Sejarah hidup Ani Idrus sebagian besar dibaktikannya untuk kepentingan pers nasional dan emanisipasi perempuan Indonesia.
[ Ridhmedia ] - Ani Idrus yang menjadi pilihan Google Doodle tanggal 25 November 2019 merupakan salah satu tokoh perempuan dalam sejarah Indonesia. Ia adalah jurnalis perempuan yang melintasi zaman demi zaman sejak era pergerakan nasional. Selain itu, Ani Idrus juga dikenal sebagai aktivis pendidikan yang juga berkiprah di ranah politik.
Perempuan asli Minangkabau ini lahir ketika masa kebangkitan nasional sedang bersemi di tanah air, zaman perjuangan gaya baru melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo (BO) pada 20 Mei 1908 dan diikuti munculnya berbagai organisasi pergerakan bangsa Indonesia lainnya.
“[...] jadikanlah hari kebangkitan nasional semacam doktrin yang ampuh untuk memupuk dan mengembangkan ketahanan nasional dan sari patinya sudah terwujud sejak 20 Mei 1908 dalam menghadapi politik penjajahan dan perbudakan kolonial Belanda,” tandas Ani Idrus suatu kali.
Ani Idrus dikenal sebagai salah satu jurnalis perempuan paling berpengaruh di era pergerakan nasional hingga kemerdekaan RI. Namun, ia juga berjuang melalui berbagai bidang lainnya, seperti pendidikan dan politik.
Berikut ini perjalanan sejarah hidup Ani Idrus, khususnya kiprah sang jurnalis perempuan di ranah pers nasional:
1918
Ani Idrus lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, tanggal 25 November 1918. Ia menuntaskan pendidikan dasar di tanah kelahirannya, juga menempuh pendidikan informal di madrasah untuk memperdalam agama Islam.
1928
Pada tahun yang bertepatan dengan digelarnya Kongres Pemuda Kedua di Batavia (Jakarta) yang kemudian menghasilkan Sumpah Pemuda, Ani Idrus merantau ke Medan, Sumatera Utara.
Mula-mula ia melanjutkan sekolah madrasah, kemudian masuk lembaga pendidikan lainnya termasuk Methodist English School, Meisjeskop School (sekolah perempuan), hingga sekolah menengah atas milik Taman Siswa.
1930
Ani Idrus mulai gemar menulis dengan mengirimkan artikel ke beberapa surat kabar atau majalah. Dikutip dari buku Kiat Sukses Wanita Indonesia (1997) karya Bainar dan kawan-kawan, tulisan pertama Ani Idrus yang dimuat media adalah di Majalah Panji Pustaka terbitan Jakarta pada 1930.
1936
Tiga tahun kemudian atau pada 1936, Ani Idrus mulai melakoni kerja-kerja jurnalistik secara lebih profesional. Ia membantu Majalah Politik Penyedar yang bernaung di bawah penerbitan surat kabar Sinar Deli, salah satu koran terbesar di Sumatera Utara kala itu.
1938
Ani Idrus dan suaminya yang juga seorang jurnalis, Haji Mohammad Said, menerbitkan majalah bernama Seruan Kita pada 1938. Namun, seperti yang tertulis dalam buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia (1981), media berkala politik ini tidak berumur panjang.
1947
Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Ani Idrus terus berkiprah di kancah jurnalistik nasional. Masih bersama sang suami, ia meluncurkan surat kabar harian bernama Waspada yang terbit perdana pada 11 Januari 1947.
Harian Waspada, sebut Rosihan Anwar dalam Sejarah Lecil “Petite Histoire" Indonesia Volume 3 (2004), dengan tegas menyatakan diri sebagai pendukung RI. Akibatnya, koran ini sempat dibredel oleh Belanda pada masa Revolusi Fisik (1945-1949) namun nantinya bisa terbit kembali.
1949
Cita-cita Ani Idrus menerbitkan media khusus perempuan akhirnya terwujud. Tepat tanggal 15 Juni 1949, ia menerbitkan majalah bertajuk Dunia Wanita. Tridah Bangun dalam buku Hajjah Ani Idrus: Tokoh Wartawati Indonesia (1990) mengungkapkan, Dunia Wanita bermula dari suplemen berita di Harian Waspada.
1951
Tahun 1951, Ani Idrus memprakarsai berdirinya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang Medan, serta menjadi ketuanya. Dikutip dari buku Sekilas Pengalaman dalam Pers dan Organisasi PWI Sumatera Utara (1985), dengan kepemimpinan Ani Idrus itu, PWI telah berhasil menjadi pelopor emansipasi wanita di Sumatera Utara.
1953
Ani Idrus tak hanya berkiprah di ranah nasional saja, ia juga berulangkali melakukan liputan ke berbagai negara setelah Indonesia benar-benar menjadi negara merdeka usai pengakuan kedaulatan pada akhir 1949.
Dinukil dari tulisan Tunggul Tauladan dalam Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia (2007) suntingan Taufik Rahzen, pengalaman jurnalistik ke luar negeri Ani Idrus dimulai di Jepang pada 1953. Ia meliput perundingan pembayaran ganti-rugi akibat perang antara pemerintah RI dengan pemerintah Jepang.
1956
Setelah Jepang, Ani Idrus kerap ditugaskan melakukan liputan internasional lainnya. Ani Idrus pernah pula meliput di Cina, Hong Kong, Thailand, Filipina, Sri Lanka, Mesir, Turki, Belanda, Belgia, Italia, Inggris, Jerman Barat, Perancis, hingga Amerika Serikat, termasuk meliput proses penyerahan Irian Barat atau Papua kepada RI.
1959
Ani Idrus tidak hanya aktif di PWI namun juga mendirikan Yayasan Balai Wartawan cabang Medan. Tahun 1959, Ani Idrus terpilih sebagai ketua. Selain itu, ia juga menjabat wakil ketua di Yayasan Akademi Pers Indonesia.
1984
Ani Idrus sempat cukup lama beralih ke ranah politik dengan bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebelum pindah ke Golongan Karya (Golkar) pada masa Orde Baru, serta menjadi anggota parlemen.
Kendati begitu, jejak rekamnya sebagai jurnalis tidak hilang begitu saja. Buktinya, pada 1984 Ani Idrus diangkat sebagai Penasihat Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia. Selain itu, ia juga termasuk 12 tokoh pers nasional yang memperoleh penghargaan Satya Penegak Pers Pancasila dari Menteri Penerangan kala itu, Harmoko.
1999
Ani Idrus adalah wartawan lintas zaman, dari era pergerakan nasional, kemerdekaan, Orde Lama, bahkan setelah Orde Baru runtuh sejak 21 Mei 1998 seiring tumbangnya Soeharto dari kursi kepresidenan.
Tanggal 9 Januari 1999 atau setelah reformasi, Ani Idrus meninggal dunia dalam usia 80 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Medan, Sumatera Utara. Namanya diabadikan sebagai nama jalan di beberapa daerah di Indonesia, juga untuk gambar perangko RI keluaran 2004. [tirto]