RIDHMEDIA - Sikap Pemerintah Indonesia yang memilih mengabaikan dan tidak ikut campur atas dugaan pelanggaran HAM dan perlakuan represif yang dialami etnis Uighur di wilayah Xinjiang setelah mendengar penjelasan Duta Besar (Dubes) China sangat disayangkan.
Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, selama ini sangat jarang para Duta Besar termasuk para diplomat mengirim surat terbuka ke Dewan HAM PBB untuk mengkritik catatan hak asasi manusia pada sebuah negara.
Namun, langkah ini harus ditempuh 22 negara, berdasarkan fakta-fakta kredibel—melihat ada persoalan serius yang dialami etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya di wilayah Xinjiang.
Fahira menilai, langkah Indonesia yang menjadikan penjelasan Dubes China sebagai satu-satunya rujukan dengan mengabaikan fakta-fakta lain atas dugaan pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur adalah kebijakan yang sangat keliru.
“Langkah diplomasi meminta penjelasan Dubes China soal Uighur tidak masalah. Namun, menjadikannya sebagai satu-satu rujukan bagi Indonesia untuk bersikap itu sangat keliru. Dubes China pasti mengatakan kebijakan mereka tidak melanggar HAM,” tukas Fahira di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (27/12).
Menurut Fahira, klaim China bahwa kebijakan mereka terhadap etnis Uighur di wilayah Xinjiang untuk menjauhkan orang dari ekstremisme agama, terorisme, dan separatisme tidak serta merta menjadikan masalah tersebut adalah urusan dalam negeri China dan negara lain tidak boleh campur tangan.
Kebijakan sebuah negara di dunia yang diduga menginjak-injak HAM apalagi dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif akan menjadi urusan dunia.
“Kita tidak bisa abai soal fakta kamp-kamp ‘konsentrasi’ yang menahan jutaan Muslim Uighur di Xinjiang. Dugaan penyiksaan, “pencucian otak”, larangan praktik dan atribut Islam, bahkan peraturan asimilasi (pembaharuan budaya) sistematis oleh penguasa China di Uighur semakin terkuak. Tidak mungkin pemimpin di 22 negara ini melakukan protes keras jika mereka tidak mempunyai data yang kredibel. Negara-negara ini menyadari bahwa dunia tidak boleh diam atas apa yang terjadi di Xianjing,” pungkas Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR ini.
Pemerintah yang diwakili Menko Polhukam Mahfud MD dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan jika pemerintah Republik Indonesia tidak akan mengintervensi urusan etnis Uighur.
Sementara Mahfud mengatakan bahwa pemerintah melakukan diplomasi lunak yang artinya Indonesia tidak mau mengintervensi karena menganggap soal etnis Uighur adalah urusan pemerintah China. Pernyataan ini keluar setelah keduanya (dalam kesempatan yang berbeda) mendapat penjelasan dari Duta Besar China untuk Indonesia untuk Indonesia, Xiao Qian. [rmol]
Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, selama ini sangat jarang para Duta Besar termasuk para diplomat mengirim surat terbuka ke Dewan HAM PBB untuk mengkritik catatan hak asasi manusia pada sebuah negara.
Namun, langkah ini harus ditempuh 22 negara, berdasarkan fakta-fakta kredibel—melihat ada persoalan serius yang dialami etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya di wilayah Xinjiang.
Fahira menilai, langkah Indonesia yang menjadikan penjelasan Dubes China sebagai satu-satunya rujukan dengan mengabaikan fakta-fakta lain atas dugaan pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur adalah kebijakan yang sangat keliru.
“Langkah diplomasi meminta penjelasan Dubes China soal Uighur tidak masalah. Namun, menjadikannya sebagai satu-satu rujukan bagi Indonesia untuk bersikap itu sangat keliru. Dubes China pasti mengatakan kebijakan mereka tidak melanggar HAM,” tukas Fahira di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (27/12).
Menurut Fahira, klaim China bahwa kebijakan mereka terhadap etnis Uighur di wilayah Xinjiang untuk menjauhkan orang dari ekstremisme agama, terorisme, dan separatisme tidak serta merta menjadikan masalah tersebut adalah urusan dalam negeri China dan negara lain tidak boleh campur tangan.
Kebijakan sebuah negara di dunia yang diduga menginjak-injak HAM apalagi dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif akan menjadi urusan dunia.
“Kita tidak bisa abai soal fakta kamp-kamp ‘konsentrasi’ yang menahan jutaan Muslim Uighur di Xinjiang. Dugaan penyiksaan, “pencucian otak”, larangan praktik dan atribut Islam, bahkan peraturan asimilasi (pembaharuan budaya) sistematis oleh penguasa China di Uighur semakin terkuak. Tidak mungkin pemimpin di 22 negara ini melakukan protes keras jika mereka tidak mempunyai data yang kredibel. Negara-negara ini menyadari bahwa dunia tidak boleh diam atas apa yang terjadi di Xianjing,” pungkas Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR ini.
Pemerintah yang diwakili Menko Polhukam Mahfud MD dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan jika pemerintah Republik Indonesia tidak akan mengintervensi urusan etnis Uighur.
Sementara Mahfud mengatakan bahwa pemerintah melakukan diplomasi lunak yang artinya Indonesia tidak mau mengintervensi karena menganggap soal etnis Uighur adalah urusan pemerintah China. Pernyataan ini keluar setelah keduanya (dalam kesempatan yang berbeda) mendapat penjelasan dari Duta Besar China untuk Indonesia untuk Indonesia, Xiao Qian. [rmol]