RIDHMEDIA - Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, mengingatkan Presiden Joko Widodo soal membludaknya jumlah jenderal di jajaran Polri sekarang ini.
Menurut Neta, dalam “Catatan Akhir Tahun IPW”-nya yang diterima redaksi pada Senin (23/12/2019), Presiden Jokowi harus mendorong Kapolri Idham Azis untuk segera mengarahkan kepolisian Indonesia menuju Polri 4.0.
Hal itu agar Polri tidak asyik sendiri melebarkan organisasinya dengan euforia penambahan jenderal di sana-sini, sehingga jumlah jenderal Polri pun membludak seperti sekarang ini.
“Sangat ironis jika Presiden sangat ironis jika Presiden akan menghapus sejumlah eselon di departemen, sementara Polri asyik melebarkan organisasinya, seperti menjadikan Brimob dan Humas dipimpin jenderal bintang tiga dan penambahan Kapolresta dipimpin Kombes,” kata Neta.
Di era milenial sekarang ini, lanjutnya, Polri perlu segera menata organisasi dan personilnya dengan mengedepankan IT, sehingga secara bertahap kepolisian menuju Polri 4.0.
“Saat ini, konsep lama Polri sudah sangat ketinggalan zaman dan menjadi beban berkepanjangan bagi organisasi,” katanya.
Dalam perhitungan IPW, rasio 1:750 milik Polri yang mengacu pada rasio PBB sudah tidak rasional lagi. Negara-negara maju dan modern tidak lagi memakai rasio tersebut.
“Justru jumlah polisi dikurangi secara signifikan dan kekurangan personil ditutupi dengan IT, sehingga cctv menjadi mata kepolisian di mana-mana. Dengan cctv di mana-mana, polisi modern bisa bereaksi cepat dan 15 menit tiba di TKP. Teknologi menjadi andalan kepolisian dalam melindungi masyarakat,” papar Neta.
Ia menjelaskan, dengan berkembangnya konsep Polisi 4.0, kepolisian di negara-negara maju tidak lagi menggeber rekruitmen polisi secara besar besaran. Tapi rekrutmen secara terbatas.
“Sementara Polri, setiap tahunnya merekrut 9.500 anggota baru, yang 300 di antaranya untuk Akpol. Akibatnya, terjadi penumpukan personil kepolisian. Jumlah Kombes yang menganggur kian banyak. Belum lagi jumlah AKBP yg menganggur lebih dari tiga kali lipat,” katanya.
Akibat hal ini, saat lengser sebagai Kapolri, Tito Karnavia pun sampai minta maaf akibat banyaknya jumlah Kombes nganggur saat ini.
Semua itu, menurut Neta, terjadi akibat Polri belum mengubah konsepnya sebagai polisi modern.
Kata-kata modern hanya dijadikan retorika dan belum dilaksanakan secara benar dan serius. Kesadaran untuk mengembangkan Polri 4.0 belum tercipta.
Akibatnya, organisasi Polri kian tambun dan sulit bergerak serta tidak lincah dalam melindungi masyarakat.
“Dalam kondisi ini, jalan pintas pun diambil para elit Polri. Banyaknya jumlah Kombes disikapi dengan penambahan sejumlah struktur baru, dengan pangkat Brigjen, Irjen hingga Komjen. Selain itu, para jenderal Polri didorong bertugas ke luar institusi kepolisian. Sehingga jenderal polisi kian banyak dan ada di mana-mana,” katanya.
Indonesia pun, pada akhirnya, seakan menjadi negara polisi. Di sisi lain, anggaran Polri yang terus bertambah setiap tahun tersedot untuk tunjangan dan fasilitas para jenderal yang terus bertambah jumlahnya.
“Situasi buruk di Polri ini harus disudahi. Reformasi Polri harus dikembalikan ke khittah-nya agar melahirkan Polri yang efisien, efektif, profesional, modern, dan terpercaya. Bukan Reformasi Polri yang melahirkan jenderal di mana-mana,” kata Neta.
Maka, menurutnya, Presiden Jokowi —sebagai Panglima Tertinggi Polri— harus segera mendorong Kapolri Idham Azis melahirkan Polri 4.0.
Selain itu, untuk menyikapi kelebihan Kombes dan AKBP, penerimaan Akpol perlu dimoratorium dua atau tiga tahun ke depan. Lalu ditawarkan pensiun dini kepada para Kombes yang sudah "mentok".
Setelah itu, organisasi Polri dirampingkan dan kinerja kepolisian ditata ulang menuju polisi yang efisien, efektif, Profesional, Modern dan Terpercaya, dengan IT dan cctv di mana-mana sebagai pengganti polisi manusia.
“Sebab, makin banyaknya polisi manusia di lapangan, persoalan bukannya cepat selesai tapi makin banyak persoalan baru dan rumit, yang membuat konsep profesional, modern dan terpercaya Polri diragukan banyak pihak,” katanya.
Untuk itu, di tahun 2020, Polri perlu serius menata organisasinya, mengevaluasi SDM dan alutsistanya untuk kemudian dibuat grand desain menuju polisi modern yang Polri 4.0.
“Sehingga Polri Promoter benar adanya, dan bukan sekadar Promoter yang diplesetkan menjadi Promosi Orang-orang Tertentu,” pungkas Neta.[mc]
Menurut Neta, dalam “Catatan Akhir Tahun IPW”-nya yang diterima redaksi pada Senin (23/12/2019), Presiden Jokowi harus mendorong Kapolri Idham Azis untuk segera mengarahkan kepolisian Indonesia menuju Polri 4.0.
Hal itu agar Polri tidak asyik sendiri melebarkan organisasinya dengan euforia penambahan jenderal di sana-sini, sehingga jumlah jenderal Polri pun membludak seperti sekarang ini.
“Sangat ironis jika Presiden sangat ironis jika Presiden akan menghapus sejumlah eselon di departemen, sementara Polri asyik melebarkan organisasinya, seperti menjadikan Brimob dan Humas dipimpin jenderal bintang tiga dan penambahan Kapolresta dipimpin Kombes,” kata Neta.
Di era milenial sekarang ini, lanjutnya, Polri perlu segera menata organisasi dan personilnya dengan mengedepankan IT, sehingga secara bertahap kepolisian menuju Polri 4.0.
“Saat ini, konsep lama Polri sudah sangat ketinggalan zaman dan menjadi beban berkepanjangan bagi organisasi,” katanya.
Dalam perhitungan IPW, rasio 1:750 milik Polri yang mengacu pada rasio PBB sudah tidak rasional lagi. Negara-negara maju dan modern tidak lagi memakai rasio tersebut.
“Justru jumlah polisi dikurangi secara signifikan dan kekurangan personil ditutupi dengan IT, sehingga cctv menjadi mata kepolisian di mana-mana. Dengan cctv di mana-mana, polisi modern bisa bereaksi cepat dan 15 menit tiba di TKP. Teknologi menjadi andalan kepolisian dalam melindungi masyarakat,” papar Neta.
Ia menjelaskan, dengan berkembangnya konsep Polisi 4.0, kepolisian di negara-negara maju tidak lagi menggeber rekruitmen polisi secara besar besaran. Tapi rekrutmen secara terbatas.
“Sementara Polri, setiap tahunnya merekrut 9.500 anggota baru, yang 300 di antaranya untuk Akpol. Akibatnya, terjadi penumpukan personil kepolisian. Jumlah Kombes yang menganggur kian banyak. Belum lagi jumlah AKBP yg menganggur lebih dari tiga kali lipat,” katanya.
Akibat hal ini, saat lengser sebagai Kapolri, Tito Karnavia pun sampai minta maaf akibat banyaknya jumlah Kombes nganggur saat ini.
Semua itu, menurut Neta, terjadi akibat Polri belum mengubah konsepnya sebagai polisi modern.
Kata-kata modern hanya dijadikan retorika dan belum dilaksanakan secara benar dan serius. Kesadaran untuk mengembangkan Polri 4.0 belum tercipta.
Akibatnya, organisasi Polri kian tambun dan sulit bergerak serta tidak lincah dalam melindungi masyarakat.
“Dalam kondisi ini, jalan pintas pun diambil para elit Polri. Banyaknya jumlah Kombes disikapi dengan penambahan sejumlah struktur baru, dengan pangkat Brigjen, Irjen hingga Komjen. Selain itu, para jenderal Polri didorong bertugas ke luar institusi kepolisian. Sehingga jenderal polisi kian banyak dan ada di mana-mana,” katanya.
Indonesia pun, pada akhirnya, seakan menjadi negara polisi. Di sisi lain, anggaran Polri yang terus bertambah setiap tahun tersedot untuk tunjangan dan fasilitas para jenderal yang terus bertambah jumlahnya.
“Situasi buruk di Polri ini harus disudahi. Reformasi Polri harus dikembalikan ke khittah-nya agar melahirkan Polri yang efisien, efektif, profesional, modern, dan terpercaya. Bukan Reformasi Polri yang melahirkan jenderal di mana-mana,” kata Neta.
Maka, menurutnya, Presiden Jokowi —sebagai Panglima Tertinggi Polri— harus segera mendorong Kapolri Idham Azis melahirkan Polri 4.0.
Selain itu, untuk menyikapi kelebihan Kombes dan AKBP, penerimaan Akpol perlu dimoratorium dua atau tiga tahun ke depan. Lalu ditawarkan pensiun dini kepada para Kombes yang sudah "mentok".
Setelah itu, organisasi Polri dirampingkan dan kinerja kepolisian ditata ulang menuju polisi yang efisien, efektif, Profesional, Modern dan Terpercaya, dengan IT dan cctv di mana-mana sebagai pengganti polisi manusia.
“Sebab, makin banyaknya polisi manusia di lapangan, persoalan bukannya cepat selesai tapi makin banyak persoalan baru dan rumit, yang membuat konsep profesional, modern dan terpercaya Polri diragukan banyak pihak,” katanya.
Untuk itu, di tahun 2020, Polri perlu serius menata organisasinya, mengevaluasi SDM dan alutsistanya untuk kemudian dibuat grand desain menuju polisi modern yang Polri 4.0.
“Sehingga Polri Promoter benar adanya, dan bukan sekadar Promoter yang diplesetkan menjadi Promosi Orang-orang Tertentu,” pungkas Neta.[mc]