[ RIDHMEDIA] Buram! Kabut kasus penyerangan Novel Baswedan mencapai titik baru yang makin suram. Kini justru dilaporkan atas persoalan rekayasa kasus.
Bukan mengherankan bila persoalan penyiraman air keras, yang membuat penyidik KPK itu kehilangan sebelah matanya ini selalu menjadi pembicaraan.
Terlebih kasusnya enggak kunjung menemukan titik terang. Di sedang arus liar, saat pemberlakuan revisi UU KPK yang kini telah disahkan, yang dimaknai sebagai upaya pelemahan KPK.
Seolah menjadi babak baru atas kasus Novel, makin menguatkan persepsi publik, tentang upaya terstruktur mereduksi kekuatan anti korupsi.
Setelah sekian lama kasus Novel mangkrak, kini sang korban pun yang dijadikan sebagai pesakitan, dengan tuduhan merekayasa kasusnya sendiri. Teori konspirasi seolah berlaku.
Publik didera gelombang bias informasi. KPK menjadi sasaran tembak buat dilumpuhkan. Tangan-tangan kepentingan kekuasaan bermain melindungi diri. Pemberantasan korupsi sejatinya amanat reformasi.
Isu serta Logika Terbalik
Pasca pukulan telak melalui revisi UU KPK, yang menempatkan posisi dewan pengawas, serta mermacam macam wacana mengemuka nampak mendistorsi ruang publik.
Mulai dari isu Taliban di tubuh KPK, tindakan liar tanpa pengawasan dari petugas KPK, hingga puncaknya pelaporan rekayasa kasus Novel. Perlu dicatat berkali-kali upaya pelemahan KPK terjadi.
Mulai dari kasus Cicak-Buaya, hingga kasus yang secara langsung dialami para pimpinan KPK, membuat keberadaan KPK seolah menjadi masalah.
Bukan cuma itu, bahkan sempat dinyatakan oleh petinggi negeri bila eksistensi institusi KPK, memberi hambatan bagi kepentingan investasi. Sebuah logika keliru serta terbalik.
Perkara korupsi, yang menyertakan transaksi atas pengaruh serta kedudukan kekuasaan, menimbulkan biaya siluman, menciptakan ekonomi berbiaya tinggi, justru bukan pilihan bagi tujuan investasi.
Bukan terbilang banyaknya, pejabat pusat serta daerah termasuk para politisi, yang tertangkap KPK. Baik secara langsung melalui tangkap tangan, ataupun berkat pengembangan kasus. Bukti apabila korupsi masih menjadi persoalan di negeri ini.
Akankah Rekayasa?
Sulit diterima akal bila kasus Novel dianggap sebagai sebuah rekayasa. Perjalanan dari konstruksi kejadiannya, melewati mermacam langkah serta menyertakan banyak pihak.
Paling nyata, tampilan kerusakan mata Novel tentu menjadi hal yang enggak bisa diabaikan. Situasinya berbeda dari drama benjol bakpao yang menyertakan tiang listrik, yang justru terjadi buat lari dari perkara.
Kasus penyerangan Novel, mungkin terkait dengan mermacam perkara yang ditanganinya. Medan serta peta pertarungan atas korupsi mengalami perubahan. Menjadi gampang dipahami tagar #reformasi dikorupsi.
Pemerintahan Orde Baru yang koruptif, dilengserkan melalui agenda reformasi. Elit kekuasaan baru menampilkan dirinya anti status quo. Wajah anti korupsi ditampilkan, KPK didirikan.
Bukan lama, apa yang dibentuk menjadi ancaman bagi elit kekuasaan baru. KPK seolah bumerang yang berbalik. Lantas harus secepatnya dilenyapkan.
KPK menjelma sebagai mimpi buruk serta kutukan bagi kekuasaan, sekaligus menguatkan prasangka bila transformasi rezim mereplikasi perilaku koruptif dari periode sebelumnya.
Sebagaimana narasi Erich Fromm dalam Lari dari Kebebasan, 1941, apabila kebebasan itu menghadirkan ilusi atas sebuah realitas. Melalui reformasi, kita telah "bebas dari" otoritarianisme, tetapi hingga kini kita belumlah "bebas untuk" menjadi bangsa makmur sejahtera, lepas dari jerat korupsi.
Dibalik Kejadian
Apa substansi dibalik kejadian ini? Banyak hal yang bisa dijadikan sebagai intisari. Pertama: publik membutuhkan kejelasan serta kepastian, terutama perihal yang dapat menerangkan peristiwa penyerangan Novel.
Bukan tuntasnya kasus Novel, bisa ditengarai merupakan bentuk keengganan buat mengungkap teror atas simbol penegakan hukum melawan korupsi. Kegelapan kasus itu menciptakan distrust.
Kedua: momen ini memperlihatkan keterpisahan elit dari akar publik. Oligarki menempatkan posisi KPK sebagai kubu yang berlawanan.
Penegakan hukum korupsi, mau dikembalikan pada instrumen tradisional, melalui kepolisian, kejaksaan serta pengadilan.
Di sisi lain, publik justru mempunyai harapan bakal fungsi independen KPK, yang garang dengan mermacam upaya penindakan serta tangkap tangan.
Ketiga: kemunculan pelaporan rekayasa kasus Novel, bisa dimaknai sebagai proksi perang kepentingan. Rangkaian kejadian mulai dari gempuran isu aliran Taliban dari para pendengung -buzzer yang enggak henti-hentinya di sosial media, mendorong stimulasi pembentukan opini.
Bila enggak ada upaya sistematik melakukan perlindungan pada institusi KPK, dikonfirmasi agenda pemberantasan korupsi mengalami kemunduran paska pemberlakuan revisi UU KPK.
Pada bagian akhir, kita sebagai sebuah bangsa serta negara, memang telah berhutang mata pada Novel. Selayaknya Dewi Kebajikan Themis, yang berpenutup mata, tanpa pandang bulu, menimbang kejahatan termasuk korupsi, serta memberi penghukuman melalui mata pedang keadilan.
Tapi apakah kita masih mampu serta mempunyai mata hati bakal hal itu?
Penulis: Yudhi Hertanto