Oleh:Robikin Emhas
DUA hal perlu ditekankan. Pertama soal prinsip kebhinekaan. Dalam konsep kebhinekaan yang menjadi pilar kebangsaan kita, kemajemukan dalam masyarakat justru adalah sumber kekuatan utama bangsa Indonesia. Ini dulu frame dasar yang harus kita insyafi.
Kedua, terkait prinsip toleransi. Hidup di tengah masyarakat yang majemuk mensyaratkan pentingnya sikap lemah lembut, berlaku baik, saling menghormati, saling menghargai. Sikap yang mengedepankan pendekatan kemanusiaan semacam ini kemudian yang dikonsepsikan sebagai sikap toleransi.
Kalau kita belajar sejarah mengenai akar kebudayaan bangsa kita, saya bisa katakan toleransi merupakan bagian inheren dalam jati diri bangsa Indonesia. Kehidupannya ada dalam jiwa Bhinneka Tunggal Ika.
Berpuluh bahkan beratus tahun sebelum Indonesia merdeka, bangsa kita sudah beragam suku, budaya, dan agamanya. Tetapi para leluhur kita bisa hidup rukun, damai, dan saling welas asih sebagai sesama anak bangsa.
Kenapa sikap toleran demikian terpatri dalam jati diri bangsa Indonesia? Kita harus tahu, toleransi sesungguhnya juga bagian inheren dari ajaran agama kita. Islam mengenal konsep tasamuh yang juga sering diterjemahkan sebagai sikap toleransi.
Secara umum sebagai sebuah ajaran, sikap toleran itu ada penjelasannya. Ada petunjuk-petunjuknya. Dalam hidup bermasyarakat orang harus sama-sama berlaku baik, lemah lembut, saling pemaaf, menghargai, dan seterusnya. Tetapi bagaimana berlaku baik itu, bagiamana bersikap lemah lembut itu, agama kan memberikan panduannya.
Nah, dari sini saya ingin masuk ke pertanyaan seputar Natal.
Begini, prinsip umum yang tidak boleh dilangkahi dalam menerapkan prinsip toleransi saya kira jelas. Lakum diinukum wa liya diin. Bagi kalian agama kalian, bagi kami agama kami. Kalau sudah menyangkut akidah tidak boleh kita pertukarkan.
Soal ini ada cerita begini. Dulu suatu ketika, beberapa orang kafir Quraisy menemui Nabi. Mereka menawarkan ide untuk saling bertoleransi kepada Nabi.
Mereka berkata, "Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu, dan kalian juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagian dari ajaran agamamu yang lebih baik dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya." Maka turunlah ayat, “Qul yaa ayyuhal kaafiruun. Laa a’budu maa ta’buduun” dan seterusnya.
Jadi, toleransi itu dimensinya ukhuwah basyariyah, persaudaraan kemanusiaan. Bukan ranah teologis. Kita cukup dengan menghargai apa yang umat agama lain lakukan dengan membiarkannya dan tidak berbuat keributan. Biarkanlah mereka lakukan apa yang mereka yakini, sedang kita fokus pada apa yang kita yakini. Itu intinya.
Terkait ucapan natal, ulama-ulama kita memiliki beberapa pendapat. Ada yang melarang karena khawatir mengganggu akidah, ada yang membolehkan dengan pengertian ucapan natal sebagai bagian dari kesadaran bermuamalah. Sekadar hormat kepada kawan atau berempati kepada sesama warga bangsa, itu dimensinya ukhuwah wathaniyah. Kalau dalam dimensi itu, menyampaikan ucapan natal saya kira tidak mengganggu akidah kita.
Dalam konteks ini saya setuju pendapat ulama asal Mesir Syekh Yusuf Qaradhawi. Pendapat beliau, boleh atau tidaknya ucapan selamat Natal dari Muslim kepada Nasrani itu dikembalikan kepada niatnya. Kalau berniat hanya untuk menghormati atau berempati kepada teman yang Nasrani, maka tidak masalah.
Indonesia kita ini kan negara majemuk. Apalagi ucapan natal itu dimaksudkan sebagai ungkapan kegembiraan atas kelahiran Nabi Isa Alaihi salam sebagai rasul.
Nah, dengan panduan dan batasan seperti itu, apakah momentum Natal bisa menjadi ajang untuk mempererat dan mengikat kembali tali kebangsaan kita? Saya jawab pasti. Akan tetapi tentu tidak sebatas ucapan Selamat Natal.
Saya lebih setuju dan mengimbau kepada kita semua, jauh lebih bernilai sebenarnya apabila ada kemauan bersama diantara para pemeluk agama yang berbeda untuk membuka ruang dialog antar umat. Ruang-ruang dialogis seperti ini saya kira penting untuk terus menguatkan tali persatuan kita. Meskipun berbeda keyakinan, bukankah kita tetap bersaudara dalam kemanusiaan.
(Penulis adalah Ketua PBNU Bidang Hukum dan Perundang-undangan)