RIDHMEDIA - Ekonom senior DR Rizal Ramli menyebut, kegagalan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dalam membayar polis nasabah yang mencapai Rp 12,4 triliun tidak lepas dari kinerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) RI yang amburadul.
Bahkan mantan Menko Maritim itu dengan tegas menyebut kinerja OJK payah. Padahal di satu sisi, komisi yang dipimpin Wimboh Santoso itu sudah mendapat budget yang tinggi, pun pegawainya juga mendapat upah yang di atas rata-rata.
Namun demikian, kemampuan mereka dalam pengamatan dan pengawasan masih tidak memadai. Enforcement lemah dan tidak memiliki kemampuan untuk “turn-around”. Bahkan, sambung Rizal Ramli, mental birokrat di OJK masih terlalu kuat.
“Monitoring selalu kadaluarsa, tidak mampu ambil langkah preventif, rencana solusi juga sumir. Contoh: kasus Jiwasraya, OJK muter-muter doang,” ujarnya seperti melansir rmol.id.
Secara sederhana, Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman itu mencontohkan kehadiran Financial Technology (Fintech) ilegal, yang menawarkan pinjaman super tinggi. Keberadaan mereka sangat merugi konsumen.
Belum lagi gangguan dan penalti yang diberikan terhadap peminjam jika telah bayar sangat luar biasa.
“Itupun OJK tidak mampu awasi dan tertibkan. Payah,” tekan Rizal Ramli lagi.
RR, sapaan akrabnya, mengurai bahwa OJK hadir tidak lepas dari usulannya di zaman Orde Baru. Usulan itu bahkan termuat dalam sebuah artikel di Harian Bisnis Indonesia akhir tahun 1990-an.
Pendirian OJK kemudian dibahas dalam revisi UU Bank Indonesia pada tahun 2000. OJK dibahas karena digadang bakal menjadi antithesis kelemahan pengawasan BI atas bank-bank di tanah air, sehingga terjadi krisis 1998.
“Jadi UU OJK seharusnya sudah bagus, tapi pimpinan payah,” tutup mantan Menko Kemaritiman itu.[ljc]
Bahkan mantan Menko Maritim itu dengan tegas menyebut kinerja OJK payah. Padahal di satu sisi, komisi yang dipimpin Wimboh Santoso itu sudah mendapat budget yang tinggi, pun pegawainya juga mendapat upah yang di atas rata-rata.
Namun demikian, kemampuan mereka dalam pengamatan dan pengawasan masih tidak memadai. Enforcement lemah dan tidak memiliki kemampuan untuk “turn-around”. Bahkan, sambung Rizal Ramli, mental birokrat di OJK masih terlalu kuat.
“Monitoring selalu kadaluarsa, tidak mampu ambil langkah preventif, rencana solusi juga sumir. Contoh: kasus Jiwasraya, OJK muter-muter doang,” ujarnya seperti melansir rmol.id.
Secara sederhana, Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman itu mencontohkan kehadiran Financial Technology (Fintech) ilegal, yang menawarkan pinjaman super tinggi. Keberadaan mereka sangat merugi konsumen.
Belum lagi gangguan dan penalti yang diberikan terhadap peminjam jika telah bayar sangat luar biasa.
“Itupun OJK tidak mampu awasi dan tertibkan. Payah,” tekan Rizal Ramli lagi.
RR, sapaan akrabnya, mengurai bahwa OJK hadir tidak lepas dari usulannya di zaman Orde Baru. Usulan itu bahkan termuat dalam sebuah artikel di Harian Bisnis Indonesia akhir tahun 1990-an.
Pendirian OJK kemudian dibahas dalam revisi UU Bank Indonesia pada tahun 2000. OJK dibahas karena digadang bakal menjadi antithesis kelemahan pengawasan BI atas bank-bank di tanah air, sehingga terjadi krisis 1998.
“Jadi UU OJK seharusnya sudah bagus, tapi pimpinan payah,” tutup mantan Menko Kemaritiman itu.[ljc]