‘Hilangnya’ Masjid-Masjid di Wilayah Xinjiang

Ridhmedia
18/12/19, 03:07 WIB
RIDHMEDIA - Di sudut di mana Masjid Heyitkah di wilayah barat jauh China, Xinjiang, pernah berdiri saat ini merupakan sebuah lapangan parkir yang bahkan tidak ditemukan jejak dari bangunan berkubah itu.

Sementara umat Muslim di seluruh dunia merayakan akhir Ramadhan dengan ibadah dan perayaan, penghancuran puluhan masjid di Xinjiang menunjukkan semakin besarnya tekanan yang dihadapi Uighur dan etnis minoritas lain di wilayah yang dijaga ketat itu.

Di belakang parkir mobil di kota Hotan, slogan “Mendidik rakyat untuk partai” terpampang di tembak sebuah sekolah dasar di mana murid-muridnya harus memindai wajah mereka ketika memasuki gerbang berkawat.

Masjid itu “indah”, kenang seorang penjual di pasar sekitar. “Banyak orang yang pergi ke sana.”

Gambar-gambar satelit yang ditinjau oleh AFP dan analis visual non profit Earthrise Alliance  menunjukkan bahwa 36 masjid dan tempat ibadah telah dihancurkan atau kubah mereka dan menara sudutnya telah disingkirkan sejak 2017.

Di masjid-masjid yang masih terbuka, para jamaah harus melalui detektor logam sementara kamera-kamera pengawas mengawasi mereka di dalam.

“Situasi di sini sangat ketat, itu membebani hati saya,”kata salah seorang Uighur, yang meminta identitasnya disembunyikan karena takut. “Saya tidak lagi pergi ke sana,” tambahnya, merujuk pada masjid. “Saya takut.”

Di kota kuno Kashgar, panggilan adzan Subuh yang biasa bergema tidak lagi terdengar.

Pada Rabu 5 Juni 2019, warga setempat merayakan Idul Fitri dengan memenuhi pintu masuk Masjid Idkah (masjid yang disetujui pemerintah komunis) – salah satu masjid terbesar di China – dengan polisi dan para petugas keamanan ditempatkan di sekeliling masjid dan petugas berpakaian preman memantau tindakan setiap orang.

Ini adalah Ramadan sederhana lainnya bagi umat Muslim di Xinjiang, di mana restoran-restoran sibuk menyajikan makanan kepada pelanggan sepanjang hari, saat umat Muslim sedang berpuasa.

Di Hotan pada Jumat – hari suci bagi umat Islam – satu-satunya masjid di kota itu sudah kosong ketika matahari terbenam, padahal di waktu itu biasanya keluarga-keluarga Muslim berbuka puasa Ramadan.

Sebelumnya di hari itu, sekitar 100 orang menghadiri sholat Jumat namun mayoritas dari mereka adalah orang-orang tua.

Di sudut di mana Masjid Heyitkah di wilayah barat jauh China ‘Hilangnya’ Masjid-Masjid di Wilayah Xinjiang

Partai Komunis yang berkuasa “melihat agama sebagai ancaman eksistensial ini’, kata James Leibold, seorang ahli hubungan etnis dan kebijakan China di Universitas La Trobe.

Dalam jangka panjang, pemerintah China ingin meraih “sekularisasi masyarakat China”, katanya.

Pemerintah Xinjiang mengatakan pihaknya “melindungi kebebasan beragama” dan para penduduk dapat merayakan Ramadan “dalam lingkup yang diizinkan oleh hukum”, tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Pihak berwenang China telah melemparkan jaring keamanan berteknologi tinggi di wilayah tersebut, memasang kamera-kamera, kantor polisi keliling dan pos pemeriksaan di setiap jalan sebagai tanggapan atas serangkaian serangan yang dituding dilakukan oleh ekstrimis Islam dan para separatis dalam beberapa tahun terakhir.

Diperkirakan satu juta etnis Uighur dan kelompok etnis berbahasa Turk lain ditahan di jaringan luas kamp-kamp pengasingan.

Setelah pada awalnya menyangkal keberadaan kamp-kamp itu, pihak berwenang China tahun lalu mengakui bahwa mereka menjalankan “pusat-pusat pendidikan kejuruan” yang juga sering disebut ‘kamp cuci otak’ yang bertujuan untuk menjauhkan orang-orang dari ekstrimisme agama dengan mengajarkan mereka bahasa Mandarin dan hukum-hukum China.

Ramadhan tidaklah sama

Pemerintah Xinjiang mengatakan orang-orang di pusat pendidikan tidak diperbolehkan melakukan kegiatan agama karena hukum China melarang kegiatan agama di dalam fasilitas pendidikan, tapi mereka bebas untuk melakukannya “ketika mereka pulang ke rumah pada akhir minggu.”

Dalam beberapa tahun terakhir, pihak berwenang China telah meningkatkan kontrol atas simbol agama yang ditampilkan di publik dan tradisi-tradisi di Xinjiang.

Reporter AFP tidak melihat adanya wanita berjilbab dan beberapa pria berjenggot selama seminggu mengunjungi wilayah tersebut. Para bekas tahanan kamp pengasingan telah mengatakan mereka dipenjara karena menunjukkan tanda-tanda keagamaan mereka.

Tempat ibadah juga menjadi sasaran tindakan-tindakan keamanan Beijing yang kejam.

Dalam gambar-gambar satelit yang dianalisis oleh AFP dan Earthrise Alliance, 30 situs keagamaan telah sepenuhnya dihancurkan sementara enam situs kubah dan menara telah dicopot.

Reporter AFP mengunjungi sekitar setengah lusin situs, dan menemukan bahwa beberapa masjid telah diubah fungsi menjadi ruang publik lain.

Petugas kepolisian melarang para jurnalis memasuki Artux, terletak di utara Kashgar, di mana masjid agung kota dan lusinan masjid lainnya dihancurkan.

Daerah ini berjarak sekitar 22 km dari sebuah komplek besar yang diyakini merupakan pusat re-edukasi. Terlihat dari desa terdekat, fasilitas ini memiliki pagar-pagar berduri, menara pengawas dan bangunan blok yang megah.

Di Kashgar, dua kamera pengawas terpasang di tiang-tiang bekas masjid di pintu masuknya. Tidak ada menara atau kubah – malah, sebuah toko yang menjual gaun di sebelah kanannya.

Masjid yang dihancurkan di Hotan telah diubah menjadi taman, dipasangi trotoar beton dan pohon.

Di bagian luar kota tersebut, terletak diantara pemakaman dan bukit pasir, dua bendera putih dan tumpukan sampah dan hanya puing-puing yang tersisa dari sebuah kuil tua bernama Imam Asim.

Uighur menganggap masjid dan kuil “warisan leluhur mereka”, kata Omer Kanat, Direktur Uighur Human Rights Project.

“Pemerintah China ingin menghapus semuanya … yang berbeda dari Han, semua yang jadi milik budaya Uighur atau budaya Islam di wilayah itu,” katanya.

Meskipun pelarangan kegiatan agama, seperti berpuasa, bukanlah hal baru, para pengamat mengatakan kondisi telah memburuk ke titik di mana perayaan bulan suci di Xinjiang berkurang atau sebagian besar tidak terlihat.

Sapaan Islam dan secara terbuka berpuasa di publik tidak lagi diperbolehkan, kata Darren Byler, dosen di Universitas Washington yang berfokus pada budaya Uighur.

Di masjid-masjid yang didukung pemerintah, aktivitas agama dikendalikan dengan China mengejar rencana lima tahun untuk “menchinakan Islam” (chinaisasi, red) sebagai “satu-satunya cara untuk perkembangan Islam yang sehat” di negara itu, kata Yang Faming, presiden Asosiasi Islam China yang didukung pemerintah, pada Januari.

Kalimat propaganda dengan slogan seperti “cintai partai, cintai negara” tergantung di banyak masjid.*/Nashirul Haq AR

Sumber: hidayatullah.com
Komentar

Tampilkan

Terkini