Strategi Politik Busuk Dibalik Narasi Radikalisme

Ridhmedia
21/10/19, 04:06 WIB

STRATEGI POLITIK BUSUK DIBALIK NARASI RADIKALISME

Oleh: Ahmad Sastra
(Dosen Filsafat)

Secara ontologis, kata radikal sesungguhnya netral. Radical atau radix yang berarti “sama sekali” atau sampai ke akar-akarnya. Pohon, jika tanpa akar, maka tidak bakal tumbuh subur, bahkan bakal mati. Ilmu jika tidak dipahami sampai ke akarnya, maka tidak bakal mendapatkan pemahaman yang mendalam. Dalam perspektif ontologis, istilah radikal tidak ada masalah, karna bebas nilai.

Dalam kamus Inggris Indonesia susunan Surawan Martinus kata radical disamaartikan (synonym) dengan kata “fundamentalis” serta “extreme”. ‘Radikalisme’ berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”, artinya akar; (radicula, radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada kata “akar” atau mengakar.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI V), secara terminologi kata radikal artinya (1) secara mendasar, sampai hal yang prinsip; (2) amat keras menuntut perubahan; (3) maju dalam berpikir atau bertindak. Dengan demikian secara epistemologi, kata radikal mulai diarahkan kepada interpretasi kepada sebuah pikiran atau tindakan buat sebuah perubahan.

Sementara secara aksiologis, Barat mengambil alih definisi kepada interpretasi politis di mana kata radikal ditambahkan akhiran -isme menjadi radikalisme.

Oleh Barat kata radikalisme dimaknai (1) sebuah mengerti atau aliran radikal dalam politik; (2) mengerti atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial serta politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sebuah sikap ekstrem dalam aliran politik.

Barat tidak puas sampai di sini, pendekatan politis terus dilakukan buat membangun narasi serta interpretasi dengan maksud serta tujuan ideologis.

Barat lantas melaksanakan strategi politik busuk dengan menyematkan kata radikal kepada Islam serta kaum muslimin yang berseberangan dengan ideologi demokrasi sekuler.

Sekularisme oleh Barat dimaksudkan buat memisahkan agama dari kehidupan. Maka, siapa saja yang menjadikan agama selaku dasar berpikir buat kehidupan, bakal dicap selaku kaum radikal yang wajib dimusuhi. Sebaliknya, siapa saja yang berpikiran sekuler, maka bakal dijadikan selaku temannya. Kaum sekuler oleh Barat lantas disebut selaku kaum moderat.

Karena itu, secara epistemologis Islam sesungguhnya tidak radikal serta juga tidak moderat dalam timbangan interpretasi Barat. Tentu tidak relevan, nilai-nilai Barat digunakan buat menimbang Islam. Islam selaku agama wahyu perlu ditimbang berdasarkan sumber hukumnya yakni Alquran, Hadis, Ijmak, serta Qiyas.

Menimbang Islam dengan epistemologi Barat, dalam filsafat disebut aliran neomodernisme. Sementara postmodernisme yaitu upaya buat menghilangkan Islam sama sekali. Pluralisme yaitu produk filsafat postmodernisme.

Barat masih tidak puas sampai di sini. Barat menginginkan Islam hancur lebur serta umatnya terpecah belah. Barat sangat paham, kalau dahulu Khilafahlah yang sudah menyatukan umat Islam sedunia serta mampu menjadi negara adidaya yang sangat maju. Barat sangat mengerti kalau jika Khilafah kembali tegak, maka Barat dalam waktu tidak lama bakal hancur lebur.

Dari sinilah, skenario demi skenario direkayasa Barat buat melumpuhkan kebangkitan umat Islam yang kian kuat. Barat melihat kebangkitan umat buat kembali menegakkan Khilafah kian menguat serta menjadi ancaman paling menakutkan bagi mereka.

Dimulai dari ‘sinetron’ hancurnya gedung kembar WTC, maka dibuatlah narasi radikalisme ini. Untuk memperkuat narasi, maka Barat membuat ‘hantu’ yang diberi nama ISIS.

Barat mencoba berkonspirasi kepada negara-negara yang mau membebek kepada mereka. Dengan mengucurkan dana yang banyak, rupanya banyak juga negeri-negeri muslim yang mau dibodohi serta menerima proyek deradikalisasi Islam. Deradikalisasi Islam, oleh Barat dimaknai selaku upaya menjauhkan umat Islam dari agamanya.

Sebagaimana Fir’aun, Barat juga menjual ketakutan kepada masyarakat dunia bakal bahaya radikalisme Islam ini. Dari sinilah muncul istilah islamofobia, yakni kelainan psikologi masyarakat dunia terhadap Islam.

Mereka mengalami halusinasi, ketakutan yang berlebihan kepada Islam yang justru agama paling damai di dunia. Psikoabnormal Islamofobia yaitu kebodohan akut masyarakat modern yang katanya rasional.

Intinya ada strategi busuk di belakang narasi radikalisme.

Pertama, selaku upaya pecah belah umat Islam dengan mengadu domba dengan kaum moderat yang notabene sudah dikasih dana serta proyek.

Kedua, selaku upaya pendangkalan ajaran Islam, maka jika ada muslim yang yakin 100 persen bakal kebenaran Islam, bakal disebut selaku kaum radikal.

Ketiga, narasi radikalisme selaku upaya buat menghadang kebangkitan Islam, maka muslim yang menyerukan kebangkitan Islam dengan menerapkan syariah serta khilafah bakal disebut selaku kaum radikal. Keempat, narasi radikalisme yaitu cara buruk politik Barat agar tetap bisa bercokol serta menjajah negeri-negeri muslim. Bahkan bukan hanya Barat yang menjajah negeri muslim, kini Timur pun ikut menjajah.

Maka mudah sekali diidentifikasi, jika ada sebuah peristiwa, baik besar maupun kecil, lantas setelah kejadian muncul kata radikalisme, maka itu yaitu sinetron, dagelan, serta sandiwara politik busuk Barat buat memojokkan Islam. Jika ada orang yang langsung berkoar tentang radikalisme pascasinetron, maka merekalah antek penjajah itu, meski alasannya demi keutuhan negara sekalipun.

Jika masih ada muslim yang percaya kepada narasi radikalisme, maka ia sesungguhnya sudah gagal mengerti serta sudah dibodohi oleh kaum kafir Barat. Apalagi jika ada orang yang menerima dana Barat buat proyek deradikalisasi, maka selain dungu, orang itu yaitu seorang pengkhianat agama. Jika ia muslim, maka ia yaitu pengkhianat Islam.

Maka, selaku muslim, saya menyerukan kepada siapa pun yang beragama Islam, berhentilah membebek kepada narasi kafir penjajah tentang radikalisme. Bertobatlah menjadi antek penjajah serta pengkhianat Islam. Sekuat apapun kaum kafir menghalangi tegaknya Islam, tidak bakal mampu melawan janji Allah.

Jangan sampai seorang muslim dengan kebodohannya, ikut menghalangi perjuangan Islam, semisal membubarkan pengajian di rumah-rumah Allah atau menolak diadakan pengajian di masjid. Hakikat masjid yaitu milik Allah tempat hamba-Nya bersujud serta ibadah. Menghalangi muslim ibadah, berarti sudah menentang Allah.

Tak takutkah bakal ancaman Allah?

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, serta berusaha buat merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan serta di akhirat mendapat siksa yang berat.” (QS Al-Baqarah : 114)

Barat sangat mengerti kalau dalam Islam ada kalangan munafik yang dalam sejarah sudah menjadi duri dalam perjuangan Rasulullah. Maka, Barat memanfaatkan kaum munafik ini buat melancarkan jadwal busuknya buat menghancurkan Islam dari dalam.

Kaum munafik yaitu kaum yang otaknya hanya memburu seonggok duniawi, meski dari orang kafir sekalipun. Orang munafik rela menjadi budak kafir asalkan perutnya kenyang.

Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah kalian (tunduk) kepada hukum yang Allah sudah turunkan serta kepada hukum Rasul,” niscaya kalian lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (QS An Nisaa’ : 61).

Makin panik musuh-musuh Allah, itu petanda mereka kian putus asa. Makin putus asa mereka, maka sesungguhnya kemenangan Islam makin dekat. Maka, teruslah berjuang buat tegaknya Islam, jangan pernah takut, meskipun kaum kafir serta munafik bakal terus memusuhi para pejuang agama Allah. Allah selalu bersama para pejuang agama-Nya. [MNews]
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+