RIDHMEDIA - Sejumlah organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil melakukan kajian selama lebih dari tiga bulan terkait pemindahan ibu kota baru di Kalimantan Timur. Koalisi masyarakat sipil yakni JATAM Nasional, JATAM Kalimantan Timur, WALHI Nasional, Walhi Kalimantan Timur, Trend Asia, Forest Watch Indonesia, Pokja 30, dan Pokja Pesisir dan Nelayan.
Direktur Eksekutif Trend Asia Yuyun lndradi menyebutkan bahwa keputusan pemindahan ibu kota baru hanya untuk membagi-bagi proyek. Pasalnya, banyak pihak yang berlatar belakang pengusaha batu bara.
“Ini jelas hanyalah mega (bagi-bagi) proyek, dengan aroma politik oligarki yang kental, mengingat bahwa para pendukung politik yang berlatar bisnis batu bara. Pemenuhan kebutuhan energi IKN yang diperkirakan 1,5 GW ini memberi ruang dan alasan untuk membangun industri energi kotor (PLTU batu bara) lebih besar di Kalimantan Timur, yang akhirnya hanya menduplikasi masalah Jakarta ke IKN dan Kalimantan,‘ kata Yuyun saat rilis laporan 'Pemindahan Ibu Kota untuk Siapa, Publik atau Elit' di Jakarta Pusat, Selasa (17/12/2019).
Yuyun menambahkan bahwa kini sebanyak 150 keluarga Paser Balik di Desa Pamaluan atau ring 1 IKN di Kabupaten Penajam Paser Utara ini kembali cemas karena keputusan Jokowi memindahkan ibukota tidak pernah meminta pendapat mereka.
Bahkan, seketika diumumkan proyek ibu kota baru, PT ITCI Hutan Manunggal malah semakin beringas dengan cepat memperluas penguasaan lahan yang mengorbankan wilayah adat mereka.
Sementara itu, Anggi Prayogi Putra, peneliti Forest Watch Indonesia menyebutkan, tidak hanya keberlangsungan hidup masyarakat adat, eksistensi mangroye sebagai ruang hidup masyarakat dan sumber makanan bagi fauna di sekitamya juga terancam.
“Hasil kajian menunjukkan, lebih dari 16 ribu hektar ekosistem mangrove terancam hilang akibat rencana pembangunan IKN dan rencana pembangunan akibat RTRWP. Ekosistem mangrove merupakan tutupan lahan yang tepat saat ini, karena dari hasil kajian kami sepanjang pesisirteluk memiliki Indeks Bahaya Banjir dan Indeks Kerentanan Banjir yang tinggi, tidak cocok jika dilakukan konversi-dibangun atau dijadikan permukiman bahkan kawasan industri,” ucapnya.
Forest Watch Indonesia intens melakukan kajian khususnya di Teluk Balikpapan sejak 2016. Bersama masyarakat pesisir di teluk, mereka mengusulkan agar daerah tersebut dijadikan sebagai area perlindungan (kawasan konservasi).
“Beban lingkungan di Kaltim yang sudah berat oleh ekstraksi sumber daya alam akan bertambah menjadi krisis multidimensi oleh perluasan penyangga ibukota, dan memperluas ketimpangan ekonomi karena para pemegang konsesi akan segera menjadi tuan tanah perluasan pembangunan ibu kota,” kata Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional WALHI Zenzi Suhadi.[]