetapi DPR dilibatkan pada dikala Presiden hendak menggunakan kekuasaan ini. Bentuk pelibatan DPR adalah “memberi persetujuan.” Memberi pengampunan, sesuai asalnya sepenuhnya menjadi urusan eksekutif. Tetapi Yudikatif dilibatkan dikala presiden hendak menggunakan hak itu. Bentuknya yaitu “memberi pertimbangan.”

Peringatan

MPR yang mengubah UUD 1945, sangat hati-hati dalam urusan ini. Mereka memperhitungkan dengan tepat kemungkinan terjadi konflik, sengketa antarlembaga negara. Tergoda dengan mengerti bernegara berdasarkan hukum, tentu dalam makna terbatas, mereka menyediakan cara memecahkan konflik itu. Penyelesaiannya dilakukan lewat hukum. Mahkamah Konstitusi disediakan buat menyelesaikan sengketa tipikal itu.

Lalu mengapa Pak JK masih mempertanyakannya? Suka atau tidak, Pak JK bisa menjadi merupakan satu-satunya orang yang sangat mengerti seluk-beluk hubungan antarlembaga negara secara praktis. Dan Pak JK, saya duga, lebih dari siapapun, tahu bernegara atau berpemerintahan menurut konstitusi memerlukan kearifan-kearifan khas. Mungkin juga Pak JK, yang dituntun pengalamannya sampai pada penilaian meyakinkan kalau penyelesaian lewat forum hukum, setuntas apapun, tetap saja menyisakkan atau tidak tuntas dalam penilaian moral non hukum.

Penyelesaian lewat forum hukum, buat alasan apapun, dimanapun serta dalam kasus apapun, selalu meninggalkan luka. Selalu ada yang terluka, buat beberapa lama. Entah diperhitungkan atau tidak, dalam kenyataannya MPR yang mengubah UUD 1945 sudah menempatkan Mahkamah Konstitusi serta Mahkamah Agung selaku pengadilan terakhir dalam penyelesaian sengketa hukum di negeri ini, tanpa menyediakan alternatif lain.

Entah kurang daya imajinasi atau sebab lain, kenyataannya MPR tidak dirancang ulang, kala itu tentu saja, menjadi lembaga yang memegang fungsi itu; menyelesaian sengketa antar lembaga negara. Padahal cara ini tidak serta-merta membawa serta menjadikan MPR lembaga tertinggi negara. Toh MPR, dalam rancang ulang itu sudah tidak lagi berstatus selaku satu-satunya organ pemegang serta pelaksana kedaulatan rakyat. Juga tidak lagi diberi kewenangan membuat Ketetapan MPR diluar GBHN.

Akankah MPR memperhatikan dengan sungguh-sungguh peringatan Pak JK itu? Politisi tidak selalu dapat ditebak ujung kata-katanya. Apalagi Pak JK, sudah berada dihari-hari yang pendek memasuki akhir jabatan selaku Wakil Presiden. Siapa mengawasi siapa, memang bukan kata akhir Pak JK, tetapi pertanyaan kritis itu menandai jejak Pak JK di ujung jalan pemerintahan ini tentang perlunya pengawasan. Pak JK, selamat memasuki hari baru; hari-hari mengurus masjid, bersantai serta bercanda dengan cucu-cucu.

Jakarta, 18 Oktober 2019

Penulis: Margarito Kamis
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+