Oleh:Zulkarnain Nasution
SEPENINGGAL Rasul SAW tahun 632 Masehi para sahabat dengan segala bentuk dinamika yang terjadi saat itu langsung mencari pemimpin yang akan memimpin Negara Islam sebagai pengganti Nabi “Khalifah Lin Nabi” dalam menggerakkan roda pemerintahan di Madinah.
Seketika itu Abu Bakar terpilih menjadi Khalifah pertama yang dianggap mampu menggantikan posisi Nabi sebagai pemimpin umat dalam menciptakan iklim harmonisasi agama dan negara. Sebagaimana disebutkan Syeikh Islam Ibn Taimiyah bahwa maksud dan kewajiban orang yang telah diberi mandat kekuasaan adalah memelihara agama makhluk dan memelihara suatu maslahat dimana agama tidak bisa dijalankan kecuali dengan ornamen yang terkait dengan perkara dunia mereka.
Maka dua fungsi pokok bagi khalifah dalam Islam adalah pertama, menjaga keberlangsungan beragama sesuai pokok-pokok pedoman agama dan kedua, mampu memelihara dan mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat muslim dan yang terkait lainnya.
Umar ibn Khattab pada Thabaqat ibn Sa’ad pernah bertanya kepada para sahabat “apakah saya seorang raja atau khalifah? Sahabat menjawab bahwa Engkau mempertanyakan sesuatu yang kami belum mengenalnya. Selanjutnya Salman memberi jawaban “bila engkau mendapatkan keuntungan berupa finansial dari dunia Islam kemudian engkau menyalurkannya ke tempat yang tidak sepantasnya maka engkau hanyalah seorang raja” kemudian umar pun menangis.
Dalam riwayat lain “Bahwa khalifah adalah tidak akan mengambil kecuali haknya dan tidak akan memberi sesuatu kecuali yang berhak menerimanya” adapun seorang raja selalu menzhalimi manusia mengambil dan memberi dari dan kepada yang bukan berhak.
Kisah Umar tersebut menginspirasi bahwa sebuah khilafah atau kekuasaan dalam koridor negara Islam adalah aplikasi nilai-nilai komprehensif syariah yang memberikan kemaslahatan masyarakat untuk kehidupan dunia dan akhirat mereka. Bila kehidupan dunia sesuai petunjuk syariah sudah bisa dipastikan akan memperoleh kebahagiaan di akhirat. Sebagaimana pada muqoddimah Ibn Khaldun bahwa esensi khilafah adalah pengganti pemilik syariah yang mampu menjaga dinamisasi beragama dan strategi politik bernegara.
Khilafah sebagai Khalifah lin Nabi pengganti fungsi Nabi adalah juga merupakan hakim agung di kalangan kaum muslimin. Istilah Khilafah bermula ketika Abu Bakar di bai’at menjadi Imamah kaum muslimin, kepatuhan kepada imam merupakan kewajiban selayaknya seseorang menjadi makmum kepada imam shalat.
Ketika masuk fase Umar Ibn Khattab sebutan khalifah oleh para sahabat digantikan menjadi Amirul Mukminin, dikisahkan bahwa Amr bin Ash ketika menghadap Umar bin Khattab mengatakan Ya Amirul Mukminin, Umar pun berkata sebutan apakah itu? Engkau “Amiir” dan Kami “Mukminun”.
Pemakaian kata khalifah ataupun khilafah sebagai bentuk dari kekuasaan belum ditemukan di masa hidup Rasul saw tetapi kata Amir seperti amirul juyush yaitu panglima perang, amirul aqalim yaitu penguasa sebuah kota telah menjadi sebutan yang akrab dimasyarakat pada saat itu.
Diriwayatkan dalam sebuah hadis “Barang siapa yang patuh kepada-Ku maka sesungguhnya mematuhi Allah dan siapa yang durhaka kepada-Ku maka sesungguhnya mendurhakai Allah dan barang siapa yang patuh kepada Amir-Ku maka sesungguhnya mematuhi-Ku dan siapa yang durhaka kepada amir-Ku maka sesungguhnya mendurhakai-Ku”.
Pada masa itu belum ada sistem perundangan yang mengatur tapal batas geografis wilayah kekuasaan Khilafah Islam kecuali sebuah keyakinan bahwa perluasan teritorial daerah kekuasaan merupakan misi utama kekhalifahan. Baik pada masa-masa awal Khulafaur Rasydun sampai kepada kejayaan Khilafah Umawiyah di Damasqus dan Abbasiyah di Baghdad, selanjutnya Khilafatah Othoman di Turkey yang eksistensinya di kudeta oleh Kamal Attaturk pada tahun 1924. Seiring runtuhnya Khilafah Othoman Turkey maka berakhir pula sebuah kekuasaan yang menggunakan istilah kekhilafahan dalam kekuasaannya.
Doktrin khilafah oleh kalangan monarchomah (penentang raja) sangat ditentang karena mereka beranggapan bahwa sumber kekuasaan adalah rakyat. Sementara khilafah berpandangan bahwa hak memerintah yang dimiliki para raja adalah berasal dari Tuhan. Para raja mempertanggungjawabkan kekuasaannya hanya kepada Tuhan bukan kepada manusia karena mereka adalah sebagai wakil Tuhan atau bayang-bayang Allah di dunia (khalifatullah fi al-ard, dzillullah fi al-ard).
Paham teokrasi yang berkembang dalam priode raja-raja setelah Khulafa al-rasyidin pada akhirnya melahirkan doktrin politik Islam sebagai agama sekaligus kekuasaan (dien wa daulah) doktrin dominan yang menyatakan bahwa Islam tidak akan memisahkan antara agama dan negara.
Pemerintahan monarki absolut yang dijalankan oleh raja-raja yang berkuasa pada dinasti kekhilafahan Umawiyah, Abbasiyah dan Othoman Turkey direspons oleh segelintir komunitas sebagai wacana kajian idealis untuk sampai kepada good governance. Kelompok ini sedang bernostalgia dengan good stories peradaban kekhilafahan islam abad pertengahan yang memberikan kontribusi pencerahan knowledge dan social civilization values.
Mereka cenderung apatis terhadap realitas sosial madani moderen yang sedang berjalan harmonis dengan dinamika sentuhan kepentingan partai politik sebagai alat penyalur aspirasi berkebangsaan.
Model pemerintahan demokrasi berdaulat yang mendasarkan kekuasaanya pada pilihan dan kehendak rakyat melalui mekanisme pemlihan umum ingin di restorasi menjadi khilafah.
Sungguh pemahaman khilafah seperti itu sangat mengkhawatirkan dalam perkembangannya karena dogma jihad dalam bentuk kekerasan menjadi bagian penting dalam mencapai tujuan instan kekuasaan. Mimpi negara-negara islam yang sudah berdaulat akan melebur menjadi satu kepemimpinan yang dinamakan khalifah menjadi harapan tegaknya syariah dalam tata kelola pemerintahan. Dogma absolut eksistensi manusia sebagai pemakmur bumi terlupakan oleh perindu khilafah ini “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya” (QS. Hud: 61).
Tugas Pemakmur bumi itu diperuntukkan bagi orang-orang yang Allah berikan kekuasaan sebagaimana pada QS. Al-Hajj:41 “(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar”.
Perhatian pertama dari Ayat ini memberi penjelasan bahwa Kedudukan (kekuasaan) yang Allah titipkan kepada seseorang semestinya dapat memelihara bangunan agama di masyarakat. Mampu menjaga nilai-nilai spiritual keagamaan tetap melekat dalam bingkai sosial budaya kemasyarakatan yang heterogen. Hal ini tampak pada isyarat ad-dilalah al-ayat perintah mendirikan shalat bagi semua tingkat kekuasaan yang Allah berikan kepadanya.
Isyarat ad-dilalah al-ayat kedua adalah perintah menunaikan zakat, Allah swt dalam hal ini memberikan visi pemimpin harus bersungguh-sungguh meningkatkan tarap hidup ekonomi masyarakatnya. Karena konsep zakat bukan sekadar pemberian orang kaya kepada si miskin tetapi zakat adalah harta yang harus dikembangkan untuk meningkatkan ekonomi sebagai hajat kebutuhan orang banyak. Ketiga sebagai Isyarat ad-dilalah al-ayat bahwa penguasa dalam memimpin harus memperhatikan keamanan dan kenyamanan secara berdaulat bagi masyarakatnya. Imbauan ini terlihat pada perintah menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar.
Tiga konsep dasar perintah agama diatas yaitu, penguatan nilai-nilai spiritual, ekonomi dan keamanan secara berdaulat yang harus terwujud di tengah-tengah masyarakat ditujukan kepada semua pemimpin di semua tingkatan, baik itu lembaga pemerintahan, swasta ataupun ormas kemasyarakatan harus menjadi perhatian serius. Sebagaimana perhatian founding fathers Negara Indonesia yang kita cintai ini dengan merumuskan Pancasila sebagai dasar negara dan cita-cita bangsa ini.
Pancasila sebagai jalan tengah yang dirumuskan tokoh-tokoh muslim dan menjadi konsensus politik bersama memperlihatkan bahwa khilafah bukan tujuan pokok dalam Islam tetapi mengisi dan membentuk sebuah kekuasaan dengan nilai-nilai universal keagamaan merupakan sebuah kewajiban. Dan hal ini harus terus diperjuangkan dengan cara-cara kontemporer yang berlaku dalam konsensus sebuah negara.
Konsensus dalam Kebhinekaan sosial masyarakat bangsa Indonesia harus dipelihara oleh semua anak bangsa. Sebagai manifestasi budaya dakwah Islamiyah rahmatan lil alamin. Dan sebagai refleksi kekhawatiran malaikat ketika Allah memberitahukan kepadanya akan menciptakan manusia dimuka bumi "Sesungguhnya aku ingin menjadikan khalifah di muka bumi. Mereka berkata: mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah".(QS. Al-Baqarah:30)
(Penulis adalah Alumni Al-Azhar University Cairo Mesir)