OLEH: SYA'RONI
PRESIDEN Jokowi pernah sesumbar akan membawa ekonomi Indonesia meroket tinggi. Dalam sebuah video yang pernah viral, Presiden Jokowi mengekspresikannya sambil menggerakkan tangannya dari bawah ke atas. Seolah-olah menirukan melesatnya roket ke angkasa. Waktu itu Presiden super optimis bisa melakukannya.
Tahun berganti tahun. Bahkan sudah melewati satu periode. Janji tinggal janji. Sesumbar hanya berbuah angin kosong. Ekonomi Indonesia masih tak goyah di angka 5 persen.
Tiap tahun terus diproduksi alibi-alibi untuk menutupi kegagalan tersebut. Tidak mau disalahkan. Alibinya selalu menyalahkan kondisi eksternal. Perang dagang AS vs China menjadi kambing hitam. Padahal perang dagang tersebut baru mencuat 2 tahun terakhir. Sementara Presiden Jokowi sudah berkuasa selama 5 tahun.
Selama 5 tahun tersebut hampir semua daya upaya sudah dilakukan. Misalnya, pemerintah pernah mengeluarkan 16 paket kebijakan ekonomi. Tapi tak jelas eksekusinya. Hanya bagus di kertas.
Selain itu, selama 5 tahun juga sudah "didoping" utang yang fantastis. Saat akhir pemerintahan SBY, posisi utang Indonesia baru mencapai Rp. 2.608,78 triliun. Namun saat ini utang sudah mencapai Rp. 4.848 triliun.
Total "doping" utang di era Jokowi mencapai Rp. 2.240 triliun. Jika diperbandingkan, total utang seorang Presiden Jokowi hampir menyamai total utang seluruh 6 presiden sebelum dirinya.
Namun, utang era Jokowi hanya cukup menopang daya beli masyarakat. Dikucurkan melalui program bantuan sosial. Hanya sebagai penahan agar rakyat tidak tambah miskin.
Utang tersebut tidak bisa untuk memenuhi sesumbar Jokowi. Solusinya harus genjot investasi. Inilah letak permasalahannya. Menurut ekonom Rizal Ramli, Kebijakan ekonomi selama ini lebih berorientasi pada pengetatan dan bunga utang yg sangat tinggi.
Surat Utang Negara (SUN) dan Deposito Perbankan saling berebut dana masyarakat. Masing-masing menawarkan bunga tinggi. Kompetisi tersebut berdampak pada masih tingginya suku bunga pinjaman perbankan. Rata-rata di atas 10 persen.
Suku bunga pinjaman yang masih tinggi membuat pelaku usaha tidak bergairah mengakses dana perbankan. Akibatnya, menurut data, kredit perbankan pada akhir 2019 hanya tumbuh 6,08 persen, turun dari 2018 yang mencapai 11,7 persen.
Kredit tumbuh minimalis. Sektor riil melambat. Pertumbuhan ekonomi pun tidak beranjak. Bahkan turun dibanding tahun lalu.
Biang keroknya adalah imbal hasil/bunga Surat Utang Negara (SUN) yang masih tinggi. Imbal hasil SUN tenor 10 tahun mencapai 6,93 persen. Tidak salah jika pihak perbankan mengimbanginya dengan bunga deposito yang tinggi agar nasabah tetap tertarik menyimpan uang di bank.
Itulah mengapa bunga perbankan tidak serta-merta turun meskipun BI sudah menurunkan suku bunganya menjadi 5 persen. Pihak perbankan berdalih membutuhkan waktu 6 bulan untuk mentransmisikan kebijakan BI menurunkan suku bunga.
Mestinya, pemerintah c.q. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengimbangi kebijakan moneter BI yang sudah menurunkan suku bunga acuannya. Nyatanya, Pemerintah masih tidak goyah dan tetap memberikan imbal hasil/bunga tinggi pada SUN (Surat Utang Negara).
Kebijakan fiskal pemerintah tidak sinergis dengan kebijakan moneter BI. Padahal apabila imbal hasil SUN bisa diturunkan menjadi di bawah suku bunga BI. Diyakini, suku bunga kredit perbankan pasti akan turun juga.
Selama suku bunga masih tinggi, jangan berharap pertumbuhan ekonomi akan meroket. Sayang, sehari lalu, BI masih mempertahankan suku bunga acuan (BI7DRR) di angka 5 persen. Masih tergolong cukup tinggi.
Padahal, Sejumlah negara sudah menurunkan suku bunganya menjadi sangat rendah. China 4,15 persen. Filipina 4 persen. Malaysia 2,75 persen. Thailand 1,25 persen. Amerika 1,75 persen. Singapura 1,36 persen. Korea Selatan 1,25 persen. Dan Jepang -0,10 persen.
Bank Indonesia harus berani memangkas suku bunganya lebih rendah lagi. Pemerintah juga harus mau menurunkan imbal hasil SUN menjadi di bawah suku bunga BI. Saatnya tinggalkan suku bunga tinggi.
Dengan suku bunga yang rendah, pelaku usaha akan antusias meminjam uang di bank. Kredit perbankan naik secara signifikan. Ekonomi riil akan bergerak massif. Dan pertumbuhan ekonomi akan melesat tinggi sebagaimana sesumbar Presiden Jokowi. Dan rakyat menjadi makmur sejahtera.
Penulis adalah Wakil Sekretaris Jenderal Pro Demokrasi (Prodem)