RIDHMEDIA - Duta Besar Amerika Serikat (AS) pernah meminta untuk Indonesia agar menyatakan kritik terkait penindasan pemerintah China kepada muslim Uighur. Hal tersebut disebutkan Sekretaris Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti.
Cerita tersebut, kata Mu'ti, untuk merespons berita Wall Street Journal yang menyebut beberapa ormas Islam di Indonesia dirayu China untuk tak lagi mengkritik soal Uighur. Menurutnya berita itu sarat kepentingan politik AS.
"Waktu Dubes Amerika Serikat ke PP Muhammadiyah, sang Duta Besar meminta Muhammadiyah membuat pernyataan soal Uighur. Tapi kita katakan bahwa Muhammadiyah punya penilaian tersendiri dan kalau menyampaikan sesuatu harus didukung oleh data," jelas Mu'ti ketika Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (13/12/2019).
Lebih lanjut Mu'ti menyampaikan, manuver Duber AS itu merepresentasikan persaingan politik AS dengan China. Selain itu dikatakannya, isu Uighur menjadi senjata politik AS untuk menyerang China.
Menurut dia Muhammadiyah tegas menolak segala penindasan terhadap kemanusiaan. Hanya saja mereka enggan terlibat dalam pusaran politik negara lain.
"Saya kemudian menjawab tidak ada ceritanya Muhammadiyah itu bisa dibeli. Muhammadiyah itu senantiasa independen dalam setiap pernyataan dan kegiatan-kegiatannya," tukas dia.
Mu'ti juga menuturkan berita Wall Street Journal sebagai berita yang sesat. Sebab Muhammadiyah tak pernah menerima bantuan apapun dari China.
"Karena itulah maka terkait berita WSJ saya mengatakan berita itu salah, keliru, dan sesat serta menyesatkan. Muhammadiyah insyaAllah akan senantiasa istiqomah menyuarakan kebenaran kepada siapapun," terangnya.
Seperti diketahui, laporan the Wall Street Journal (WSJ) menyebut China berupaya membujuk sejumlah organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, media Indonesia, hingga akademisi agar tak lagi mengkritik dugaan persekusi yang diterima etnis minoritas muslim Uighur di Xinjiang.
WSJ memaparkan China mulai menggelontorkan sejumlah bantuan dan donasi terhadap ormas-ormas Islam tersebut setelah isu Uighur kembali mencuat ke publik pada 2018 lalu. Sejak rangkaian tur Xinjiang itu berlangsung, pandangan para pemuka agama Islam Indonesia disebut berubah. (*)