Pidato Pelantikan Berkualitas Khalifah Abu Bakar, Akankah Terulang?

Ridhmedia
20/10/19, 04:04 WIB

Pidato Pelantikan Berkualitas Khalifah Abu Bakar, Akankah Terulang?

Oleh: Wahyudi al Maroky
(Dir. PAMONG Institute)

“Jika saya melaksanakan hal yang baik maka bantulah saya. Dan jika saya menyeleweng maka luruskanlah saya” -Abu Bakar Ash-Shiddiq-

Ibarat minum kopi, tidak kan ada yang bisa dituangkan dari teko jika isinya tidak ada. Jenis yang bisa dituangkan dari teko pun tergantung apa isinya. Teko yang berisi kopi tidak boleh menjadi mengeluarkan anggur merah. Demikian juga teko yang berisi air comberan tidak boleh menjadi mengeluarkan air susu. Jadi teko hanya menuangkan apa isi di dalamnya.

Demikian juga manusia, ibarat teko ia bakal menuangkan apa isi yang ada di dalamnya. Apa yang keluar dari ucapan seseorang yaitu cerminan apa yang ada dalam hati serta pikirannya. Kalaupun bakal ditutupi hanyalah bisa sebentar saja, tidak kan bertahan lama, selanjutnya bakal keluar juga aslinya.

Sebagaimana manusia biasa, seorang pemimpin pun dapat dinilai dari ucapan serta tindakan yang ditampilkannya. Jika ucapannya baik, setidaknya ia bakal menyesuaikan ucapannya dengan tindakannya.

Betapa banyak pemimpin hebat yang dikenang dari ucapannya yang baik lalu dituangkan dalam kebijakan serta tindakan yang baik. Diantara ucapan yang baik serta terekam dalam catatan sejarah yaitu ucapan Abu Bakar dalam pidato pelantikannya selaku Khalifah awal pengganti Nabi SAW dalam kepemimpinan negara.

Dalam pidatonya yang fenomenal, sang Khalifah menegaskan kalau dirinya tidak mau menjadi pemimpin. Namun ia tidak bisa menolak dikala Sahabatnya Umar Bin Khathab mengangkat tangannya serta diikuti para sahabat senior lainnya menunjuknya menjadi pemimpin. Sebagaimana penggalan pidatonya:

“Demi Allah, sesungguhnya saya tidak pernah berambisi pada kekuasaaan meski sehari atau semalam dalam hidupku. Aku tidak pernah menginginkannya. Aku tidak pernah satu kali pun meminta kepada Allah baik secara terang-terangan maupun secara rahasia.”

Bahkan sang khalifah pun mengingatkan kepada semuanya kalau ia bukanlah yang terbaik. Ia minta dikoreksi jika berbuat salah. Hal itu sebagaimana termuat dalam pidatonya yang fenomenal dikala selesai di-baiat (dilantik) menjadi khalifah.

Ia berdiri serta memuji Allah serta mengungkapkan syukurnya. Kemudian ia berkata:

“Amma ba’du. Wahai manusia! Sesungguhnya saya sudah dipilih buat memimpin kalian serta BUKANLAH saya orang TERBAIK diantara kalian. Maka jika saya melaksanakan hal yang BAIK maka BANTULAH saya. Dan jika saya melaksanakan tindakan yang MENYELEWENG maka LURUSKANLAH saya. Sebab kebenaran itu yaitu amanah, sedangkan kebohongan itu yaitu pengkhianatan.

Orang yang lemah diantara kalian yaitu kuat dalam pandangan saya hingga saya ambilkan hak-haknya untuknya. Sedangkan orang yang kuat diantara kalian yaitu lemah dihadapanku hingga saya ambil hak orang lain darinya, insyaAllah.


Dan tidak ada satu kaum pun yang meninggalkan jihad dijalan Allah kecuali bakal Allah timpakan kepadanya kehinaan. Dan tidaklah menyebar kemaksiatan kepada suatu kaum kecuali bakal Allah timpakan kepada mereka petaka.


Taatlah kalian kepadaku selama saya TAAT kepada ALLAH serta RASULNYA. Jika saya melaksanakan maksiat kepada Allah serta RasulNya maka tidak ada kewajiban taat kalian kepadaku.”


***

Dari pidato tersebut terdapat beberapa poin penting yang bisa kita jadikan teladan. Lebih dari itu bisa kita jadikan buat mengukur kualitas kita serta pemimpin kita. Diantara poin penting tersebut;

PERTAMA, Pemimpin tidak boleh merasa menjadi orang terbaik sehingga merasa hebat serta tidak mau menerima saran maupun pendapat orang lain.

KEDUA, Pemimpin bukanlah manusia super yang bisa melaksanakan apa pun sendirian. Maka jika berbuat baik maka minta dibantu serta didukung. Dengan begitu makin banyak orang yang turut berbuat baik.

KETIGA, Pemimpin perlu bersedia dikoreksi serta dinasehati demi kebaikan bersama. Pemimpin bukanlah malaikat yang terbebas dari salah. Apalagi dalam sistem demokrasi sekarang yang konon kata salah seorang profesor populer kalau malaikat pun masuk sistem kita bisa menjadi iblis. Apalagi kita manusia biasa.

KEEMPAT, Pemimpin dengan kewenangannya perlu melindungi pihak yang lemah. Jangan justru menekan serta menindas mereka.

KELIMA, pemimpin wajib ditaati selama ia taat kepada Allah Sang Pencipta alam semesta. Jika ia bermaksiat serta memerintahkan maksiat maka tidak wajib ditaati, justru wajib dinasihati. Karena maksiat mengundang bencana serta malapetaka.

Akankah pidato yang berkualitas itu bakal terulang lagi di era sekarang? Ataukan pemimpin sekarang hanya berpidato formalitas sebab tidak keluar dari dalam dada serta kepalanya, tidak keluar dari lubuk hati serta fikirannya? Kita nantikan saja.

Semoga negeri ini mendapatkan pemimpin yang taat kepada Allah sang pencipta alam, manusia serta segenap aturanNYA. Dan dengan ketaatan itu kiranya negeri ini senantiasa terlindung dari bahaya serta bencana. Semoga.[]

*NB: Penulis pernah belajar pemerintahan di STPDN angkatan ke-04 serta IIP Jakarta angkatan ke-29 serta MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.

Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+