RIDHMEDIA - Bagi Gibran Rakabuming Raka, 12 Desember 2019 merupakan tanggal penting. Hari tersebut adalah penanda putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini mendaftarkan diri sebagai bakal calon Wali Kota Surakarta 2020.
Mencoba peruntungan lewat DPD PDIP Jawa Tengah, Gibran datang dengan dukungan berlimpah. Sebanyak 20 bus yang sudah disiapkan timnya untuk menampung para relawan hari itu sampai-sampai tidak cukup.
“Relawan masyarakat Solo yang mau mengantar Gibran mendaftarkan diri ke DPD PDIP Jateng, luar biasa, ada ribuan orang, tetapi panitia hanya membatasi sebanyak 20 armada bus untuk mengangkut mereka," kata Kuat Hernawan Santoso, koordinator relawan pendukung Gibran seperti dilansir Antara.
Banjir dukungan bukan datang dari relawan saja. Sejumlah partai besar di luar PDIP tampak sudah menebar sinyal bakal melabuhkan dukungan mereka pada pengusaha kelahiran 1 Oktober 1987 tersebut. Sebut saja Gerindra, PAN, PKS, Golkar, hingga Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Partai yang terakhir disebut, telah menyiratkan dukungan untuk Gibran sejak jauh-jauh hari. Pada Juli 2019, saat nama Gibran masih jauh dari ingar bingar politik, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PSI Raja Juli Antoni telah menegaskan dukungan itu.
Toni, begitu dia biasa dipanggil, bahkan tak mempermasalahkan Gibran atau adiknya, Kaesang yang bakal maju. Dia menilai kedua putra biologis Jokowi sama-sama punya daya tawar kuat dalam percaturan politik Solo.
“Jadi PSI pasti akan mendukung [Gibran atau Kaesang], di Solo kami punya kursi. Apabila nanti pada saatnya melalui mekanisme, kalau salah seorang itu maju, PSI pasti akan dukung,” kata dia.
Pada September 2019, sinyal-sinyal dukungan itu makin kuat saja. Ketua DPD PSI Kota Surakarta, Antonius Yogo Prabowo, bahkan menyebut PSI siap melakukan pengumpulan KTP jika Gibran lebih memilih maju lewat jalur independen.
Terakhir, partai ini tidak menutup kemungkinan berkoalisi dengan partai-partai lain macam PKS dan PAN demi mengusung Gibran.
“Tidak menutup kemungkinan Partai Golkar, PKS, Gerindra, PAN dan PSI membangun koalisi untuk mengusung Gibran dengan kekuatan 15 kursi,” ujar politikus Golkar, Iqbal Wibisono seperti dilansir Antara.
Menjilat Ludah Sendiri
Tidak sedikit yang menyorot kengototan PSI menebar sinyal dukungan terhadap Gibran. Sebab sikap ini dinilai tak sejalan dengan semboyan yang mulanya diusung partai tersebut.
Pada 25 Juni 2015, dalam rilis resmi partai, Raja Juli Antoni sempat mengutarakan bahwa PSI melawan segala bentuk politik dinasti.
“Inti dari demokrasi itu, kan, memberikan ruang seluas-luasnya kepada masyarakat dari latar belakang apa pun, apakah dia dari kalangan elite atau rakyat biasa supaya bisa berpartisipasi baik sebagai pemilih maupun orang yang dipilih. Dengan lahirnya politik dinasti itu justru mengingkari makna demokrasi itu sendiri,” kata Toni saat itu.
“Saya kira salah satu gerakan yang harus didorong sekuat mungkin oleh LSM dan parpol mulai melihat manusia sebagai manusia. Jadi manusia bukan dilihat dari hubungan biologis atau genetisnya. Jangan biarkan politik dinasti membunuh demokrasi.”
Toni juga sempat bereaksi keras saat MK mencabut pasal larangan politik dinasti di UU Pilkada beberapa bulan kemudian.
“Keputusan MK mengikat iya tapi kita harus mengkritik keras hakim MK agar ke depan tidak hanya berpikir legal formal tapi juga aspek substansialnya soal keadilan, moral politik,” kata dia.
Sedangkan Ketua DPP PSI, Tsamara Amany setahun lalu melontarkan ketidaksetujuan saat putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mendaftarkan diri sebagai calon Gubernur DKI.
“Saya tak tahu bagaimana seseorang yang diwarisi sebuah dinasti politik bisa mengklaim diri sebagai perwakilan anak muda,” kata dia, seperti dilansir laman resmi PSI. “Mewakili anak muda bukan sekadar soal usia. Tapi juga soal kerja keras dan kompetensi.”
Antonius Yogo, di sisi lain membantah argumen bahwa partainya mendukung politik dinasti. Dia bersikeras mengklaim majunya Gibran tidak termasuk praktik tersebut.
"Bagi saya ini bukan aji mumpung melainkan sebuah momentum," ujarnya, seperti dilansir Tempo.
Politik 'Main Aman'
Dosen komunikasi politik Universitas Airlangga, Suko Widodo, menilai sikap yang ditempuh PSI dalam konteks pencalonan Gibran adalah bagian dari pilihan politik "main aman.”
“Karena posisinya sebagai bagian dari koalisi pendukung presiden, otomatis tidak berani ambil risiko itu [tak mendukung Gibran],” ujar Suko saat dikonfirmasi Tirto, Senin (16/12/2019).
“Sebagai parpol kiranya PSI mencari jalan aman. Saat ini hampir semua parpol cari jalan aman.”
Pandangan Suko memang ada benarnya, sebab bukan kali ini saja PSI mendukung bakal calon dari garis keluarga Jokowi. Partai tersebut juga sempat membuka ruang saat menantu Jokowi, Bobby Nasution hendak mendaftar sebagai bakal calon Wali Kota Medan.
Bobby pada akhirnya memang menjatuhkan pilihan pada Partai Golkar. Namun, fakta bahwa PSI membuka pintu hingga hari terakhir cukup menjadi kesimpulan bahwa partai ini relatif jarang memilih jalur non-populer: berseberangan dengan pencalonan keluarga Jokowi.
Bobby, menurut survei City Research Center (CRT) memang tercatat punya elektabilitas relatif tinggi di Medan. Meski rekam jejak politiknya minim, dia berada di urutan tiga, di bawah Ihwan Ritonga dan Plt petahana Akhyar Nasution.
Kasus yang sama juga berlaku untuk Gibran. Menurut survei Median yang dilakukan 3-9 Desember 2019, elektabilitas Gibran di Solo berada di urutan dua, cuma kalah dari bakal calon lain, Achmad Purnomo. Padahal survei yang sama menyebut tak sedikit masyarakat setempat (41,6 persen) yang menilai majunya Gibran terindikasi bagian dari apa yang disebut sebagai 'politik dinasti'.
Kalau sudah begini, menurut Suko, bukan hal berlebihan jika publik menilai PSI tak ada bedanya ketimbang partai-partai lain.
"Untuk mencari kemenangan dan aman," kata Suko, "Tampaknya PSI juga larut dalam irama parpol lain."
Sumber: tirto.id
Mencoba peruntungan lewat DPD PDIP Jawa Tengah, Gibran datang dengan dukungan berlimpah. Sebanyak 20 bus yang sudah disiapkan timnya untuk menampung para relawan hari itu sampai-sampai tidak cukup.
“Relawan masyarakat Solo yang mau mengantar Gibran mendaftarkan diri ke DPD PDIP Jateng, luar biasa, ada ribuan orang, tetapi panitia hanya membatasi sebanyak 20 armada bus untuk mengangkut mereka," kata Kuat Hernawan Santoso, koordinator relawan pendukung Gibran seperti dilansir Antara.
Banjir dukungan bukan datang dari relawan saja. Sejumlah partai besar di luar PDIP tampak sudah menebar sinyal bakal melabuhkan dukungan mereka pada pengusaha kelahiran 1 Oktober 1987 tersebut. Sebut saja Gerindra, PAN, PKS, Golkar, hingga Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Partai yang terakhir disebut, telah menyiratkan dukungan untuk Gibran sejak jauh-jauh hari. Pada Juli 2019, saat nama Gibran masih jauh dari ingar bingar politik, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PSI Raja Juli Antoni telah menegaskan dukungan itu.
Toni, begitu dia biasa dipanggil, bahkan tak mempermasalahkan Gibran atau adiknya, Kaesang yang bakal maju. Dia menilai kedua putra biologis Jokowi sama-sama punya daya tawar kuat dalam percaturan politik Solo.
“Jadi PSI pasti akan mendukung [Gibran atau Kaesang], di Solo kami punya kursi. Apabila nanti pada saatnya melalui mekanisme, kalau salah seorang itu maju, PSI pasti akan dukung,” kata dia.
Pada September 2019, sinyal-sinyal dukungan itu makin kuat saja. Ketua DPD PSI Kota Surakarta, Antonius Yogo Prabowo, bahkan menyebut PSI siap melakukan pengumpulan KTP jika Gibran lebih memilih maju lewat jalur independen.
Terakhir, partai ini tidak menutup kemungkinan berkoalisi dengan partai-partai lain macam PKS dan PAN demi mengusung Gibran.
“Tidak menutup kemungkinan Partai Golkar, PKS, Gerindra, PAN dan PSI membangun koalisi untuk mengusung Gibran dengan kekuatan 15 kursi,” ujar politikus Golkar, Iqbal Wibisono seperti dilansir Antara.
Menjilat Ludah Sendiri
Tidak sedikit yang menyorot kengototan PSI menebar sinyal dukungan terhadap Gibran. Sebab sikap ini dinilai tak sejalan dengan semboyan yang mulanya diusung partai tersebut.
Pada 25 Juni 2015, dalam rilis resmi partai, Raja Juli Antoni sempat mengutarakan bahwa PSI melawan segala bentuk politik dinasti.
“Inti dari demokrasi itu, kan, memberikan ruang seluas-luasnya kepada masyarakat dari latar belakang apa pun, apakah dia dari kalangan elite atau rakyat biasa supaya bisa berpartisipasi baik sebagai pemilih maupun orang yang dipilih. Dengan lahirnya politik dinasti itu justru mengingkari makna demokrasi itu sendiri,” kata Toni saat itu.
“Saya kira salah satu gerakan yang harus didorong sekuat mungkin oleh LSM dan parpol mulai melihat manusia sebagai manusia. Jadi manusia bukan dilihat dari hubungan biologis atau genetisnya. Jangan biarkan politik dinasti membunuh demokrasi.”
Toni juga sempat bereaksi keras saat MK mencabut pasal larangan politik dinasti di UU Pilkada beberapa bulan kemudian.
“Keputusan MK mengikat iya tapi kita harus mengkritik keras hakim MK agar ke depan tidak hanya berpikir legal formal tapi juga aspek substansialnya soal keadilan, moral politik,” kata dia.
Sedangkan Ketua DPP PSI, Tsamara Amany setahun lalu melontarkan ketidaksetujuan saat putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mendaftarkan diri sebagai calon Gubernur DKI.
“Saya tak tahu bagaimana seseorang yang diwarisi sebuah dinasti politik bisa mengklaim diri sebagai perwakilan anak muda,” kata dia, seperti dilansir laman resmi PSI. “Mewakili anak muda bukan sekadar soal usia. Tapi juga soal kerja keras dan kompetensi.”
Antonius Yogo, di sisi lain membantah argumen bahwa partainya mendukung politik dinasti. Dia bersikeras mengklaim majunya Gibran tidak termasuk praktik tersebut.
"Bagi saya ini bukan aji mumpung melainkan sebuah momentum," ujarnya, seperti dilansir Tempo.
Politik 'Main Aman'
Dosen komunikasi politik Universitas Airlangga, Suko Widodo, menilai sikap yang ditempuh PSI dalam konteks pencalonan Gibran adalah bagian dari pilihan politik "main aman.”
“Karena posisinya sebagai bagian dari koalisi pendukung presiden, otomatis tidak berani ambil risiko itu [tak mendukung Gibran],” ujar Suko saat dikonfirmasi Tirto, Senin (16/12/2019).
“Sebagai parpol kiranya PSI mencari jalan aman. Saat ini hampir semua parpol cari jalan aman.”
Pandangan Suko memang ada benarnya, sebab bukan kali ini saja PSI mendukung bakal calon dari garis keluarga Jokowi. Partai tersebut juga sempat membuka ruang saat menantu Jokowi, Bobby Nasution hendak mendaftar sebagai bakal calon Wali Kota Medan.
Bobby pada akhirnya memang menjatuhkan pilihan pada Partai Golkar. Namun, fakta bahwa PSI membuka pintu hingga hari terakhir cukup menjadi kesimpulan bahwa partai ini relatif jarang memilih jalur non-populer: berseberangan dengan pencalonan keluarga Jokowi.
Bobby, menurut survei City Research Center (CRT) memang tercatat punya elektabilitas relatif tinggi di Medan. Meski rekam jejak politiknya minim, dia berada di urutan tiga, di bawah Ihwan Ritonga dan Plt petahana Akhyar Nasution.
Kasus yang sama juga berlaku untuk Gibran. Menurut survei Median yang dilakukan 3-9 Desember 2019, elektabilitas Gibran di Solo berada di urutan dua, cuma kalah dari bakal calon lain, Achmad Purnomo. Padahal survei yang sama menyebut tak sedikit masyarakat setempat (41,6 persen) yang menilai majunya Gibran terindikasi bagian dari apa yang disebut sebagai 'politik dinasti'.
Kalau sudah begini, menurut Suko, bukan hal berlebihan jika publik menilai PSI tak ada bedanya ketimbang partai-partai lain.
"Untuk mencari kemenangan dan aman," kata Suko, "Tampaknya PSI juga larut dalam irama parpol lain."
Sumber: tirto.id