Kritik Tajam SBY ke Pemerintahan Jokowi, dari Pengangguran Hingga Pajak Jadi Sorotan

Ridhmedia
14/12/19, 08:30 WIB
RIDHMEDIA - Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidato refleksi akhir tahun di JCC, Jakarta, Rabu (11/12), menyoroti beberapa kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi.

Dengan kritikan yang dilontarkan SBY, diharapkan pemerintahan Presiden Jokowi bisa melakukan koreksi dan perbaikan. Berikut ini kritikan-kritikan yang dilontarkan SBY untuk pemerintahan Jokowi di sektor ekonomi:

Pengangguran

Ketua Umum Demokrat SBY menyoroti terkait angka pengangguran di Indonesia. SBY mengungkapkan, berdasarkan data statistik angka pengangguran mengalami penurunan sekitar satu persen selama lima tahun pemerintahan Presiden Jokowi.

"Tentu ini belum cukup. Di samping itu, kita juga harus melihat struktur dan migrasi pekerjaan yang terjadi di masyarakat kita," jelas SBY dalam pidato refleksi akhir tahun di JCC, Jakarta, Rabu (11/12).

SBY menambahkan, meskipun tercatat sebagai bekerja, alias tidak menganggur, tapi sekitar 28,4 juta adalah pekerja paruh waktu. Sementara, yang berkategori setengah menganggur sekitar 8,14 juta.

"Tentu ini angka yang besar," kata SBY.

Daya Beli Masyarakat Menurun

Kemudian yang disoroti SBY mengenai daya beli dan perlindungan sosial untuk masyarakat. Demokrat melihat ada penurunan daya beli ditandai dengan perlambatan penjualan retail hingga konsumsi makanan.

Demokrat pun mendukung pemerintah mengatasi persoalan tersebut dengan meningkatkan pertumbuhan dan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan. Serta memberikan bantuan bagi masyarakat yang benar-benar mengalami kesulitan dalam kehidupan rumah tangganya.

"Inilah yang disebut dengan perlindungan sosial," kata Ketum Demokrat SBY dalam pidato refleksi akhir tahun di JCC, Jakarta, Rabu (11/12).

Demokrat juga mendukung pemerintah untuk memberikan perlindungan sosial dengan menganggarkan Rp372,5 triliun yang bersumber dari APBN 2020. Program ini meliputi bantuan pangan, pendidikan, kesehatan, subsidi tepat sasaran, dan juga dana desa.

"Indonesia punya pengalaman yang baik, dengan program perlindungan sosial, yang waktu itu disebut program-program pro-rakyat. Dalam waktu sepuluh tahun (2004-2014) kita bisa menurunkan angka kemiskinan sebesar 6 persen," kata SBY.

Penerimaan Pajak Jauh dari Target & Utang

Isu ekonomi lainnya yang menjadi perhatian SBY terkait penerimaan negara melalui pajak jauh dari target. SBY menjelaskan, sampai bulan Oktober 2019, penerimaan pajak masih kurang Rp559 triliun. Penerimaan pajak dan non pajak yang tidak mencapai sasaran ini pasti akan menambah angka defisit APBN.

"Terus terang, Demokrat mengamati sasaran belanja negara kita memang tergolong tinggi. Barangkali juga terlalu ekspansif, untuk ukuran ekonomi Indonesia yang tengah menghadapi tekanan," jelas SBY saat menyampaikan Refleksi Akhir Tahun di JCC, Jakarta, Rabu (11/12).

Persoalannya kemudian, lanjut dia, dari mana kita menutup defisit APBN ini. Yang terlintas dan mudah tentulah, dengan cara menambah utang baru.

SBY mengakui, menambah utang baru memang dibenarkan dan bukan sebuah kesalahan. Namun, seberapa besar utang baru itu? Andaikata rasio utang terhadap PDB dianggap aman di angka 30 persen, meningkat sekitar 5 persen dari lima tahun yang lalu, untuk apa utang itu digunakan?

"Dapatkah dipastikan bahwa utang baru itu bermanfaat, produktif dan mampu menjaga pertumbuhan kita? Apalagi pasar tahu bahwa utang sejumlah BUMN untuk pembangunan infrastruktur juga meningkat sangat banyak," jelas SBY.

Saling Sindir

Pada Mei 2018 lalu, SBY sempat membalas sindiran Presiden Joko Widodo soal kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang diterapkan pada 10 tahun pemerintahannya. Melalui akun twitter resminya @SBYudhoyono, SBY membalas sindiran Jokowi.

"Pak Jokowi intinya mengkritik & menyalahkan kebijakan subsidi utk rakyat & kebijakan harga BBM, yg berlaku di era pemerintahan saya. *SBY*," ucap SBY.

"Saya minta para mantan Menteri & pejabat pemerintah di era SBY, para kader Demokrat & konstituen saya, TETAP SABAR. *SBY*," ujarnya.

Presiden Jokowi sebelumnya menyindir pemerintahan SBY terkait harga BBM khususnya wilayah timur Indonesia yang mencapai Rp 60 ribu per liter. Sedangkan pada era Jokowi subsidi sudah dicabut tapi harga BBM bisa seragam.

"Dulu subsidi Rp 340 triliun, kenapa harga nggak bisa sama? Ada apa? Kenapa nggak ditanyakan? Sekarang subsidi sudah nggak ada untuk di BBM, tapi harga bisa disamakan dengan di sini. Ini yang harus ditanyakan. Tanyanya ke saya, saya jawab nanti. Ini yang harus juga disampaikan ke masyarakat," ujar Jokowi pada Mei 2018. [mdc]
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+