Radikal vs Radikal

Ridhmedia
14/12/19, 08:03 WIB


Oleh: Tony Rosyid

Kata-kata kotor, caci maki dan bullian itu bagian dari bentuk radikalisme verbal. Kendati itu diucapkan pada saat khutbah, ceramah, debat televisi, rapat parlemen dan pidato kenegaraan. Sedangkan persekusi itu bagian dari radikalisme tindakan. Meski dilakukan oleh ormas keagamaan, apalagi preman. Sama-sama radikal.

Apapun alasan dan tujuannya, radikalisme baik verbal maupun tindakan tak bisa diterima. Aturan negara, norma agama dan etika sosial menolaknya. Kritik boleh, sekeras apapun, tapi mesti obyektif dan tak harus pakai caci-maki.

Fungsi kritik itu untuk pencegahan dan perubahan. Bukan bagian dari ekspresi kebencian, apalagi untuk melahirkan konflik yang memicu terjadinya perpecahan.

Pemerintah, terutama pejabat publik memang harus diawasi. Kalau salah, diingatkan. Itu bagian dari kewajiban berbangsa dan bernegara. Jadi, kritik itu bukan sekedar hak, tapi kewajiban dan tanggungjawab kewarganegaraan bagi setiap warga negara. Di dalam agama Islam ada instruksi “nahi munkar”.

Pejabat publik dan institusi pemerintahan yang diberi amanah mengelola negara tidak boleh anti kritik. Jangan setiap pengkritik dianggap kaum radikalis. Jangan setiap perbedaan pendapat dianggap berpotensi jadi teroris. Lebay pak!

Uniknya lagi, radikalisme itu dicurigai berasal dari pelajaran sejarah “khilafah” dan “jihad’. Maksudnya, pelajaran sejarah yang menjelaskan tentang “khilafah” dan “jihad” dianggap sebagai pemicu radikalisme. Ngawur!

Sejarah “khilafah” dan jihad” itu bagian dari kurikulum pesantren dan madrasah sejak sebelum Indonesia merdeka. Emang berapa banyak sih lulusan pesantren dan madrasah yang jadi radikal? Kenapa harus ada kebijakan untuk menghapus kurikulum “khilafah” dan “jihad”? Oh alaaah… Ono-ono ae…

Tidakkah “Resolusi Jihad” Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri NU itu, telah berkontribusi besar dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi Belanda? Kenapa kata “Resolusi Jihad” gak dihapus sekalian? Bukannya ada kata “jihad” disitu.

Kata “jihad’ di masa penjajahan Belanda dan Jepang terbukti efektif untuk mendorong rakyat melawan penjajahan. Berangkat dari semangat inilah Indonesia merdeka. Kata “jihad” dan “merdeka” seolah menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Menyatu dalam “darah-daging” umat Islam Indonesia yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa ini.

Kata “jihad” sekarang juga diperlukan. Untuk apa? Melawan setiap kedzaliman, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Selama sejarah menyuguhkan keserakahan manusia, kata “jihad” akan selalu dibutuhkan untuk hadir.

Sesuai arti aslinya, “jihad” itu bermakna positif. Kalau ada yang memaknai kata “jihad” secara negatif, itu penyimpangan. Jangan larang pabrik pisau berproduksi lantaran ada seseorang yang dibunuh dengan menggunakan pisau. Emosional itu namanya.

Sejarah itu fakta masa lalu. Gak bisa dihapus. Apalagi ini menyangkut sejarah umat Islam. Umat yang jumlahnya mayoritas di negeri pancasila. Ada pesan moral di dalam sejarah itu. Karena salah satu fungsi sejarah adalah memberi pesan moral. Selain fungsi ideologis dan akademis. Bagimana mungkin menghapus bagian dari sejarah penting umat Islam itu?

Umat Islam memahami bahwa tanpa peran “khilafah” dan “jihad”, belum tentu agama Islam sampai ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Maka, menghapus sejarah “khilafah” dan “jihad” itu sama saja ngajak berantem sama umat Islam. DPR ngamuk, PGMI ngamuk, ormas-ormas Islam ngamuk, masyarakat muslim ngamuk, ya wajar. Karena mereka merasa hak historis dan intelektualnya diambil.

Kalau kemudian ada segelintir orang yang memaknai secara salah terhadap kata “khilafah” dan “jihad’, bukan berarti dua istilah itu harus hilang dari kurikulum umat Islam. “Gebyah uyah” itu namanya. Dalam istilah psikologi disebut sebagai tindakan ‘jumping out”. Siapa yang salah, siapa yang kena marah. Gak nyambung.

Saya mau buat analogi. Ada pohon kelapa. Ternyata di salah satu pohon kelapa itu ada ular yang menggigit anak pejabat sampai mampus. Modar maksudnya. Apakah semua pohon kelapa lalu harus ditebang dan dibakar karena dianggap menjadi tempat persinggahan ular berbisa? Ya konyol itu namanya.

Ucapan, sikap dan tindakan radikal itu pasti ada. Di agama, ideologi, etnis dan kelompok manapun terkadang lahir oknum radikalis. Pemicunya macam-macam. Salah satunya adalah ketidakadilan. Tapi, tak bisa digeneralisir menjadi dosa agama, ormas, etnis dan kelompok tertentu.

Karena itu, tak semestinya ada narasi dan kebijakan yang menyudutkan satu agama atau kelompok tertentu. Apalagi menuduhnya dengan istilah radikalisme. Tuduhan semacam ini justru bisa dianggap bagian dari radikalisme itu sendiri.

Mengkafirkan orang yang tak memenuhi syarat sebagai kafir, itu kafir. Begitu pula menuduh radikal pada pihak atau kelompok yang tidak memenuhi syarat radikal, itu juga tindakan radikal.

Jadi, tidak hanya rakyat yang berpotensi terpapar radikalisme, tapi pemerintah juga bisa terpapar virus radikalisme. Kebijakan semena-mena, tindakan hukum seenaknya tanpa memperhatikan aspek keadilan, kesewenang-wenangan, itu juga bagian dari tindakan radikal.

So, kita semua sepakat menolak segala bentuk radikalisme, siapapun pelakunya. Apakah rakyat atau penguasa, radikalisme tak boleh berkembang biak di negeri damai bernama Indonesia. Jangan sampai Indonesia menjadi tempat yang subur untuk konflik antar para kaum radikalis karena penguasa ikut ambil bagian di dalamnya. Stop!

Jakarta, 13/12/2019. (*)
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+