OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN
1. Skandal Korupsi Jiwasraya Rp 13 Triliun dan Dana Pemilu
HARI ini Jokowi memerintah 100 hari dalam rezim Jokowi jilid dua. Kemarin SBY menulis surat terbuka, tentang korupsi Jiwasraya, di antara kalimatnya, "kalau Jokowi tidak mau tanggung jawab, salahkan saja masa lalu", kata SBY.
Menurut SBY, pemimpin itu bukan "Kumaha engke, tapi engke kumaha", yang artinya "bukan bagaimana nanti, tapi nanti bagaimana".
SBY minta Jokowi membuka diri agar diselidiki apakah uang rampok Rp 13 triliun itu masuk ke timses Pilpres pemenangan Jokowi? Dan dia, menurutnya, sudah diselidiki juga dalam skandal Bank Century, ketika berkuasa.
Bagaimana mengukur tanggung jawab Jokowi? Menurut Erick Thohir, kasus Jiwasraya sudah memenuhi 7 pertanyaan yang diajukan SBY untuk menjelaskan kasus ini. Pertanyaan SBY, 1) Berapa triliun jebol? 2) Mengapa jebol? 3) Siapa yang bikin jebol? 4) Apakah mengalir uangnya ke pemilu? 5) Berapa uang rakyat yang mesti dikembalikan? 6) Berkaitkah dengan kasus-kasus perampokan harta negara lainnya? 7) Bagaimana solusinya?
Erick mengatakan soal kriminal ini sudah di tangani Jaksa Agung dan jajarannya serta sudah dilaporkan ke DPR. Namun, kita tahu, Jaksa Agung adalah orang partai PDIP. Setidaknya adik bos partai PDIP.
Lalu, DPR sudah semua pendukung Jokowi, sisa yang tidak mendukung hanya partai SBY dan PKS. Lalu bagaimana mungkin menjawab 7 pertanyaan SBY itu?
Jaksa Agung hampir pasti tidak akan mampu menjawab beberapa pertanyaan SBY seperti siapa otak penjebol asuransi Jiwasraya, Asabri dan lain-lain? Apakah juga berkait dengan pertanyaan keterkaitan dana kemenangan Jokowi dan parpol pendukung?
DPR bagaimana? Belum apa-apa DPR sudah menolak Pansus, mereka memilih Panja. Pansus tentu bisa punya kekuatan politik membongkar skandal pembobolan asuransi itu, sedang Panja terbatas. Apakah DPR sudah melindungi rezim Jokowi ini?
Jika Jokowi tidak menunjukkan itikad membuka aliran dana korupsi asuransi Jiwasraya dan bagaimana petinggi kantor KSP (Kepala Staf Presiden) serta langkah penyelamatan asuransi Jiwasraya dan lainnya (Asabri, Taspen, Dana Pensiun BUMN, dll), maka kita patut bertanya, apakah Jokowi bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan aset-aset negara?
2. Virus 2019 nCoV
Isu kedua yang penting dalam 100 hari rezim Jokowi adalah respons Jokowi dalam mengantisipasi penyebaran virus corona (2019 nCoV) di Indonesia. Beberapa negara menunjukkan respons yang benar.
Inggris sedang menyelidiki 2.000 warganya yang baru kembali dari Wuhan, Hubei dan pengunjung China selama dua minggu terakhir. Pada tanggal 23 Januari pemerintah China menutup bandara Wuhan.
Jadi siapapun yang balik dari Wuhan dan China antara tanggal 9-23 Januari dipelajari pemerintah Inggris. Mereka ingin tahu apakah ada yang terkena virus Corona, virus flu mematikan.
Penerbangan terakhir Wuhan-Sydney tanggal 23 Januari diawasi dengan ketat. Pemerintah Australia langsung mendata semua alamat penumpang. Meminta mereka melaporkan kesehatan mereka selama dua minggu sejak mereka mendarat di Australia. Tentu saja di pintu masuk bandara mereka semua diperiksa thermal system dan segala urusan kesehatan.
New York Post dalam berita onlinenya, 27 Januari, berjudul "US scrambles to evacuate Americans from Wuhan on chartered flight". Itu adalah berita pengevakuasian terakhir dari negara asing yang cinta rakyatnya. Prancis, Korea Selatan, Jepang dan lain-lain sudah juga melakukan evakuasi.
Di Indonesia, Menteri Kesehatan republik ini kemarin di media online mengatakan "bagaimana cara mengevakuasi warga negara Indonesia?". Sebelumnya, tanggal 27 Januari, Presiden Jokowi memposting teka-teki di twitter tentang kunjungan akhir tahunnya ke Semarang.
Tanya Jokowi: "hayoo tebak yang mana wajah saya?" Kontan saja nitizen marah pada Jokowi. Kok anda masih main tebak-tebakan, padahal rakyat sedang cemas dengan isu virus corona?
Berbeda dengan SBY ketika memerintah. Pada saat merebak flu burung, SBY langsung membentuk Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan. Mungkin Jokowi masih merasa soal kedatangan virus corona masih jauh. Yang diberitakan semua yang diperiksa dari Sabang sampai Merauke hanya "suspect".
Namun, rakyat tidak dapat terima. Alasannya adalah Indonesia dibanjiri oleh pendatang-pendatang China selama rezim Jokowi berkiblat ke China. Hal ini memungkinkan penyebaran virus itu ke Indonesia lebih cepat dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Singapore dan Malaysia, yang tidak berkiblat politik ke China.
Jokowi mengatakan sudah menyediakan alat pendeteksi di setiap airport kedatangan? Tapi, bukankah deteksi itu tidak menangkap gejala yang kondisinya masih inkubasi? Koran Republika Online, 27 Januari, misalnya menurunkan berita "dua turis China pengidap virus corona, lolos dari Thermal Scanner di airport Prancis".
Apakah airport kita lebih canggih dari Prancis dalam hal ini?
Lalu, Menteri Kesehatan mengatakan bahwa pemerintah Komunis RRC menjamin semua warganya yang datang ke Indonesia bebas flu 2019 cNoV itu. Apakah pemerintah kita tergantung dari pernyataan pemerintah RRC?
Lalu bagaimana mengukur tanggung jawab Jokowi dalam isu ini?
Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo dan Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, minta pemerintah membuat "travel warning". Bambang meminta tiru saja negara seperti Amerika dan Inggris yang mengeluarkan travel warning bagi warganya untuk tidak plesiran ke China.
Bambang juga meminta agar wisatawan Cina dilarang masuk Indonesia. Ketika Amerika menaikkan travel warning klasifikasi 3 untuk China dan klasifikasi 4 untuk Wuhan, Hubei, pemerintah Indonesia mengeluarkan "travel advice". Kata Bambang, travel advice itu tidaklah cukup.
Dasco Ahmad, di sisi lainnya, selain meminta cegah turis China, meminta juga pemerintah membuat tim khusus dalam menghadapi virus corona ini.
Pandangan kedua wakil rakyat ini mendekati pikiran rakyat. Beberapa hari sebelum mereka, ketua PHRI, Harijadi Sukamdani, sudah meminta stop turis China. Namun, sebaliknya pemerintah kurang sensitif.
Bahkan, ketika Lion Air terbang ke Wuhan pada tanggal 26 Januari, membawa penumpang China dari Bali, pesawat itu pulang kosong. Bukankah seharusnya pesawat itu mengevakuasi nyawa-nyawa anak-anak Indonesia di Wuhan?
Sekali lagi, pemerintah kurang sensitif menenangkan rakyat kita
3. Hancurnya KPK dan Integritas Menteri
Anggota KPU yang paling vokal, Wahyu Setiawan ditangkap KPK, pada 7 Januari 2020. Dua komisioner KPU lainnya, saat ini, diperiksa sebagai saksi, termasuk ketua KPU.
Penangkapan ini masih dengan pola lama, OTT (operasi tangkap tangan).
Artinya tanpa izin dewan pengawas.
OTT ini kemudian akan dikembangkan untuk menjerat Sekjen PDIP, karena penyuapan Wahyu dilakukan dalam otoritas kekuasaan Sekjen PDIP, yakni mengganti anggota DPR RI asal PDIP Sumsel.
Pengembangan yang dilakukan KPK terhambat. Karena KPK versi UU KPK revisi, yang dilakukan Jokowi pada akhir masa jabatan jilid satu, Oktober 2019, menjadikan KPK membleh alias lemah.
Kelemahan KPK versi UU 19 Tahun 2019 dinyatakan sendiri oleh anggota Dewan Pengawas KPK, professor Syamsudin Haris.
Dalam konteks korupsi Wahyu Setiawan, gerakan KPK untuk menangkap tersangka utama, Harun Masiku, dan Hasto, sekjen PDIP, sebagaimana merujuk pemberitaan Tempo, tidak dapat dilakukan karena KPK terhalang pada kecepatan dan otoritas yang lumpuh di lapangan.
Pelaksana KPK yang akan mencari Hasto di PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) malah "ditangkap" polisi, diintrogasi selama 7 jam.
Penggeledahan yang akan dilakukan KPK ke kantor PDIP, pasca OTT Wahyu, dihadang oleh pihak keamanan kantor PDIP. Mereka minta KPK harus nenunjukkan bukti izin dari dewan pengawas KPK.
Yang paling menonjol dalam kasus ini adalah otoritas negara melakukan kebohongan publik. Ketika media Tempo menginvestigasi bahwa tersangka utama KPK, Harun Masiku ada di Indonesia pada saat OTT KPK tanggal 7 Januari tersebut, Menteri Jukum Jokowi, Yasonna Laoly mengatakan bahwa Harun tidak berada di Indonesia.
Pernyataan menteri ini untuk mempengaruhi opini yang terbentuk di rakyat bahwa adanya mata rantai dari isu korupsi Sekjen PDIP dan Wahyu Setiawan hanya isu belaka. Wahyu hanya berhubungan dengan pemberi uang yang tidak jelas asalnya, selama Harun Masiku hilang.
Namun, Dirjen Imigrasi melawan pernyataan Menteri, atasannya. Dirjen Imigrasi mengatakan bahwa Harun Masiku ada di Indonesia pada saat OTT KPK itu. Harun hanya pergi sehari ke luar negeri dan kembali lagi ke Indonesia.
Hari ini Dirjen Imigrasi dilengserkan menterinya
Di mana posisi tanggung jawab Jokowi?
Jokowi tidak menunjukkan tanda-tanda marah ketika menterinya terkesan membela kasus korupsi. Begitu juga partainya. Sebenarnya lebih parah lagi Jokowi telah ikut serta mendorong revisi UU KPK beberapa bulan lalu. Revisi ini melemahkan KPK sekaligus melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia.
4. Omnibus Law dan Pindah Ibukota
Omnibus Law dan pindah ibukota merupakan keputusan strategis Jokowi yang tidak diumumkan dalam kampanye Pilpres.
Kampanye dan janji politik dalam sistem demokrasi adalah pegangan rakyat dalam memilih presiden pada sistem demokrasi langsung. Janji kampanye itu akan dituangkan dalam RPJM (rencana pembangunan jangka menengah), karena tidak ada lagi GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara).
Omnibus Law dan pindah ibukota masuk dalam agenda utama Jokowi setelah menang Pilpres 2019. Omnibus Law ini adalah UU induk, yang dalam hirarki perundang-undangan kita tidak dikenal. Sukarno pernah membuat UU Pokok untuk bidang agraria. Mungkin pikiran Sukarno ini mengilhami menteri agraria berbicara Omnibus Law beberapa tahun lalu.
Niat Omnibus Law adalah mempermudah investasi dan dunia bisnis di Indonesia. Dasar pemikirannya adalah negara harus melayani sebesar-besarnya kepentingan pebisnis. Kepentingan pebisnis di sektor pertanahan meliputi kepastian hukum kepemilikan tanah para konglomerat kita.
Di sektor ketenagakerjaan meliputi hak-hak pengusaha memecat buruh secara mudah. Di bidang efisiensi bernegara, harus dikembalikan negara dalam hierarki tunggal, atau maksudnya otonomi daerah diabaikan.
Melayani kepentingan pebisnis adalah sifat negara plutokrasi alias negara yang dikontrol para kapitalis. Dalam bahasa lebih baru, Jeffrey Sach, mengatakan korporatokrasi. Negara yang dikontrol perusahan-perusahaan besar.
Buruh beberapa waktu ini marah dengan rencana Omnibus Law ini. Itu Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Mereka menolak.
Namun, para gubernur dan walikota/bupati tidak bereaksi ketika RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja akan menghancurkan prinsip demokrasi dan desentralisasi selama ini. RUU ini memberikan otoritas hirarkis kepada Presiden, lalu Mendagri, lalu Gubernur, dan Bupati/Walikota, di mana otoritas di atas dapat memecat yang di bawah.
Ini artinya mengembalikan Indonesia kepada sistem sentralistik jaman orde baru.
Memang hanya Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil yang sedikit gusar. Ridwan Kamil mengeluh, kenapa urusan sistem sentralistik vs desentralisasi ini tidak dibicarakan bersama?
Urusan Omnibus Law sektor agraria belum muncul kepermukaan. Namun, kita ketahui bahwa tanah-tanah HGU dan pinjam pakai yang dikuasai konglomerat nantinya akan mungkin berubah menjadi lebih dikontrol swasta ketimbang negara.
Soal pindah ibukota juga muncul setelah Pilpres selesai. Rakyat tidak diajak menyetujui pindah ibukota dan kemana pindahnya. Sebab, rakyat tidak tahu hal itu dalam kampanye Jokowi.
Pindahnya ibukota ke Penajam, Kaltim, sudah diputuskan Jokowi sebelum ada persetujuan DPR. Desain ibukota sudah ditenderkan. Beberapa orang penting, termasuk pangeran Uni Emirates Arab, sudah dimasukkan dalam penasihat pindah ibukota.
Rakyat hanya tahu bahwa ibukota yang akan di bangun bermanfaat buat pemberi utang baru. Karena pemberi utang akan mendapat keuntungan mendapatkan gedung-gedung pemerintahan di Jakarta. Yang untung selain pemerintah adalah pemilik tanah di Penajam itu, yakni Sukanto Tanoto (Konglomerat yang mengatakan Indonesia hanyalah ibi tiri, sedang ibu kandungnya adalah China).
Bagaimana tanggung jawab Jokowi?
Jokowi mengatakan bahwa baik Omnibus Law maupun pindah ibukota tergantung DPR. Jika DPR tidak setuju, maka akan gagal.
Namun, kembali lagi bahwa DPR adalah bagiam rezim Jokowi. Yang sudah pasti seperti istilah Gus Dur, kumpulan anak taman kanak-kanak yang akan setuju saja.
Namun, risiko Omnibus Law adalah mempermudah Indonesia menjadi negara plutokrasi. Dan pindah ibukota menjadikan perubahan landscape struktur bangsa kita berubah tanpa arah yang jelas.
5. Minus Solidaritas Untuk Uighur
Indonesia sebagai bangsa mayoritas Islam terikat pada solidaritas Islam internasional. Dalam kasus Palestina, misalnya, Bung Karno yang Marhaenis Nasionalis, menyatakan permusuhan dengan Israel ketika negara Jahudi itu menduduki Palestina.
Dalam konteks Uighur, bangsa Indonesia merasakan kepedihan atas pembantaian orang-orang muslim Uighurs di China. Ratusan ribu atau bahkan jutaan mereka sedang disiksa. Kamp-kamp di Xin Jiang, China mempunyai level kekejaman, dari mulai level mencuci otak orang-orang Uighur agar meninggalkan Islam, maupun sampai kepada mensiksa mereka yang dianggap pemberontak dan teroris.
Ketika rakyat Indonesia berduka atas kaum Uighur, pemerintah Jokowi terlihatnya tidak mengambil pusing. Rezim Jokowi melihat kasus Uighur sejalan dengan pandangan RRC, bahwa hal itu urusan separatisme belaka.
Sikap pemerintahan Jokowi tentu saja terkait dengan kiblat pemerintahan Jokowi yang cenderung pro-RRC. Jokowi mungkin takut bantuan bantuan utang dan investasi RRC akan distop jika pemerintahannya menunjukkan solidaritas pada bangsa Uighur itu. Sikap ini adalah sikap pragmatis, "money for anti humanity". Apakah ini sesuai dengan sila kedua Pancasila, Prikemanusian Yang Adil dan Beradab?
6. Kedaulatan Natuna
Indonesia bukanlah negara yang merdeka karena belas kasihan penjajah. Meski Bung Karno bersekutu dengan Jepang dalam masa pendudukan Jepang di Indonesia, perlawanan Bung Karno dan kawan2 terhadap penjajah jelas nyata.
Dalam 100 hari pemerintahan Jokowi, pemerintah China mengumumkan bahwa Indonesia setuju atau tidak, hak China atas laut Natuna bersifat final. Oleh karenanya China ingin bebas menangkap ikan dan berpatroli di laut Natuna.
Rakyat Indonesia marah terhadap sikap China ini. Tentara kita bergerak menjaga kedaulatan. Laskar laskar rakyat mulai siap berjihad melawan China. Karena hal China di Laut Natuna sudah dinyatakan klaim salah oleh pengadilan internasional.
Namun, sikap marah rakyat Indonesia ini berbeda dengan sikap pemerintahan Jokowi. Jokowi dan rezimnya mengatakan bahwa China adalah sahabat. Lalu bertanya, apakah kita bersahabat dengan pencuri?
7. Ekonomi Memburuk
Situasi ekonomi memburuk. Pertumbuham dunia jatuh kekisaran 3% sebelum isu virus corona muncul. Dalam situasi tersebut, pertumbuhan Indonesia terpuruk di bawah angka "magic", 5%. Bank Dunia meyakini pertumbuhan menurun ini bersifat trend sampai 4,2 % pada tahun 2022.
Sebelum merebak isu virus Corona, Indonesia berharap dapat bantuan masif dari RRC. Baik investasi maupun perdagangan. Namun, bencana RRC membuat situasi akan lebih buruk.
Bagaimana situasi ekonomi terkahir ini?
Pemasukan negara melalui pajak tahun lalu tidak tercapai. Hanya sekitar 84%. Pajak sebagai andalan utama pemasukan, jika gagal, harus membuat revisi APBN dilakukan secara serius. Korbannya secara umum adalah subsidi.
Mazhab ekonomi ala rezim Jokowi yang dimotori Menkeu Neoliberal adalah standar yakni Austerity. Apa itu? pemangkasan subsidi.
Maka pemerintahan Jokowi dalam 100 hari ini sibuk memikirkan penghapusan subsidi.
Pemerintah mulai menaikkan iuran BPJS Kesehatan, menaikkan tarif tol, akan menaikkan tarif listrik setelah Maret, dan bahkan terakhir akan mencabut semua subsidi gas melon 3 Kg.
Pedagang gorengan yang berdikari di sektor informal, mulai stres mendengar isu gas melon harganya pada harga pasar, yakni sekitar Rp. 35.000. Apa kami masih bisa cari makan (nafkah)? keluh mereka.
Pegawai honorer mulai marah. Mereka mengutuk Raker Komisi 2 DPR-RI dan Kementerian PAN yang berencana menghapus pegawai honorer. Pengangguran yang dijanjikan digaji atau disubsidi, hilang lagi isunya.
Namun, ini adalah konsekwensi penghapusan subsidi itu.
Situasi keterpurukan ekonomi Indonesia ini kebanyakan disebabkan pemerintah tidak mampu mengendalikan pembangunan yang berorientasi kedaulatan, kemandirian dan pemerataan. Orientasi ekonomi yang bersandar pada hutang dan impor, telah menjebak Indonesia menjadi negara konsumtif. Contohnya, kita memproduksi semen over produksi sekitar 30 juta ton, namun malah memasukkan sebanyak-banyaknya semen dari China. Akhirnya pabrik-pabrik kita kalah bersaing. Berbagai industri lainnya juga hancur seperti baja (baca: Krakatau Steel). Dan banyak lainnya. Hancurnya pabrik-pabrik ini membuat bangsa kita kehilangan lapangan kerja. Anak-anak muda milenial bersandar pada mimpi "unicorn" dan terjebak pada ojek online.
Utangpun terus menggunung. Ruchir Sharma, Investment Guru, selalu mengajarkan hati-hati dengan hutang. Utang itu awalnya indah, lalu menjadi kecanduan hutang, lalu menjadi terperangkap dan akhirnya ketakutan. (Debt trap, debtomania, debtophobia). Penyebabnya, hutang ini membawa manfaat bagi broker-broker hutang, baik lembaga keuangan resmi maupun politisi.
Belum ada tanda tanda Jokowi mampu menjelaskan bagaimana nasib rakyat ke depan. Rakyat semakin sulit mencari kerja. ADB melansir 20 juta orang kelaparan. Apakah ada tanda-tanda pemerintah mampu menolong keadaan?
Penutup
Berbagai persoalan yang dihadapi pemerintah Jokowi jilid dua selama 100 hari ini menunjukkan fakta bahwa situasi bangsa kita dalam kondisi keterpurukan. Kalau bangsa terpuruk, asalkan koruptor dihukum mati, maka rakyat masih bisa toleransi.
Persoalannya koruptor-koruptor kakap saat ini adalah orang-orang kaya raya, seperti geng Benny Tjokro, yang membobol asuransi Jiwasraya dan ASABRI. Bahkan nama Tan Kian, taipan properti raksasa sudah mulai disebut2 kejaksaan agung terkait juga. Mereka merampok harta-harta negara tanpa takut sama sekali. Mungkin mereka sudah menganggap bangsa ini adalah bangsa budak.
Nah, dalam 100 hari pemerintahan Jokowi, belum ada tanda-tanda bangsa kita akan tumbuh menjadi kuat (kembali). Semua persoalan di atas hanya menggambarkan pesimisme. Padahal Indonesia saat ini sedang butuh pemimpin yang kuat, pembasmi koruptor dan memihak pada nasib rakyat. Dan ini belum nampak menonjol dalam diri Jokowi serta rezimnya dalam 100 hari pemerintahan mereka. (*)