Surat Terbuka Untuk Presiden Joko Widodo: Inpres Bpjs? Jangan. Please, Deh!

Ridhmedia
16/10/19, 14:08 WIB

Pak Presiden Joko Widodo, saya mau tanya, kabarnya sampeyan sedang menyiapkan Instruksi Presiden (Inpres) yang menetapkan penunggak iuran BPJS Kesehatan tidak bisa mengakses pelayanan publik. Benarkah?

Pak Joko, kabarnya, aturan ini bakal mengatur penunggak iuran BPJS Kesehatan tidak bakal bisa memperpanjang paspor, SIM, mengurus anak sekolah, tidak bisa mengajukan kredit perbankan, hingga tidak bisa mengurus administrasi pertanahan. Benarkah?

Kata Direktur Utama PT BPJS Fahmi Idris, Inpres yang bakal sampeyan terbitkan itu kabarnya bertujuan buat meningkatkan kolektibilitas iuran BPJS Kesehatan. Benarkah? Draft Inpres itu, kabarnya, sedang disiapkan Kantor Kemenko Pembangunan Manusia serta Kebudayaan (PMK). Benarkah?

Mas Joko (biarkan saya memanggil sampeyan dengan mas, biar terasa ‘lebih akrab’. Lagi pula, selisih usia kita tidak terpaut jauh, kan? Cuma sekitar lima tahun saja. Dan, yang lebih penting lagi, memanggil presidennya dengan ‘mas’ bukanlah pelanggaran hukum apalagi layak dituding terpapar radikalisme. Betul begitu, kan, mas?), saya mau sedikit mengingatkan sampeyan.

Pertama, kalau iuran BPJS itu pada hakekatnya ialah premi asuransi yang dibayarkan peserta kepada perusahaan penyelenggaranya. Di belahan bumi mana pun, tidak ada secuil pun aturan yang mewajibkan rakyatnya ikut asuransi, apalagi membayar premi kepada perusahaan.

Kedua, di belahan dunia mana pun, premi asuransi bukanlah pajak serta atau pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Untuk dua jenis pungutan kepada rakyat tersebut, ada dasar hukumnya. Kita menyebut itu dengan Undang Undang. Salah satunya, UU nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum serta Tata Cara Perpajakan.  Mungkin ada UU Perapajakan yang lebih baru, saya ndak tahu. Barangkali sampeyan bisa tanya sama Sri Mulyani, Menteri Keuangan "terbalik" negeri ini. Ndak sulit, kan, mas Joko tanya kepada si mbak yang menjadi anak buah sampeyan itu?

Oya, saya juga mau mengingatkan sampeyan, mas Presiden, kalau UU itu produk bersama antara Pemerintah serta DPR. Sampayan pasti tahu, kenapa pemerintah perlu menyertakan DPR dalam membuat UU, kan? Ndak perlulah saya mengajari lagi, lha wong sampeyan pasti lebih tahu daripada saya.

Ketiga, kalau sebab bukan pajak atau PNBP maka negara sama sekali tidak boleh memaksa rakyat membayar. Apalagi ini cuma premi perusahaan asuransi. Kalau negara sampai memaksa rakyat membayar, lalu apa bedanya pemerintahan sampeyan sekarang dengan Kompeni ketika menjajah Indonesia? Maaf, lho ya, kalau saya langsung menyebut Kompeni. Maksudnya supaya lebih  jelas saja serta tidak bertele-tele.

Keempat, jika mas Joko menjadi menerbitkan Inpres sanksi bagi pelanggar iuran BPJS tidak bisa memperolah layanan publik, ini kan lebih zalim lagi. Mosok selaku Presiden sampeyan bakal memerintahkan aparat negara menolak rakyat yang mau memperpanjang SIM, Paspor, mengurus anak sekolah, akses perbankan, hingga tidak bisa mengurus administrasi pertanahan hanya sebab menunggak iuran BPJS. Jangan begitulah, mas. Bukankah tugas aparat serta birokrat negara memang buat melayani rakyatnya?

Aku ingatkan boleh menjadi saja sampeyan lupa, kalau menunggak iuran BPJS bukanlah tindakan kiriminal. Lha wong mereka yang jelas-jelas melanggar hukum saja masih berhak memperoleh banyak hak priviledge, kok. Ndak percaya, lihat saja rekam jejak orang-orang di Senayan itu. Beberapa dari mereka (untuk tidak menyebut ‘banyak’) yang tersangkut masalah hukum? Tak tanggung-tanggung, mereka mencuri uang rakyat dalam jumlah puluhan miliar, ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah!

Atau, boleh menjadi sampeyan bakal mengelak dengan mengatakan, lho orang-orang terhormat di Senayan itu belum terbukti secara hukum menggelar korupsi. Begitu? Alahhhh..., mas Joko, sampeyan lebih tahu permainan serta campur aduk antara soal hukum serta politik di negeri ini Dibandingkan saya.

Kelima, kalau mas Joko menjadi juga menerbitakn Inpres ini, sampeyan bisa dikategorikan melanggar UU, lho. Minimal, sampeyan melanggar prosedur penerbitan peraturan serta perundangan. Sebab, setiap aturan yang isinya memungut uang rakyat perlu berbentuk UU, perlu dibuat bersama-sama DPR. Lalu, pungutan itu perlu benar-benar masuk ke kas negara, bukan kocek perusahaan. Apalagi kalau tujuan diterbitkannya aturan tersebut hanya buat memperbaiki kolektibilitas iuran BPJS. Keleru, mas, keleru!

Keenam, sampeyan pasti masih ingat tujuan para bapak pendiri bangsa ini membentuk Indonesia, kan? Kalau lupa atau ndak sempat mencari referensinya, ini saya kutipkan paragraf keempat Pembukaan UUD 1945, konstitusi kita:

Kemudian daripada itu buat membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia serta seluruh tumpah darah Indonesia serta buat memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa...

Jadi mas Joko, bapak-bapak pendiri bangsa membentuk negara yang amat kita cintai ini antara lain buat melindungi segenap bangsa Indonesia serta seluruh tumpah darah Indonesia serta buat memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.

Nah, bagaimana boleh menjadi rakyat bisa sejahtera kalau mereka tidak bisa bekerja narik ojek atau menjadi sopir sebab tidak bisa memperpanjang SIM hanya disebabkan telat membayar iuran BPJS? Bagaimana rakyat bisa cerdas jika anak-anaknya tidak bisa melanjutkan sekolah hanya sebab orang tuanya telat membayar iuran BPJS? Bagaimana kesejahteraan rakyat meningkat, kalau mereka tidak bisa mengakses kredit perbankan buat memulai atau mengembangkan usaha hanya sebab menunggak iuran BPJS? Bagaimana rakyat bisa menjual lahan atau rumahnya, hanya sebab telat membayar iuran BPJS? Padahal, bisa menjadi mereka menjual lahannya yang cuma seuprit buat melunasi tunggakan iuran BPJS.

Ketujuh, saya mau mengingatkan sampeyan, kalau negara bertanggung jawab menjamin kesehatan seluruh warga negara. Ini amanat konstitusi, lho. Silakan baca pasal 34 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi, “negara wajib memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Jadi, berdasarkan konstitusi kita yang dalam sumpah jabatan sampeyan perlu junjung tinggi itu, jelas-jelas Pemerintah wajib menjamin kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Wajib! Jangan pula kewajiban ini Pemerintah manipulasi dengan membentuk perusahaan asuransi yang menarik premi dari rakyat, wajib plus sanksi-sanksinya pula!

Aku serius, kalau sampai Inpres tertsebut terbit, artinya sampeyan bisa disebut melanggar UU bahkan Konstitusi kita. Agar tidak lupa, dalam sumpah jabatan, mas Joko mengucapkan ini:

“Demi Allah, saya bersumpah bakal memenuhi kewajiban selaku Presiden/Wakil Presiden dengan sebaik-baiknya serta seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar serta menjalankan semua undang-undang dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada nusa serta bangsa.”

Mas Joko, sumpah ini serius banget, lho. Berat! Karena siapa pun Presidennya yang mengucapkan sumpah ini, artinya ia sudah berjanji kepada rakyat Indonesia. Melanggar sumpah ini, bisa berujung pada pemakzulan. Sesuai Konstitusi kita, Presiden juga bisa diberhentikan di sedang jalan. Jadi, di negeri ini memakzulkan Presiden serta atau Wapres di masa jabatannya bukanlah tindakan inkonsititusional.

Pasal Pasal 7A, menyebutkan: Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti sudah menggelar pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak  pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat selaku Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Tapi, ah sudahlah. Persyaratan, proses, serta prosedur pemberhentian Presiden di sedang masa jabatannya di pasal-pasal berikutnya dibuat begitu rumit, njelimet, berbelit. Singkat kata, nyaris tidak mugkin! Apalagi dengan komposisi anggota DPR sekarang, semuanya menjadi hampir mustahil!

Tapi selaku orang beragama, saya yakin sampeyan pasti mengerti serta mengerti benar, kalau sumpah ini juga disaksikan para malaikat juga Allah Tuhan Yang Maha Berkuasa lagi Maha Perkasa. Allah bakal minta pertanggungjawaban pelaku sumpah ini di akhirat kelak. Allah juga sudah sediakan balasan, baik siksa yang amat pedih maupun ganjaran kenikmatan, atas orang yang bersumpah ini. Dan, semua balasan itu abadi, kekal, tidak berkesudahan. Tak seperti masa jabatan di Indonesia yang maksimal hanya dua periode alias 10 tahun. Sungguh suatu sumpah yang tidak boleh serta bisa dianggap main-main.

Atau, barangkali, maaf, sampeyan berpendapat, ah itu kan di akhirat. Masih lama. Masih bisa tobat, minta ampun kepada Allah. Tunggu dulu. Tak ada yang tahu, kapan kiamat bakal terjadi. Jangankan kiamat, setiap kita pun, tentu saja, termasuk sampeyan, tidak tahu kapan bakal mati. Siapa yang bisa menjamin, sampeyan bakal tetap hidup setelah menandatangani Inpres tersebut? Ndak ada, kan?

Kalau selaku Presiden sampeyan mau membantu menyelamatkan BPJS, masih ada bahkan banyak cara lain. Misalnya, sepertinya yang dipaparkan ekonom senior Rizal Ramli. Ia punya jurus-jurus jitu buat menyelematkan BPJS tanpa perlu memberatkan rakyat. Ndak perlu saya ulang di surat terbuka ini. Sampeyan bisa perintahkan staf googling buat mencarinya.

Jadi, mas Joko please, deh, jangan terbitkan Inpres superngawur itu. Kalau semua ini terjadi, kasihan saya, saudara saya, tetangga saya, kenalan saya. Kasihani penduduk Pulau Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, Papua, serta peduduk ratusan pulau lain. Kasihanilah kami, mas. Kasihanilah rakyat Indonesia.

Atau, paling tidak sampeyan kasihanlah pada diri sendiri. Soale, siksa Allah tidak selalu serta tidak perlu terjadi di akhirat. Allah Maha Mampu serta bisa saja menimpakan azabNya sejak yang bersangkutan di dunia.

Dah, gitu aja!

Jakarta, 15 Oktober 2019

Penulis: Edy Mulyadi
Komentar

Tampilkan

Terkini