Ridhmedia - Hingga saat ini, berbagai isu kekerasan fisik maupun mental yang dialami oleh minoritas Uighur di Xinjiang terus bergulir ke permukaan.
Dalam sebuah laporan yang dirilis The New York Times (NYT) pada Sabtu (28/12), hampir setengah juta anak Uighur telah dipisahkan dari orangtuanya.
NYT yang mengutip dari blog salah seorang guru di sekolah Xinjiang menceritakan bagaimana seorang anak kelas 1 yang selalu tampak murung dan kerap menangis.
Lambat laun, guru tersebut mengetahui bahwa ibu sang anak telah dikirim ke kamp penahanan untuk etnis minoritas Muslim, sementara ayahnya telah meninggal.
"Ketika saya bertanya-tanya, saya mengetahui bahwa itu karena dia merindukan ibunya," tulis guru tersebut seperti melansir moeslimchoice.com.
Alih-alih memberikan hak asuh kepada kerabat lain, pemerintah China justru menempatkan anak Uighur tersebut di sebuah sekolah asrama yang dikelola oleh pemerintah. Sementara orangtuanya dikirim ke kamp penahanan.
Partai Komunis China mengklaim, kehadiran sekolah tersebut adalah cara untuk memerangi kemiskinan. Sekolah asrama dibuat agar anak-anak lebih mudah belajar jika keluarga mereka bekerja di daerah terpencil atau tidak mampu merawat mereka.
Atas dasar ini, siswa yang orangtuanya ditahan dipaksa untuk mendaftar. Sementara itu, untuk keluarga yang lain, pemerintah menuding bahwa mereka adalah orangtua yang tidak layak karena tidak mampu menjaga anak.
Namun dalam sebuah dokumen perencanaan yang terbit pada 2017, sekolah tersebut juga dirancang untuk mengasimilasi dan mengindoktrinasi anak-anak pada usia dini. Sekolah-sekolah tersebut terlarang bagi orang luar dan dijaga ketat, jauh dari dari pengaruh keluarga.
Bahkan dalam laporan NYT, sulit untuk mewawancarai warga sekitar mengenai sekolah tersebut karena mereka takut akan ditangkap pemerintah.
Data-data yang bisa ditemukan untuk mengetahui sekolah ini hanyalah dari wawancara dengan orangtua Uighur yang tinggal di pengasingan, peninjauan dokumen secara online, hingga blog para guru.
Dari dokumen yang beredar, sekolah-sekolah di sana mengharuskan anak-anak Uighur berbahasa China dan menjauhi agama mereka.
Bahkan, ketika seorang pejabat tinggi Partai Komunis China di Xinjiang mengunjungi sebuah taman kanak-kanak di dekat kota perbatasan Kashgar pada bulan ini, ia mendesak para guru untuk memastikan anak-anak didiknya belajar untuk "mencintai Partai, mencintai tanah air, dan mencintai rakyat".
Sejak awal, dalam kampanyenya, Presiden China Xi Jinping memang menggambarkan pendidikan sebagai komponen utama untuk menghapus kekerasan ekstremisme di Xinjiang.
Salah satu idenya adalah dengan membangun sekolah asrama sebegai inkubator generasi baru Uighur yang sekuler dan lebih setia kepada partai serta bangsa.
Untuk melakukan kampanye ini, pihak berwenang di Xinjiang telah merekrut puluhan ribu guru dari seluruh China yang didominasi oleh bangsa Han, etnis mayoritas.
Sementara orang dewasa ditempatkan dalam kamp-kamp penahanan, anak-anak Uighur ditempatkan di sekolah asrama.[ljc]
Dalam sebuah laporan yang dirilis The New York Times (NYT) pada Sabtu (28/12), hampir setengah juta anak Uighur telah dipisahkan dari orangtuanya.
NYT yang mengutip dari blog salah seorang guru di sekolah Xinjiang menceritakan bagaimana seorang anak kelas 1 yang selalu tampak murung dan kerap menangis.
Lambat laun, guru tersebut mengetahui bahwa ibu sang anak telah dikirim ke kamp penahanan untuk etnis minoritas Muslim, sementara ayahnya telah meninggal.
"Ketika saya bertanya-tanya, saya mengetahui bahwa itu karena dia merindukan ibunya," tulis guru tersebut seperti melansir moeslimchoice.com.
Alih-alih memberikan hak asuh kepada kerabat lain, pemerintah China justru menempatkan anak Uighur tersebut di sebuah sekolah asrama yang dikelola oleh pemerintah. Sementara orangtuanya dikirim ke kamp penahanan.
Partai Komunis China mengklaim, kehadiran sekolah tersebut adalah cara untuk memerangi kemiskinan. Sekolah asrama dibuat agar anak-anak lebih mudah belajar jika keluarga mereka bekerja di daerah terpencil atau tidak mampu merawat mereka.
Atas dasar ini, siswa yang orangtuanya ditahan dipaksa untuk mendaftar. Sementara itu, untuk keluarga yang lain, pemerintah menuding bahwa mereka adalah orangtua yang tidak layak karena tidak mampu menjaga anak.
Namun dalam sebuah dokumen perencanaan yang terbit pada 2017, sekolah tersebut juga dirancang untuk mengasimilasi dan mengindoktrinasi anak-anak pada usia dini. Sekolah-sekolah tersebut terlarang bagi orang luar dan dijaga ketat, jauh dari dari pengaruh keluarga.
Bahkan dalam laporan NYT, sulit untuk mewawancarai warga sekitar mengenai sekolah tersebut karena mereka takut akan ditangkap pemerintah.
Data-data yang bisa ditemukan untuk mengetahui sekolah ini hanyalah dari wawancara dengan orangtua Uighur yang tinggal di pengasingan, peninjauan dokumen secara online, hingga blog para guru.
Dari dokumen yang beredar, sekolah-sekolah di sana mengharuskan anak-anak Uighur berbahasa China dan menjauhi agama mereka.
Bahkan, ketika seorang pejabat tinggi Partai Komunis China di Xinjiang mengunjungi sebuah taman kanak-kanak di dekat kota perbatasan Kashgar pada bulan ini, ia mendesak para guru untuk memastikan anak-anak didiknya belajar untuk "mencintai Partai, mencintai tanah air, dan mencintai rakyat".
Sejak awal, dalam kampanyenya, Presiden China Xi Jinping memang menggambarkan pendidikan sebagai komponen utama untuk menghapus kekerasan ekstremisme di Xinjiang.
Salah satu idenya adalah dengan membangun sekolah asrama sebegai inkubator generasi baru Uighur yang sekuler dan lebih setia kepada partai serta bangsa.
Untuk melakukan kampanye ini, pihak berwenang di Xinjiang telah merekrut puluhan ribu guru dari seluruh China yang didominasi oleh bangsa Han, etnis mayoritas.
Sementara orang dewasa ditempatkan dalam kamp-kamp penahanan, anak-anak Uighur ditempatkan di sekolah asrama.[ljc]