Dikdasmen Ala Nadiem: The Blind & The Doubt

Ridhmedia
06/11/19, 16:09 WIB

[RIDHMEDIA]  Tulisan di Sindo News "Nadiem Dan Disrupsi Pendidikan Kita", kurang lebih deskripsi dramaturgi Nadiem Makarim buat rombak Kurikulum Dikdasmen. Presiden Jokowi pekan lalu, Telah perintahkan perombakan besar-besaran Dikdasmen serta Kebudayaan, serta PT, termasuk kurikulumnya.

Luar biasa, belum pernah ada ahli yang berani bongkar pasang dikdasmen. Mau dimilenialkan karna ada hantu disrupsi. Ini sama dengan dramaturgi yang ditulis Bertold Brecht berjudul "The Doubt & The Blind" (kerja sama si Bisu serta si Buta). Castingnya Nadiem  si The Doubt, Jokowi si The Blind. Sebab Jokowi serta Nadiem sama-sama tidak mengerti apa itu paedagogi, tapi ingin merombak kurikulum besar-besaran, dikdasmen serta kebudayaan, sekaligus.

Ahli dikbud kita dianggap usang, kuno, serta puritan. Kudu ditinggalkan menuju era disrupsi yang, samar-samar itu. Hallu habis, ditambah parno disrupsi, terpenting, inilah dia dua tokoh hebat revolusi kebudayaan ala Presiden Jokowi serta Mendikbud Nadiem!

Keduanya tidak berlatar  pedagogi, tidak punya ilmu budaya, tidak punya empiriknya, tapi punya kekuasaan serta duit exploitationg der lhomme, parlhomme orang miskin ojol. Nanti saya urai profil keduanya. Mari simak dulu Yuswohadi, yang konon diorder menulis "Nadiem Dan Disrupsi Pendidikan Kita" di Sindo News, tampaknya mewakili. Seru, spekulatif, serta mengerikan. Nadiem sendiri tidak berani menulis.

Ikhwalnya Profesor Clayton Christensen. Menurut alumni Mark Plus itu, ialah pencipta teori disrupsi. Maka Yuswohadi berangkat dari situ. Christensen memprediksi tahun 2014, separuh universitas di AS bangkrut dalam kurun 10-15 tahun. Penyebabnya, terdisrupsi online learning, MOOCs (Massive Online Open Courses), etc. Jadilah hantu itu!

Christensen meramal disrupsi dunia pendidikan:

Pertama, 65% anak-anak, bakal mendapatkan pekerjaan yang dikala ini belum ada.

Kedua, 75 juta (42%) pekerjaan manusia bakal digantikan robot AI (artificial intelligence) pada tahun 2022 (World Economic Forum, 2018).

Ketiga, pada 2021, 60% universitas di seluruh dunia bakal menggunakan teknologi virtual reality (VR) buat pembelajaran yang imersif (Gartner, 2018).

Pendidikan ialah institusi yang sulit berubah menghadapi disrupsi. Kondisi serta metodologi pembelajaran hari ini, kata Yuswohadi, tidak jauh beda dengan kondisi seabad lampau: bakal terkena 3 disrupsi yang berakibat sistem menjadi usang serta tidak relevan.

Keempat,  dari sisi anak didik, disrupsi diramal datang dari kaum milenial (neo-milenial, yaitu generasi Z) yang perilaku belajarnya menuntut perubahan radikal  pendidikan, milenial generasi highly mobile, apps-dependent, terhubung online, cepat berbagi informasi via medsos, self-learner yang mencari sendiri pengetahuan di YouTube atau Khan Academy. Mereka menolak digurui. Generasi Z itu, melek visual (visually literate), lebih suka belajar secara visual (di YouTube, online games) Dibanding baca buku atau mendengar ceramah guru di kelas.

Mereka sangat melek data (data-literate), piawai berselancar di Google mengulik, memproses, mengurasi, serta menganalisis informasi daripada pasif di perpustakaan. Itu dilakukan dengan super-cepat lewat 3M: multi-media, multi-platform, serta multi-tasking.

Mereka lebih nyaman belajar secara kolaboratif di proyek riil, peer-to-peer, lewat komunitas atau jejaring sosial. Mereka peers lebih kredibel Dibanding guru. Mereka lebih suka menggunakan interactive gaming buat belajar, mengerjakan PR.

Kelima, disrupsi teknologi, di mana teknologi pendidikan berkembang secara eksponensial  mendisrupsi sekolah tradisional. Inovasi disrupsi pendidikan ie MOOC, open educational resources (OER), situs tutorial online seperti RuangGuru atau Khan Academy, social learning platform, personalized/customized learning, professional learning network (PLN), hingga massively multi-player online (MMO) learning games kini tengah antri buat mencapai titik critical mass. Sebagai wahana pembelajaran, sekolah tradisional bakal tergeser dari posisi “core” menjadi “peripheral”.

Keenam, teknologi 4.0 menghasilkan kompetensi (skill-set) baru, mendisrupsi kompetensi lama karna diganti robot/AI.

“The fourth industrial revolution seems to be creating fewer jobs in new industries than previous revolutions,” ujar Klaus Schwab pendiri World Economic Forum, kutip Yuswohadi.

Dengan teknologi machine learning, AI, big data analytics, IoT, AR/VR, hingga 3D printing, maka pekerjaan bergeser dari manual occupations serta routine/repetitive jobs ke cognitive/creative jobs. Kesuksesan ditentukan kemampuan kolaborasi “human +robot”. Itu sisi hard skill. Untuk soft skill, Tony Wagner (2008) merumuskan “Seven Survival Skills for 21st Century”. Tujuh skill-set itu minim diajarkan di sekolah. Karena itu sekolah perlu meredefinisi kurikulumnya dengan mengakomodasi skill-set.

Ketujuh, Nadiem terhadap  disrupsi butuh terobosan kreatif serta pendekatan baru non business as usual.

Pendekatan lama dari orang-orang lama, puritan serta resisten membuat ekosistem pendidikan terpuruk melapuk, tulis Yuswohadi.

Dunia pendidikan butuh sosok muda (milenial) yang punya default logika zaman baru.

Pendidikan butuh disruptive leader yang mumpuni, Nadiem? Seperti dibuktikan di Go-Jek kata Yuswohadi, Nadiem mampu memainkannya, menghasilkan creative solution, terobosan Go-Jek, Go-Ride, Go-Car, Go-Send, Go-Food, hingga Go-Pay.

Komen Saya

Bro Yuswohadi, anda tidak mabok tah? Sebab tidak ada masyarakat seperti profil paparan anda itu di Indonesia (1-6). Mungkin di AS. Sebab, membaca data SPSS (Statistical Pakckage  Social and Science) saja, milenial itu tidak mampu. Bagaimana mereka disebut data literasi? Paling ada 1/mil yang bisa baca data SPSS. Apabila hanya akses data, kami dulu juga Telah canggih modem to modem sebelum masuknya Internet (1987).

Namun, cukup jelas latar balik munculnya Nadim selaku Mendikbud, ialah buat meng-Go-Jek-kan pendidikan. Ada 6 alasan seperti Telah Anda  papar tadi: disruptif, hantu, serta komputerized.

Paparan Yuswohadi sama persis dengan pikiran Nadiem serta Jokowi. Modernitas via IT: tapi tidak lebih dari mengubah disdakmen menjadi BLK (balai latihan kerja). Ada link and match, cepat, anak didik diajar oleh AI, medsos serta Youtube, etc. Tapi tidak ada itu di alam nyata. Hallu westernized itu. Tutorial macam itu, dengan machine learning, Telah ditolak tahun 2000 setelah para ahli AI bertemu di Carnegie Melon Univ. Sebelumnya di Konferensi Musim Panas di Montreal tahun 1954 menyatakan, "Kami takkan menyerahkan pendidikan kepada komputer", bunyi petisi itu. Karena itu, pendidikan tetap konservatif.

Sesat berat ente Bro Yuswohadi. Tidak itu yang dimaksud pengajaran Bro. Itu BLK buat cetak tukang, etc. Pengajaran tidak didasarkan karna ada hantu disrupsi yang menakuti balita. Juga bukan didasarkan karna anakmu suka gaul generasi Z, etc, yang kesengsem HP.

Pengajaran didasarkan data empiris, data pengalaman bangsa ini. Data Empirik itu diproyeksi menjadi kurikulum Dikdasmen. Tidak boleh kurikulum mencerabut peserta didik dari akar antropologisnya (90 persen peserta didik ialah anak muslim).

Jangan kau cari sillabus GO-JEK di situ. aku pastikan tidak ada! Nyusun kurikulum itu, seperti menyusun Tabel Robert Merton. Menggunakan Time Series, tabel perilaku manusia itu baru selesai 26 tahun bikinnya. Mau dipercepat? Tidak boleh serta tidak bisa. Kurikulum ialah formula, perlu dicoba ke SD-SMP-SMA =12 tahun, selaku kelinci percobaannya. Sekali gagal, berarti hangus 12 tahun.

Tahun 1975, dibuat eksperimen SMPP buat mencetak pemikir sekaligus tukang. Gagal. SMPP bubar, kembali menjadi SMA. Belakangan sekolah kejuruan ditukangi, STM diubah namanya menjadi SMK, termasuk SMEP. Gagal lagi, malah menjadi mobil Esemka, impor dari Cina. LOL, QI QI QI.

llustrasi: kita muter dulu Bro: 1974 saya di Madura, kabur dari Jakarta karna diuber TEKAB-nya Malari yang dipimpin Hariman Siregar, sang legendaris. Issu ramai di Malang, ialah mencari formula rokok kretek Gudang Garam. Seorang pembuat formula kretek Gudang Garam terbunuh dikala ia hendak jual formula itu ke Jarum. Formula itu berharga Rp 7 miliar. Pertarungan Gudang Garam versus Jarum pun semakin menghebat.

Jadi saya ikut mencampur uji coba kretek, siapa tahu saya beruntung: grosok dulu, sekian persen, tembakau hitam, sekian persen, tembakau kuning, sekian persen, tetes, sekian persen, cengkeh sekian persen, dst.  Lalu gulung, jadilah rokok kretek.

Rasa berubah dikala urutan diubah. Rasa juga berubah dikala dosis berubah. Rasa juga berubah, jika raw material berubah. Banyak benar variabelnya. Lebih rumit daripada penelitian Adam Smith terhadap tukang jagal, di mana Smith menemukan 13 prototipe pisau jagal dikala ia merumuskan formula efisiensi ekonomi yang, kemudian disebutnya Neo Classic.

Bayangkan rokok kretek itu anak didik. Bayangkan tukang jagal itu peserta didik. kamu mengubah mereka dengan formula rokok kretek serta pisau jagal. Lalu anda buat tabel berjudul Statistics Indeks Human Behavior dalam ukuran alpha. Signifikansinya pasti lebih 5%. Gagal!

Seperti itu ribetnya menyusun kurikulum. Kurikulum itu Formula, Formula itu Menu Utama. IT pendukung Menu. Sekarang ingin dirombak oleh orang yang tidak mengerti formula, hanya mengerti IT, sebatas aplikasi. Tapi kan bisa meski laksana The Doubt & The Blind?

Tidak bisa! Walau kau pakai manajemen Kaplan, Weber serta filosofi Noam Chomsky. Soalnya, tidak ada ilmu manajemen yang mengajar Headnya (leadnya).

Tapi baguslah, Ente Telah kasih bahan BLK meski nyaris semua Telah pernah saya dengar gymmicknya IT. Tapi perlu saya kemukakan, tidak ada sistem tutorial komputer maupun AI di Indonesia mengganti guru. Sudah ditolak ide itu tahun 2000, seiring penolakan ahli AI di Carnegie Melon.

Ramalan sejenis Profesor Christensen itu juga telah muncul sejak generasi komputer 386, 486, Pentium 75, 100, Pentium Pro (Pentium 120). aku mengikuti perkembangan itu, gimmicknya, sambil ngoprek. Tapi online kesatu Pers di Indonesia, justru dibikin Dahlan Iskan, Jawa Pos, saya menjadi wartawan di situ.

Dongeng kayak itu juga saya dengar membumbui komputer Newman di Silicon Valley sebelumnya, hingga IBM 400 di San Diego yang menggantikan mainframe. Dunia seolah bakal berubah drastis oleh tukang Super Computer. Tidak terjadi apa-apa tuh, dunia IT berjalan anteng, stabil, meningkat serta menggembirakan. Gymmicknya doang yang gegap gempita.

Menurut UUD 45, pendidikan buat menciptakan kecerdasan serta orang beriman, bukan tukang. Tidak mencari kerja yang domainnya ekonomi. Tidak bisa dikdasmen itu direvolusi. Kecuali Jokowi bikin revolusi sosial, bagian besarnya ialah merevolusi Dikdasmen. Revolusi sosial  yang menerbitkan Revolusi Mental. Keras, konsisten, berresiko, buat mengikuti metodologi revolusi sosial, seperti dilakukan guru Mao. Pasti Jokowi tidak mampu.

Gojek membantu menampung naker Dibanding nganggur. Itu bukan soal pedagogi. Itu soal pertumbuhan ekonomi. Per 1 persen menyerap 400.000 naker. Pertumbuhan ekonomi 5 persen ialah 5 dikali 400.000 = 2.000.000 naker/ tahun. Jadi bukan soal kurikulum, apalagi celana cingkrang. Tapi soal Jokowi meroket yang gagal. Tapi mengapa Nadiem nyasar ke Dikbud? Dungu istilah Rocky Gerung.

Nadiem itu paradoks, tapi kaya raya berkat peras ojol. Tabungan ojol saja 20 persen sekitar Rp 1,4 M cash-in per hari.

Nadiem tidak pernah sekolah di Indonesia. ia Telah westernized. ia dari keluarga non muslim, menikah di gereja, anak-anaknya juga dibaptis di gereja. ia berhasil menembus sistem sosial di Amerika, sehingga ia menjadi pengurus inti di Yayasan isterinya Bill Gates bersama  Sri Mulyani.

Kelihatan keren, tapi berbahaya. Yaitu menebar weternized serta sekularisme.

Penulis: Djoko Edhi S. A.

Komentar

Tampilkan

Terkini