RIDHMEDIA - Krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Uighur makin memanas selama lima tahun belakangan sejak kamp reedukasi dibangun Xinjiang pada 2014. PBB menyatakan, setidaknya ada satu juta warga Uighur depresi setelah dikerangkeng dalam kamp reedukasi bikinan Pemerintah Cina itu.
Berangkat dari permasalahan itu dan siksaan yang dihadapi etnis Uighur, Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan Jurnalis Islam Bersatu (JITU) menggelar diskusi mengusung tema Kesaksian dari Balik Penjara Uighur. Digelar pada Sabtu (12/1) di bilangan Jakarta Pusat, diskusi ini mengundang mantan tahanan kamp reedukasi di Xinjang: Gulbakhar Cililova.
Diskusi media ini juga dihadiri oleh Senior Vice President ACT Syukur, Anggota DPR RI Muzammil Yusuf, Ketua Majelis Nasional Turkistan Timur (Uighur) Seyit Tumturk, dan Tim Komunikasi & Advokasi Amnesty International Indonesia, Haeril Ilham.
Dalam diskusi tersebut, Gulbahar Cililova memaparkan pengalaman pahitnya selama lebih dari tahun terpenjara di kamp reedukasi.
Pebisnis yang kerap melakukan perjalanan bisnis Kazakhstan-Cina selama 20 tahun ini ditangkap Pemerintah Cina pada Mei 2017. Sejak saat itu, ia dimasukkan ke kamp reedukasi di Xinjiang dengan dugaan bahwa Gulbahar adalah etnis Uighur.
"Ketika saya berada di kamp tersebut, saya dimintai KTP Cina saya. Saya memberi tahu mereka bahwa saya adalah orang asing dan bahwa saya tidak melakukan kesalahan," kisah Gulbahar, yang merupakan Warga Negara Kazakhstan, Sabtu (12/1).
Meski demikian, imbuh Gulbahar, ia terus diinterogasi terkait identitas Uighurnya selama lebih dari satu tahun.
Selama penginterogasian tersebut, Gulbahar dikurung dalam ruangan yang pengap, berukuran 7x6x3 meter. Di ruangan itu ia kerap melihat tahanan Uighur disiksa karena tidak boleh beribadah salat. Bahkan dihukum hanya karena bergerak seperti dalam tahapan ibadah salat.
"Kepala menengok ke kanan dan ke kiri saja, dianggap melakukan salat. Atau mengusap muka, dianggap habis berwudhu. Karena gerakan itu, mereka dihukum seperti kaki mereka diberi pemberat seberat 5 kilogram. Ada juga yang kuku-kuku mereka dicabut dan bentuk represi lainnya yang membuat saya stres," kenang Gulbahar pilu.
Depresi melihat penyiksaan itu semua, Gulbahar empat kali dilarikan ke rumah sakit tahanan yang kondisinya sangat tidak layak.
Kisahnya, di rumah sakit itu juga terdapat tahanan seumur hidup atau tahanan Uighur yang dijatuhi hukuman mati.
"Mereka tidak dibunuh langsung, tapi secara perlahan dengan pemberian obat-obatan yang mematikan," tambah Gulbahar.
Baru pada September 2018 lalu Gulbahar dibebaskan karena terbukti bukan etnis Uighur. "Saya berjanji pada saudara-saudara Uighur yang ditahan di kamp, untuk menyuarakan fakta pahit ini. Ini suatu ketidakadilan HAM," katanya.
Kehadiran Gulbahar ke Indonesia bersama Majelis Nasional Turkistan Timur tidak terlepas dari animo kepedulian masyarakat Indonesia kepada warga Uighur yang ditunjukkan pada beberapa pekan lalu.
Hal ini disampaikan oleh Seyit Tumturk selaku Ketua Majelis Nasional Turkistan Timur.
Menurut Seyit, selama puluhan tahun ini, tidak ada yang benar-benar menyuarakan penindasan yang dialami Uighur, atau membela nasib Uighur secara terang-terangan. Sampai pada akhir 2018 lalu, masyarakat Indonesia melakukan protes besar-besaran atas ketidakadilan yang dialami Uighur.
"Ini amat berarti bagi 35 juta diaspora Uighur dunia. Semua diaspora Uighur di mana pun menyaksikan sejarah baru ini, bahwa ada yang membela nasib mereka, yakni masyarakat Indonesia. Saya atas nama 35 juta warga Uighur dunia, mengucapkan terima kasih kepada ACT dan kepada seluruh muslim Indonesia, yang telah mengambil tanggung jawab umat ini, dan menjadi contoh seluruh umat muslim di dunia. Semoga Allah meridai kita semua," jelas Seyit.
Dalam semangat kepedulian yang sama, Seyit menuturkan ia dan segenap diaspora Uighur di Turki turut berbela sungkawa atas bencana tsunami yang menimpa masyarakat Indonesia di Banten dan Lampung.
"Kami ingin berpartisipasi membantau saudara-saudara kami yang terdampak bencana di Indonesia. Walau tidak seberapa, kami harap ini bisa bermanfaat dan menjadi pelipur lara bagi saudara-saudara terdampak," ungkap Seyit.
Pihaknya, atas nama diaspora Uighur, memberikan donasi untuk korban tsunami Selat Sunda sebesar 20 ribu dollar Amerika melalui aksi cepat tanggap.
Senior Vice President ACT Syuhelmaidi Syukur mengungkapkan rasa syukurnya yang besar kedermawaanan diaspora Uighur kepada masyarakat Indonesia yang terdampak bencana.
Meski mereka sendiri tengah dirundung krisis kemanusiaan, hal tersebut tidak menyurutkan semangat kepedulian mereka untuk memebantu masyarakat Indonesia.
Terkait dukungan kemanusiaan untuk Uighur sendiri, Syuhelmaidi menyampaikan ACT terus memberikan bantuan kemanusiaan kepada diaspora Uighur di berbagai negara.
"Sampai saat ini kami sudah mengirim tim Sympathy of Solidarity (SOS) untuk Uighur I ke berbagai negara di mana diaspora Uighur berada, seperti Turki, Uzbekistan, Kirgistan, dan Kazakhstan," aku Syuhelmaidi.
"Alhamdulillah kami sudah mendistribusikan bantuan kemanusiaan dalam bentuk pangan dan bantuan musim dingin. Kami juga tengah berupaya agar bisa menjangkau Uighur di Xinjiang juga. Mohon doanya," tutup Syuhelmaidi. (Nanda Febrianto/tagar.id)
Berangkat dari permasalahan itu dan siksaan yang dihadapi etnis Uighur, Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan Jurnalis Islam Bersatu (JITU) menggelar diskusi mengusung tema Kesaksian dari Balik Penjara Uighur. Digelar pada Sabtu (12/1) di bilangan Jakarta Pusat, diskusi ini mengundang mantan tahanan kamp reedukasi di Xinjang: Gulbakhar Cililova.
Diskusi media ini juga dihadiri oleh Senior Vice President ACT Syukur, Anggota DPR RI Muzammil Yusuf, Ketua Majelis Nasional Turkistan Timur (Uighur) Seyit Tumturk, dan Tim Komunikasi & Advokasi Amnesty International Indonesia, Haeril Ilham.
Dalam diskusi tersebut, Gulbahar Cililova memaparkan pengalaman pahitnya selama lebih dari tahun terpenjara di kamp reedukasi.
Pebisnis yang kerap melakukan perjalanan bisnis Kazakhstan-Cina selama 20 tahun ini ditangkap Pemerintah Cina pada Mei 2017. Sejak saat itu, ia dimasukkan ke kamp reedukasi di Xinjiang dengan dugaan bahwa Gulbahar adalah etnis Uighur.
"Ketika saya berada di kamp tersebut, saya dimintai KTP Cina saya. Saya memberi tahu mereka bahwa saya adalah orang asing dan bahwa saya tidak melakukan kesalahan," kisah Gulbahar, yang merupakan Warga Negara Kazakhstan, Sabtu (12/1).
Meski demikian, imbuh Gulbahar, ia terus diinterogasi terkait identitas Uighurnya selama lebih dari satu tahun.
Selama penginterogasian tersebut, Gulbahar dikurung dalam ruangan yang pengap, berukuran 7x6x3 meter. Di ruangan itu ia kerap melihat tahanan Uighur disiksa karena tidak boleh beribadah salat. Bahkan dihukum hanya karena bergerak seperti dalam tahapan ibadah salat.
"Kepala menengok ke kanan dan ke kiri saja, dianggap melakukan salat. Atau mengusap muka, dianggap habis berwudhu. Karena gerakan itu, mereka dihukum seperti kaki mereka diberi pemberat seberat 5 kilogram. Ada juga yang kuku-kuku mereka dicabut dan bentuk represi lainnya yang membuat saya stres," kenang Gulbahar pilu.
Depresi melihat penyiksaan itu semua, Gulbahar empat kali dilarikan ke rumah sakit tahanan yang kondisinya sangat tidak layak.
Kisahnya, di rumah sakit itu juga terdapat tahanan seumur hidup atau tahanan Uighur yang dijatuhi hukuman mati.
"Mereka tidak dibunuh langsung, tapi secara perlahan dengan pemberian obat-obatan yang mematikan," tambah Gulbahar.
Baru pada September 2018 lalu Gulbahar dibebaskan karena terbukti bukan etnis Uighur. "Saya berjanji pada saudara-saudara Uighur yang ditahan di kamp, untuk menyuarakan fakta pahit ini. Ini suatu ketidakadilan HAM," katanya.
Kehadiran Gulbahar ke Indonesia bersama Majelis Nasional Turkistan Timur tidak terlepas dari animo kepedulian masyarakat Indonesia kepada warga Uighur yang ditunjukkan pada beberapa pekan lalu.
Hal ini disampaikan oleh Seyit Tumturk selaku Ketua Majelis Nasional Turkistan Timur.
Menurut Seyit, selama puluhan tahun ini, tidak ada yang benar-benar menyuarakan penindasan yang dialami Uighur, atau membela nasib Uighur secara terang-terangan. Sampai pada akhir 2018 lalu, masyarakat Indonesia melakukan protes besar-besaran atas ketidakadilan yang dialami Uighur.
"Ini amat berarti bagi 35 juta diaspora Uighur dunia. Semua diaspora Uighur di mana pun menyaksikan sejarah baru ini, bahwa ada yang membela nasib mereka, yakni masyarakat Indonesia. Saya atas nama 35 juta warga Uighur dunia, mengucapkan terima kasih kepada ACT dan kepada seluruh muslim Indonesia, yang telah mengambil tanggung jawab umat ini, dan menjadi contoh seluruh umat muslim di dunia. Semoga Allah meridai kita semua," jelas Seyit.
Dalam semangat kepedulian yang sama, Seyit menuturkan ia dan segenap diaspora Uighur di Turki turut berbela sungkawa atas bencana tsunami yang menimpa masyarakat Indonesia di Banten dan Lampung.
"Kami ingin berpartisipasi membantau saudara-saudara kami yang terdampak bencana di Indonesia. Walau tidak seberapa, kami harap ini bisa bermanfaat dan menjadi pelipur lara bagi saudara-saudara terdampak," ungkap Seyit.
Pihaknya, atas nama diaspora Uighur, memberikan donasi untuk korban tsunami Selat Sunda sebesar 20 ribu dollar Amerika melalui aksi cepat tanggap.
Senior Vice President ACT Syuhelmaidi Syukur mengungkapkan rasa syukurnya yang besar kedermawaanan diaspora Uighur kepada masyarakat Indonesia yang terdampak bencana.
Meski mereka sendiri tengah dirundung krisis kemanusiaan, hal tersebut tidak menyurutkan semangat kepedulian mereka untuk memebantu masyarakat Indonesia.
Terkait dukungan kemanusiaan untuk Uighur sendiri, Syuhelmaidi menyampaikan ACT terus memberikan bantuan kemanusiaan kepada diaspora Uighur di berbagai negara.
"Sampai saat ini kami sudah mengirim tim Sympathy of Solidarity (SOS) untuk Uighur I ke berbagai negara di mana diaspora Uighur berada, seperti Turki, Uzbekistan, Kirgistan, dan Kazakhstan," aku Syuhelmaidi.
"Alhamdulillah kami sudah mendistribusikan bantuan kemanusiaan dalam bentuk pangan dan bantuan musim dingin. Kami juga tengah berupaya agar bisa menjangkau Uighur di Xinjiang juga. Mohon doanya," tutup Syuhelmaidi. (Nanda Febrianto/tagar.id)