RIDHMEDIA - Aksi solidaritas atas kekerasan yang menimpa seorang perawat yang diduga dilakukan oleh Wakil Bupati Aceh Timur semakin meluas.
Seperti yang dilakukan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jakarta Utara, yang meminta dukungan berbagai pihak untuk mengawal kasus ini. Salah satunya dengan mendatangi Anggota DPD RI yang juga Wakil Badan Pengkajian MPR RI, Fahira Idris.
Fahira menyatakan keperihatinannya atas kekerasan yang menimpa perawat anggota PPNI ini. Terlebih, kejadian ini berlangsung saat perawat sedang menjalankan tugasnya dan pelaku adalah seorang wakil bupati yang harusnya menjadi contoh dan teladan warga.
“Saya mengapreasi solidaritas yang digalang PPNI Jakarta Utara untuk menyuarakan persoalan ini. Dan saya berharap PPNI di daerah lain juga menggalang solidaritas di daerahnya masing-masing. Saya juga mendukung penuh upaya hukum yang ditempuh terhadap kasus ini dan meminta Polda Aceh untuk merespon dan mengusut kasus ini secara profesional dan proporsional,” ujarnya melalui keterangan tertulisnya, Kamis (26/12/2019).
Menurut Fahira, koridor hukum adalah cara terbaik untuk menyelesaikan persoalan ini. Kasus ini harus diselesaikan lewat jalur hukum agar tidak menjadi preseden buruk dan tidak terulang kembali di kemudian hari. Ditegaskan Fahira, perawat adalah profesi yang dilindungi oleh Undang-Undang (UU) Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan. “Saya sebagai Anggota DPD RI akan mengadvokasi kasus ini dengan mengawal proses hukumnya yang saat ini sedang berlangsung hingga tuntas,” tukasnya.
Kejadian dugaan kekerasan ini, lanjut Fahira, juga harusnya menjadi momentum bagi Pemerintah untuk mengatur kembali peraturan tentang tindakan medik apa saja yang dapat dilakukan oleh perawat, dan hal-hal penting lain yang selama ini belum tercantum secara terperinci dan detail. Termasuk menjabarkan form pelimpahan wewenang kepada perawat dalam peraturan perundang-undangan sebagai turunan dari UU Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan.
Persoalan lainnya adalah hingga saat ini masih belum jelas siapa leading sector di pemerintahan untuk mengimplementasikan UU Keperawatan. Ini karena tidak ada vocal point keperawatan di Kementerian Kesehatan. Belum diperbaharuinya aturan teknis terkait praktik perawat juga menjadi hambatan tersendiri bagi kepastian dan perlindungan dalam praktik perawat termasuk perizinan terutama di daerah-daerah.
“Harus diakui Pemerintah belum sepenuhnya mengoptimalkan perawat dalam pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Padahal perawat adalah salah garda terdepan. Oleh karena itu berbagai aturan yang belum sempurna harus segera disempurnakan terutama soal perlindungan dan kesejahteraan perawat,” pungkas Fahira. [mc]
Seperti yang dilakukan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jakarta Utara, yang meminta dukungan berbagai pihak untuk mengawal kasus ini. Salah satunya dengan mendatangi Anggota DPD RI yang juga Wakil Badan Pengkajian MPR RI, Fahira Idris.
Fahira menyatakan keperihatinannya atas kekerasan yang menimpa perawat anggota PPNI ini. Terlebih, kejadian ini berlangsung saat perawat sedang menjalankan tugasnya dan pelaku adalah seorang wakil bupati yang harusnya menjadi contoh dan teladan warga.
“Saya mengapreasi solidaritas yang digalang PPNI Jakarta Utara untuk menyuarakan persoalan ini. Dan saya berharap PPNI di daerah lain juga menggalang solidaritas di daerahnya masing-masing. Saya juga mendukung penuh upaya hukum yang ditempuh terhadap kasus ini dan meminta Polda Aceh untuk merespon dan mengusut kasus ini secara profesional dan proporsional,” ujarnya melalui keterangan tertulisnya, Kamis (26/12/2019).
Menurut Fahira, koridor hukum adalah cara terbaik untuk menyelesaikan persoalan ini. Kasus ini harus diselesaikan lewat jalur hukum agar tidak menjadi preseden buruk dan tidak terulang kembali di kemudian hari. Ditegaskan Fahira, perawat adalah profesi yang dilindungi oleh Undang-Undang (UU) Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan. “Saya sebagai Anggota DPD RI akan mengadvokasi kasus ini dengan mengawal proses hukumnya yang saat ini sedang berlangsung hingga tuntas,” tukasnya.
Kejadian dugaan kekerasan ini, lanjut Fahira, juga harusnya menjadi momentum bagi Pemerintah untuk mengatur kembali peraturan tentang tindakan medik apa saja yang dapat dilakukan oleh perawat, dan hal-hal penting lain yang selama ini belum tercantum secara terperinci dan detail. Termasuk menjabarkan form pelimpahan wewenang kepada perawat dalam peraturan perundang-undangan sebagai turunan dari UU Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan.
Persoalan lainnya adalah hingga saat ini masih belum jelas siapa leading sector di pemerintahan untuk mengimplementasikan UU Keperawatan. Ini karena tidak ada vocal point keperawatan di Kementerian Kesehatan. Belum diperbaharuinya aturan teknis terkait praktik perawat juga menjadi hambatan tersendiri bagi kepastian dan perlindungan dalam praktik perawat termasuk perizinan terutama di daerah-daerah.
“Harus diakui Pemerintah belum sepenuhnya mengoptimalkan perawat dalam pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Padahal perawat adalah salah garda terdepan. Oleh karena itu berbagai aturan yang belum sempurna harus segera disempurnakan terutama soal perlindungan dan kesejahteraan perawat,” pungkas Fahira. [mc]