RIDHMEDIA - Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan, Ekonomi, dan Sosial (LP3ES) mengungkap adanya serangan propaganda politik di media sosial yang melemahkan KPK hingga adanya Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Direktur Centre for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto mengatakan, di tahun 2019 ini terjadinya kemunduran demokrasi yang diakibatkan adanya propaganda politik di media sosial oleh pasukan cyber yang pro pemerintah maupun pro partai politik.
"Nah, kami melihat bahwa satu momen yang kemudian menjadi krusial bagi tahun 2019 ini adalah momen pelemahan KPK," ucap Wijayanto saat diskusi dan peluncuran dua buku Outlook Demokrasi LP3ES "Menyelamatkan Demokrasi" di Gedung ITS Tower, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu (21/12).
Padahal kata Wijayanto, KPK merupakan simbol masyarakat Indonesia dalam Pemberantasan korupsi. Namun, semenjak UU 19/2019 tentang KPK hasil Revisi UU 30/2002 disahkan oleh pemerintah dan DPR RI KPK kini seperti kehilangan fungsinya.
"Pelemahan KPK ini bukan hanya kenyataan bahwa KPK sudah lemah, tapi juga bagaimana KPK itu dilemahkan," kata Wijayanto.
Pelemahan lembaga KPK ini sudah terjadi sejak menjelang pengesahan RUU KPK. Di mana, adanya serangan terhadap KPK di media sosial yang dilakukan oleh pasukan cyber yang propemerintah maupun propartai politik, seperti hasil studi dari Universitas Oxford yang menyebut Indonesia merupakan satu dari 70 negara yang melakukan computational propaganda.
"Kami melihat bahwa di ruang publik digital. Bahwa ada serangan yang masif, terhadap intitusi KPK. Yang menyatakan bahwa KPK adalah sarang radikalisme, ada Taliban. Itu kami lihat selama satu minggu menjelang pengesahan revisi UU KPK," beber Wijayanto
Hal tersebut mengakibatkan mindset masyarakat di media sosial perlu dilakukannya pengawasan terhadap KPK.
"Yang itu kemudian membangun sebuah propaganda yang memang KPK harus diawasi dan harus dilemahkan," tegas Wijayanto
"Kemudian kita mengetahui bahwa revisi tetap berjalan ada ratusan mahasiswa luka-luka tapi kemudian tidak menjadi penting bagi kekuasaan untuk mempertimbangkannya," sambungnya.
Diketahui, LP3ES meluncurkan buku Outlook Demokrasi LP3ES yang berjudul Menyelamatkan Demokrasi yang ditulis oleh Prof Didik J. Rachbini, Wijayanto, Malik Ruslan dan Fachru Nofrian Bakarudin.
Di dalam buku tersebut membeberkan adanya temuan dari studi yang dilakukan oleh Philip N Howard dan Samantha Bradshaw dari Universitas Oxford yang menyebut Indonesia merupakan salah satu dari 70 negara yang melakukan computational propaganda.
Computational propaganda sendiri ialah sebuah propaganda menggunakan teknologi komputasi yang melakukan manipulasi di media sosial secara terorganisasi dengan tujuan propaganda politik.
Di Indonesia sendiri, studi tersebut menyebut adanya pasukan cyber yang beroperasi menggunakan strategi nomor mendukung pemerintah, pesan menyerang oposisi dan pesan memecah belah masyarakat. [rmo]
Direktur Centre for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto mengatakan, di tahun 2019 ini terjadinya kemunduran demokrasi yang diakibatkan adanya propaganda politik di media sosial oleh pasukan cyber yang pro pemerintah maupun pro partai politik.
"Nah, kami melihat bahwa satu momen yang kemudian menjadi krusial bagi tahun 2019 ini adalah momen pelemahan KPK," ucap Wijayanto saat diskusi dan peluncuran dua buku Outlook Demokrasi LP3ES "Menyelamatkan Demokrasi" di Gedung ITS Tower, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu (21/12).
Padahal kata Wijayanto, KPK merupakan simbol masyarakat Indonesia dalam Pemberantasan korupsi. Namun, semenjak UU 19/2019 tentang KPK hasil Revisi UU 30/2002 disahkan oleh pemerintah dan DPR RI KPK kini seperti kehilangan fungsinya.
"Pelemahan KPK ini bukan hanya kenyataan bahwa KPK sudah lemah, tapi juga bagaimana KPK itu dilemahkan," kata Wijayanto.
Pelemahan lembaga KPK ini sudah terjadi sejak menjelang pengesahan RUU KPK. Di mana, adanya serangan terhadap KPK di media sosial yang dilakukan oleh pasukan cyber yang propemerintah maupun propartai politik, seperti hasil studi dari Universitas Oxford yang menyebut Indonesia merupakan satu dari 70 negara yang melakukan computational propaganda.
"Kami melihat bahwa di ruang publik digital. Bahwa ada serangan yang masif, terhadap intitusi KPK. Yang menyatakan bahwa KPK adalah sarang radikalisme, ada Taliban. Itu kami lihat selama satu minggu menjelang pengesahan revisi UU KPK," beber Wijayanto
Hal tersebut mengakibatkan mindset masyarakat di media sosial perlu dilakukannya pengawasan terhadap KPK.
"Yang itu kemudian membangun sebuah propaganda yang memang KPK harus diawasi dan harus dilemahkan," tegas Wijayanto
"Kemudian kita mengetahui bahwa revisi tetap berjalan ada ratusan mahasiswa luka-luka tapi kemudian tidak menjadi penting bagi kekuasaan untuk mempertimbangkannya," sambungnya.
Diketahui, LP3ES meluncurkan buku Outlook Demokrasi LP3ES yang berjudul Menyelamatkan Demokrasi yang ditulis oleh Prof Didik J. Rachbini, Wijayanto, Malik Ruslan dan Fachru Nofrian Bakarudin.
Di dalam buku tersebut membeberkan adanya temuan dari studi yang dilakukan oleh Philip N Howard dan Samantha Bradshaw dari Universitas Oxford yang menyebut Indonesia merupakan salah satu dari 70 negara yang melakukan computational propaganda.
Computational propaganda sendiri ialah sebuah propaganda menggunakan teknologi komputasi yang melakukan manipulasi di media sosial secara terorganisasi dengan tujuan propaganda politik.
Di Indonesia sendiri, studi tersebut menyebut adanya pasukan cyber yang beroperasi menggunakan strategi nomor mendukung pemerintah, pesan menyerang oposisi dan pesan memecah belah masyarakat. [rmo]