Nadiem Dan Disrupsi Pendidikan Kita", kurang lebih deskripsi dramaturgi Nadiem Makarim buat rombak Kurikulum Dikdasmen. Presiden Jokowi pekan lalu, Telah perintahkan perombakan besar-besaran Dikdasmen dan Kebudayaan, dan PT, termasuk kurikulumnya.
Luar biasa, belum pernah ada ahli yang berani bongkar pasang dikdasmen. Mau dimilenialkan karna ada hantu disrupsi. Ini sama dengan dramaturgi yang ditulis Bertold Brecht berjudul "The Doubt & The Blind" (kerja sama si Bisu dan si Buta). Castingnya Nadiem si The Blind, Jokowi si The Doubt. Sebab Jokowi dan Nadiem sama-sama enggak mengerti apa itu padagogi, tapi ingin merombak kurikulum besar-besaran, dikdasmen dan kebudayaan, sekaligus.
Ahli dikbud kita dianggap usang, kuno, dan puritan. Kudu ditinggalkan menuju era disrupsi yang, samar-samar itu. Hallu habis, ditambah parno disrupsi, terpenting, inilah dia dua tokoh hebat revolusi kebudayaan ala Presiden Jokowi dan Mendikbud Nadiem!
Keduanya enggak berlatar pedagogi, enggak punya ilmu budaya, enggak punya empiriknya, tapi punya kekuasaan dan duit exploitation der lhomme, parlhomme orang miskin ojol. Nanti saya urai profil keduanya. Mari simak dulu Yuswohadi, yang konon diorder menulis "Nadiem Dan Disrupsi Pendidikan Kita" di Sindo News, tampaknya mewakili. Seru, spekulatif, dan mengerikan. Nadiem sendiri enggak berani menulis.
Ikhwalnya Profesor Clayton Christensen. Menurut alumni Mark Plus itu, ialah pencipta teori disrupsi. Maka Yuswohadi berangkat dari situ. Christensen memprediksi tahun 2014, separuh universitas di AS bangkrut dalam kurun 10-15 tahun. Penyebabnya, terdisrupsi online learning, MOOCs (Massive Online Open Courses), etc. Jadilah hantu itu!
Christensen meramal disrupsi dunia pendidikan:
Pertama, 65% anak-anak, bakal mendapatkan pekerjaan yang sekarang belum ada.
Kedua, 75 juta (42%) pekerjaan manusia bakal digantikan robot AI (artificial intelligence) pada tahun 2022 (World Economic Forum, 2018).
Ketiga, pada 2021, 60% universitas di seluruh dunia bakal menggunakan teknologi virtual reality (VR) buat pembelajaran yang imersif (Gartner, 2018).
Pendidikan yaitu institusi yang sulit berubah menghadapi disrupsi. Kondisi dan metodologi pembelajaran hari ini, kata Yuswohadi, enggak jauh beda dengan kondisi seabad lampau: bakal terkena 3 disrupsi yang berakibat sistem menjadi usang dan enggak relevan.
Keempat, dari sisi anak didik, disrupsi diramal datang dari kaum milenial (neo-milenial, yaitu generasi Z) yang perilaku belajarnya menuntut perubahan radikal pendidikan, milenial generasi highly mobile, apps-dependent, terhubung online, cepat berbagi informasi via medsos, self-learner yang mencari sendiri pengetahuan di YouTube atau Khan Academy. Mereka menolak digurui. Generasi Z itu, melek visual (visually literate), lebih suka belajar secara visual (di YouTube, online games) Dibandingkan baca buku atau mendengar ceramah guru di kelas.
Mereka sangat melek data (data-literate), piawai berselancar di Google mengulik, memproses, mengurasi, dan menganalisis informasi daripada pasif di perpustakaan. Itu dilakukan dengan super-cepat lewat 3M: multi-media, multi-platform, dan multi-tasking.
Mereka lebih nyaman belajar secara kolaboratif di proyek riil, peer-to-peer, lewat komunitas atau jejaring sosial. Mereka, peers lebih kredibel Dibandingkan guru. Mereka lebih suka menggunakan interactive gaming buat belajar, mengerjakan PR.
Kelima, disrupsi teknologi, di mana teknologi pendidikan berkembang secara eksponensial mendisrupsi sekolah tradisional. Inovasi disrupsi pendidikan ie MOOC, open educational resources (OER), situs tutorial online seperti RuangGuru atau Khan Academy, social learning platform, personalized/customized learning, professional learning network (PLN), hingga massively multi-player online (MMO) learning games sekarang tengah antri buat mencapai titik critical mass. Sebagai wahana pembelajaran, sekolah tradisional bakal tergeser dari posisi “core” menjadi “peripheral”.
Keenam, teknologi 4.0 menghasilkan kompetensi (skill-set) baru, mendisrupsi kompetensi lama karna diganti robot/AI.
“The fourth industrial revolution seems to be creating fewer jobs in new industries than previous revolutions,” ujar Klaus Schwab pendiri World Economic Forum, kutip Yuswohadi.
Dengan teknologi machine learning, AI, big data analytics, IoT, AR/VR, hingga 3D printing, maka pekerjaan bergeser dari manual occupations dan routine/repetitive jobs ke cognitive/creative jobs. Kesuksesan ditentukan kemampuan kolaborasi “human +robot”. Itu sisi hard skill. Untuk soft skill, Tony Wagner (2008) merumuskan “Seven Survival Skills for 21st Century”. Tujuh skill-set itu minim diajarkan di sekolah. Karena itu sekolah perlu meredefinisi kurikulumnya dengan mengakomodasi skill-set.
Ketujuh, Nadiem terhadap disrupsi menerobos secara kreatif dengan pendekatan baru non business as usual.
Pendekatan lama dari orang-orang lama, puritan dan resisten membuat ekosistem pendidikan terpuruk melapuk, tulis Yuswohadi. Dunia pendidikan butuh sosok muda (milenial) yang punya default logika zaman baru.
Pendidikan butuh disruptive leader yang mumpuni, Nadiem? Seperti dibuktikan di Go-Jek kata Yuswohadi, Nadiem mampu memainkannya, menghasilkan creative solution, terobosan Go-Jek, Go-Ride, Go-Car, Go-Send, Go-Food, hingga Go-Pay.
Komen Saya
Bro Yuswohadi, anda enggak mabok tah? Sebab enggak ada masyarakat seperti profil paparan anda itu di Indonesia (1-6). Mungkin di AS. Sebab, membaca data SPSS (Statistical Pakckage Social and Science) saja, milenial itu enggak mampu. Bagaimana mereka disebut data literasi? Paling ada 1/mil yang bisa baca data SPSS. Kalau hanya akses data, kami dulu juga Telah canggih modem to modem sebelum masuknya Internet (1987).
Namun, cukup jelas latar belakang munculnya Nadim sebagai Mendikbud, ialah buat meng-Go-Jek-kan pendidikan. Ada 6 alasan seperti Telah Anda papar tadi: disruptif, hantu, dan komputerized.
Paparan Yuswohadi sama persis dengan pikiran Nadiem dan Jokowi. Modernitas via IT: tapi enggak lebih dari mengubah disdakmen menjadi BLK (balai latihan kerja). Ada link and match, cepat, anak didik diajar oleh AI, sosial media dan Youtube, etc. Tapi enggak ada itu di alam nyata. Hallu westernized itu. Tutorial macam itu, dengan machine learning, Telah ditolak tahun 2000 setelah para ahli AI bertemu di Carnegie Melon Univ. Sebelumnya di Konferensi Musim Panas di Montreal tahun 1954 menyatakan, "Kami takkan menyerahkan pendidikan kepada komputer", bunyi petisi itu. Karena itu, pendidikan tetap konservatif.
Sesat berat ente Bro Yuswohadi. Tidak itu yang dimaksud pengajaran Bro. Itu BLK buat cetak tukang, etc. Pengajaran enggak didasarkan karna ada hantu disrupsi yang menakuti balita. Juga bukan didasarkan karna anakmu suka gaul generasi Z, etc, yang kesengsem HP.
Pengajaran didasarkan data empiris, data pengalaman bangsa ini. Data Empirik itu diproyeksi menjadi kurikulum Dikdasmen. Tak boleh kurikulum mencerabut peserta didik dari akar antropologisnya (90 persen peserta didik yaitu anak muslim).
Jangan kau cari sillabus GO-JEK di situ. Aku pastikan enggak ada! Nyusun kurikulum itu, seperti menyusun Tabel Sosiologi Robert Merton. Menggunakan Time Series, tabel perilaku manusia itu baru selesai 26 tahun bikinnya. Mau dipercepat? Tak boleh dan enggak bisa. Kurikulum yaitu formula, perlu dicoba ke SD-SMP-SMA =12 tahun, sebagai kelinci percobaannya. Sekali gagal, berarti hangus 12 tahun.
Tahun 1975, dibuat eksperimen SMPP buat mencetak pemikir sekaligus tukang. Gagal. SMPP bubar, kembali menjadi SMA. Belakangan sekolah kejuruan ditukangi, STM diubah namanya menjadi SMK, termasuk SMEA. Gagal lagi, malah menjadi mobil Esemka, yang diimpor dari Cina.
llustrasi: kita muter dulu Bro: 1974 saya di Madura, kabur dari Jakarta karna diuber TEKAB-nya Malari yang dipimpin Hariman Siregar, sang legendaris. Issu ramai di Malang, yaitu mencari formula rokok kretek Gudang Garam. Seorang pembuat formula kretek Gudang Garam terbunuh saat ia ingin jual formula itu ke Jarum. Formula itu berharga Rp 7 miliar. Pertarungan Gudang Garam versus Jarum pun makin menghebat.
Jadi saya ikut mencampur uji coba kretek, siapa tahu saya beruntung: grosok dulu, sekian persen, tembakau hitam, sekian persen, tembakau kuning, sekian persen, tetes, sekian persen, cengkeh sekian persen, dst. Lalu gulung, jadilah rokok kretek.
Rasa berubah saat urutan diubah. Rasa juga berubah saat dosis berubah. Rasa juga berubah, jika raw material berubah. Banyak benar variabelnya. Lebih rumit daripada penelitian Adam Smith terhadap tukang jagal, di mana Smith menemukan 13 prototipe pisau jagal saat ia merumuskan formula efisiensi ekonomi yang, kemudian disebutnya Neo Classic.
Bayangkan rokok kretek itu anak didik. Bayangkan tukang jagal itu peserta didik. Kamu mengubah mereka dengan formula rokok kretek dan pisau jagal. Lalu anda buat tabel berjudul Statistics Indeks Human Behavior dalam ukuran alpha. Signifikansinya pasti lebih 5%. Gagal!
Seperti itu ribetnya menyusun kurikulum. Kurikulum itu Formula, Formula itu Menu Utama. IT pendukung Menu. Sekarang ingin dirombak oleh orang yang enggak mengerti Formula, hanya mengerti IT, sebatas copy paste aplikasi.
Tapi kan bisa meski laksana The Doubt & The Blind?
Tak bisa! Walau kau pakai manajemen Kaplan, Weber dan filosofi Noam Chomsky. Soalnya, enggak ada ilmu manajemen yang mengajar Headnya (leadnya).
Tapi baguslah, Ente Telah kasih bahan BLK meski nyaris semua Telah pernah saya dengar gymmicknya IT. Tapi perlu saya kemukakan, enggak ada sistem tutorial komputer maupun AI di Indonesia mengganti guru. Sudah ditolak ide itu tahun 2000, seiring penolakan ahli AI di Carnegie Melon.
Ramalan sejenis Profesor Christensen itu juga telah muncul sejak generasi komputer 386, 486, Pentium 75, 90, 100, Pentium Pro (Pentium 120). Aku mengikuti perkembangan itu, gimmicknya, sambil ngoprek. Tapi jaringan online pertama Pers di Indonesia, justru dibikin Dahlan Iskan, Jawa Pos, saya menjadi wartawan di situ.
Dongeng kayak itu juga saya dengar membumbui temuan komputer Newman di Silicon Valley sebelumnya, hingga IBM 400 Dekstop dari San Diego yang menggantikan mainframe. Dunia seolah bakal berubah drastis oleh tukang Super Computer. Tak terjadi apa-apa tuh, dunia IT berjalan anteng, stabil, meningkat dan menggembirakan. Gymmicknya doang yang gegap gempita.
Menurut UUD 45, pendidikan buat menciptakan kecerdasan dan orang beriman, bukan tukang. Tidak mencari kerja yang domainnya ekonomi. Tak bisa dikdasmen itu direvolusi. Kecuali Jokowi bikin revolusi sosial, bagian besarnya yaitu merevolusi Dikdasmen. Revolusi sosial yang menerbitkan Revolusi Mental. Keras, konsisten, berresiko, buat mengikuti metodologi revolusi sosial, seperti dilakukan guru Mao dan Deng. Pasti Jokowi enggak mampu.
Gojek membantu menampung naker Dibandingkan nganggur. Itu bukan soal pedagogi. Itu soal pertumbuhan ekonomi. Per 1 persen menyerap 400.000 naker. Pertumbuhan ekonomi 5 persen yaitu 5 dikali 400.000 = 2.000.000 naker/ tahun. Janji Jokowi 10.000.000 Naker/ tahun. Dia bohong. Jadi bukan soal kurikulum, apalagi celana cingkrang. Tapi soal Jokowi gagal meroket. mengapa Nadiem nyasar ke Dikbud? Dungu istilah Rocky Gerung.
Nadiem itu paradoks, tapi kaya raya berkat peras ojol. Tabungan ojol saja 20 persen sekitar Rp 1,4 M cash-in per hari.
Nadiem enggak pernah sekolah di Indonesia. Dia Telah westernized. Dia dari keluarga non muslim, menikah di gereja, anak-anaknya juga dibaptis di gereja. Dia berhasil menembus sistem sosial di Amerika, sehingga ia menjadi pengurus inti di Yayasan milik isterinya Bill Gates bersama Sri Mulyani Indrawati.
Kelihatan keren, tapi berbahaya. Yaitu menebar westernized dan sekularisme.
Djoko Edhi S Abdurrahman
Anggota Komisi Hukum DPR (periode 2004 - 2009), Advokat, Wasek Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)