Hak berdaulat (sovereign rights) merupakan hak yang dimiliki oleh sebuah negara dalam mengelola Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Secara letterlijke hukum, hak berdaulat tidaklah sama dengan kedaulatan (sovereignty). Jika kedaulatan memberikan kewenangan penuh pada suatu negara untuk mempertahankan dan memperjuangkan yurisdiksi wilayah negaranya, maka hak berdaulat justru membatasi kewenangan negara.
Batasan tersebut terdapat pada pemanfaatan sumber daya laut, baik hayati maupun nonhayati di kolom air. Oleh karena itu ZEE acap kali disebut sebagai laut bebas yang sui generis (corak khusus).
I Made Andi Arsana dalam bukunya “Batas Maritim Antarnegara: Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis” menjelaskan bahwa jika terjadi perebutan kepemilikan suatu pulau maka hal itu disebut sebagai konflik kedaulatan. Akan tetapi, jika terjadi konflik atas pengelolaan kekayaan dasar laut di luar 12 mil laut dari garis pantai, maka konflik tersebut disebut konflik hak berdaulat.
Dalam konteks urgensinya, kedaulatan memiliki kedudukan yang lebih penting daripada hak berdaulat karena berkaitan dengan harkat dan martabat bangsa. Pandangan ahli hukum telah menjelaskan, mayoritas menganggap jika terjadi sengketa kedaulatan, apa pun harus dilakukan untuk memperjuangkan kedaulatan tersebut. Tetapi, jika berkenaan dengan hak berdaulat, tidak perlu menggunakan segala macam alternatif dalam memperjuangkannya.
Sebagaimana dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 telah memberikan kewenangan bagi Indonesia dalam ZEE yakni eksplorasi, eksploitasi, dan konservasi. Dari ketiga wewenang yang diberikan tersebut, maka terlihat jelas bahwa hak berdaulat hanya berkutat pada bagian pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut semata, bukan hak milik (kedaulatan).
Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia sedang dihebohkan dengan adanya isu sengketa “hak berdaulat” pulau Natuna antara China dengan Indonesia. Kronologinya, sekitar 10 Desember 2019, kapal-kapal laut China bermunculan di dekat Natuna, Kepulauan Riau.
Berdasarkan keterangan yang diungkapkan oleh Direktur Operasi Laut Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla), kapal China telah berada di landas kontinen Indonesia pada 15 Desember 2019. Kapal-kapal tersebut bahkan mematikan radar Automatic Identification System (AIS) saat melakukan pelayaran di Natuna.
Memasuki tanggal 19 Desember 2019, Bakamla mengusir kapal-kapal China tersebut. Akan tetapi, tidak lama setelah itu, kapal-kapal China kembali memasuki perairan ZEE Indonesia pada 23 Desember 2019.
Berdasarkan data radar, Bakamla pada awalnya hanya mendeteksi belasan kapal. Namun, saat dilakukan penjajakan, ternyata jumlahnya lebih dari 50 buah dan dikawal dua kapal penjaga pantai serta satu kapal perang Angkatan Laut China jenis fregat (cnnindonesia.com).
Upaya politis dan yuridis sudah dilakukan oleh pemerintah dengan melayangkan protes terhadap China pada 24 Desember 2019.
Presiden RI Joko Widodo akhirnya juga turun langsung ke Natuna bersama TNI, yang menyebabkan kapal nelayan dan kapal perang China keluar dari lokasi konflik.
Indonesia pada dasarnya telah memantapkan diri dengan ZEE selebar 200 mil dari garis-garis pangkal nusantara (Pasal 48 dan 57 UNCLOS). Adapun dalam ZEE Indonesia memiliki sovereign rights atas seluruh kekayaan alam yang terdapat di dalamnya.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (UU ZEEI), termaktub beberap hak yang dimiliki oleh Indonesia yaitu: a) Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin;
b) Yurisdiksi yang berhubungan dengan pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya, penelitian ilmiah mengenai kelautan, serta perlindungan dan pelestarian lingkungan taut; dan c) Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan Konvensi Hukum Laut yang berlaku.
Selain itu, dalam UU ZEEI juga diatur bahwa pada ZEE Indonesia, kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut diakui sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional yang berlaku. Oleh karena itu, memungkinkan negara asing untuk melakukan pelayaran dan penerbangan internasional sebagaimana ketentuan dalam hukum laut internasional yang ada.
Konflik terkait wilayah perbatasan memang bukan kali pertama dirasakan oleh Indonesia. Sebelumnya ada kasus pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia. Kita tahu Malaysia dan Indonesia adalah negara yang sangat bersahabat, tetapi karena adanya konflik tersebut menghasilkan disharmonisasi jangka pendek antar negara itu.
Meski sengketa tersebut adalah perkara kedaulatan bukan persoalan hak berdaulat, tetapi nuansa pertikaian antara China dan Indonesia menghasilkan cerita yang hampir sama.
China dan Indonesia merupakan dua negara yang sudah cukup lama menjalin hubungan diplomatis dan telah melalui banyak dinamika kekuasaan. Kerja sama di bidang ekonomi bahkan sangat kuat, tetapi rezim juga kadang kebablasan dengan pola kerja sama yang dibangunnya.
Sebagai contoh, hutang Indonesia pada China yang kian meroket, menjadikan Indonesia bisa dikatakan “luka dalam kebahagiaan”. Bahagia mendapatkan hutang, luka dalam memperjuangkan hak berdaulat.
Ini bisa dilihat betapa kurang tegasnya Indonesia dalam menyikapi masalah tersebut. Sebagai contoh, adanya pernyataan dari menteri pertahanan (menhan) Republik Indonesia bahwa dalam konteks konflik Natuna, ia memilih jalan damai dengan menggunakan prinsip diplomatis serta pertahanan Indonesia yakni defensivebukan offensive (cnnindonesia.com). Sedangkan pernyataan lain disebutkan Istana secara tegas, mengemukakan bahwa tidak ada lagi kompromi soal Natuna (dw.com). Tentunya dua pendapat yang nyaris serupa dalam diksi, namun berbeda dalam makna. Masyarakat akhirnya semakin resah dengan keadaan ini, meski pun negara telah mengirim pasukan TNI.
Langkah penyelesaian konflik Natuna memang bisa dilakukan dengan jalur diplomasi dengan memanfaatkan hubungan bilateral antar kedua negara. Konsekuensinya, setiap pihak yang berdiplomasi harus kuat dan tegas. Tetapi, dengan situasi serta kondisi bangsa kita yang terlilit utang, hal itu bisa jadi sia-sia.
Indonesia melalui ASEAN dapat mempercepat penyelesaian Code of Conduct (COC) di Laut China Selatan antara Angkatan Laut ASEAN dengan Angkatan Laut China. Dengan berlakunya COC, maka masing-masing Angkatan Laut menerapkan mekanisme preventif agar tidak terjadi perang.
Akan tetapi, penyelesaian sengketa antara China dan Indonesia memang terbilang rumit. Indonesia jelas menggunakan dasar hukum UNCLOS 1982, sedangkan China menggunakan peta sembilan garis putus-putus (nine dash line) yang secara historikal mengklaim bahwa Natuna bagian dari Laut China Selatan yang jumlahnya seluas dua juta kilometer persegi, dan wilayah tersebut muncul pertama kali pada peta China 1947.
Selain itu, adanya klaim dari Tiongkok bahwa 90% wilayah tersebut merupakan bagian dari hak maritim yang jaraknya 2000 km dari China daratan. Karena itu, keputusan otoritas Pemerintah Indonesia sangat dibutuhkan, agar situasi kembali normal seperti yang diinginkan. Sekat-sekat kepentingan politik pribadi kiranya dihilangkan dalam penyelesaian konflik Natuna ini, sebab pertaruhannya adalah nama baik bangsa Indonesia.
Pada akhirnya, yang harus dipahami kembali bahwa konflik Natuna bukanlah konflik kedaulatan, melainkan konflik hak berdaulat yang pada dasarnya merupakan dua hal yang sangat berbeda.
Pola upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dalam memperjuangkan hak berdaulatnya hingga hari ini memang cukup relevan, tetapi diperlukan ketegasan yang lebih lagi dalam meyikapi tindakan negara China tersebut.
Utang Indonesia kepada China hingga hari ini menurut data Bank Indonesia (BI) per September 2019 mencapai sebesar 17,75 miliar dollar AS atau setara Rp.274 triliun (kurs Rp.13.940).
Utang yang sangat banyak tersebut ditakutkan dapat memperlemah pemerintah dalam menghadapi China. Slogan “NKRI Harga Mati” sudah seyogianya menjadi “girah” bagi pemerintah Indonesia dalam melawan segala tindakan negara asing yang bertentangan dengan hukum internasional, serta mengganggu hak berdaulat negara Indonesia.
Jangan menjadi pengecut di mata bangsa asing, sebab yang dipertaruhkan adalah salah satu hak yang dijamin oleh hukum internasional.
Aris Munandar, SH: Ketua Bidang Kebijakan Publik KAMMI Daerah Makassar Periode 2019-2021, mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
(*)