RIDHMEDIA - Menanggapi polemik menjelang 25 Desember 2019 dan terbitnya fatwa MUI Jawa Timur (Jatim) soal larangan mengucapkan Selamat Natal yang menjadi perdebatan panas di tataran nasional, Direktur Lingkar Wajah Kemanusiaan (LAWAN Institute), Muhammad Mualimin, meminta majelis ulama tidak bertindak menjadi petugas hubung antara hamba dan Tuhan (wakil Tuhan).
“Islam yang dibawa Nabi Muhammad tidak membahas soal hukum mengucapkan Selamat Natal. Itu hanya buatan ulama zaman modern dan bergulir tiap tahun. Dalam konsepsi ketauhidan di Islam, MUI tidak punya tempat, sebab ketuhanan adalah urusan seorang muslim (individu) dan Tuhannya (Allah). Jadi majelis ulama tidak pas bila berperan jadi calo ketuhanan,” kata Mualimin dalam rilis persnya di Jakarta, Senin (23/12/2019).
Menurutnya, NKRI adalah negara bangsa yang sudah mantap mewarisi keragaman agama dan aliran kepercayaan.
Maka, ormas, lembaga, organisasi, dan perkumpulan nasional di Indonesia seharusnya menjunjung tinggi sikap dan watak yang menyejukkan bagi setiap warga bangsa.
“Bila negara ingin maju dan tenteram, sebaiknya kelompok mayoritas meninggalkan pola pikir sempit yang kontraproduktif bagi pembangunan sosial-politik di tanah air. Jangan rusak persaudaraan anak bangsa atas nama 'Tauhid', apalagi sikap tersebut hanya pendapat sebagian kecil ulama dan tidak memiliki dasar argumentasi yang sahih,” katanya.
Ia pun menegaskan, daripada “memutar kaset lama” dan menggulirkan isu tiap tahun yang membosankan, MUI sebaiknya bersuara lantang dalam urusan yang lebih nyata dan dibutuhkan umat, misalnya perampasan tanah petani oleh kebijakan buta pembangunan infrastruktur pemerintah atau hancurnya ekosistem laut akibat sampah plastik.
“Kenapa MUI selalu mempermasalahkan ucapan yang sepele begitu? Memangnya tidak bisa ya membahas persoalan yang lebih nyata dan konkret menyangkut nasib rakyat kecil. Bersuara dong, ini alam Indonesia dirusak oleh sampah plastik, kenapa MUI diam saja. Bukankah Islam juga mengajarkan pemeluknya untuk cinta lingkungan? Mana suara ulama membela hak-hak petani di desa,” tambah Aktivis HMI ini.[mc]
“Islam yang dibawa Nabi Muhammad tidak membahas soal hukum mengucapkan Selamat Natal. Itu hanya buatan ulama zaman modern dan bergulir tiap tahun. Dalam konsepsi ketauhidan di Islam, MUI tidak punya tempat, sebab ketuhanan adalah urusan seorang muslim (individu) dan Tuhannya (Allah). Jadi majelis ulama tidak pas bila berperan jadi calo ketuhanan,” kata Mualimin dalam rilis persnya di Jakarta, Senin (23/12/2019).
Menurutnya, NKRI adalah negara bangsa yang sudah mantap mewarisi keragaman agama dan aliran kepercayaan.
Maka, ormas, lembaga, organisasi, dan perkumpulan nasional di Indonesia seharusnya menjunjung tinggi sikap dan watak yang menyejukkan bagi setiap warga bangsa.
“Bila negara ingin maju dan tenteram, sebaiknya kelompok mayoritas meninggalkan pola pikir sempit yang kontraproduktif bagi pembangunan sosial-politik di tanah air. Jangan rusak persaudaraan anak bangsa atas nama 'Tauhid', apalagi sikap tersebut hanya pendapat sebagian kecil ulama dan tidak memiliki dasar argumentasi yang sahih,” katanya.
Ia pun menegaskan, daripada “memutar kaset lama” dan menggulirkan isu tiap tahun yang membosankan, MUI sebaiknya bersuara lantang dalam urusan yang lebih nyata dan dibutuhkan umat, misalnya perampasan tanah petani oleh kebijakan buta pembangunan infrastruktur pemerintah atau hancurnya ekosistem laut akibat sampah plastik.
“Kenapa MUI selalu mempermasalahkan ucapan yang sepele begitu? Memangnya tidak bisa ya membahas persoalan yang lebih nyata dan konkret menyangkut nasib rakyat kecil. Bersuara dong, ini alam Indonesia dirusak oleh sampah plastik, kenapa MUI diam saja. Bukankah Islam juga mengajarkan pemeluknya untuk cinta lingkungan? Mana suara ulama membela hak-hak petani di desa,” tambah Aktivis HMI ini.[mc]