Ridhmedia - PDIP Jakarta menolak rencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta yang membutuhkan dana senilai Rp 4,073 miliar untuk menambah 6 PDIP Jakart alat Disaster Warning System (DWS) pada tahun 2020. Ketua Fraksi PDIP di DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono menilai BPBD menghamburkan anggaran.
"Sekarang akan jauh lebih elegan, jauh lebih baik, jauh lebih taktis, kalau Pemprov DKI Jakarta bisa bergandengan tangan dengan BMKG untuk membuat peringatan dini itu secara lebih akurat gitu, akurasinya lebih bagus gitu loh, kalau Pemprov kerja sama dengan BMKG," ujar Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono kepada wartawan, Kamis (16/1/2020).
"Menghamburkan anggaran saja kalau seperti itu," imbuhnya.
Gembong juga mempertanyakan rasionalisasi atas kebutuhan Toa tersebut. Gembong mempertanyakan apakah dengan kebutuhan dana sebesar Rp 4 miliar rasional atau tidak.
"Ya boleh saja dia mengatakan cocok, tapi begini, sekarang ayo kita tanyakan, kita rasionalisasi, apakah rasional untuk program sekian titik Toa dengan menelan dana sekitar Rp 4 miliar itu? Kalau BPBD bilang itu cocok, ya itu kan elu yang bilang cocok," ucap Gembong.
Sebelumnya, BPBD DKI Jakarta menganggarkan Rp 4,073 miliar untuk menambah 6 Disaster Warning System (DWS) pada tahun 2020. BPBD menyebut DWS bukan seperti pengeras suara atau Toa yang umum ditemukan.
Pengeras ini bukan Toa biasa karena bisa dipantau dari Pusdatin untuk langsung ke lokasi yang ada. Anggaran tersebut sudah ada di e-bugedting," ucap Kepala Pusat Data dan Informasi (Pusdatin), Muhammad Insyaf, saat dihubungi, Kamis (16/1).
BPBD di seluruh Indonesia menilai menjelaskan mengapa alat ini bisa mahal. Terlebih, karena alat ini menggunakan standar Jepang yang termasuk kerap dilanda bencana alam.
"Ini kayaknya pengembangan EWS (Early Warning System) bantuan Jepang. Ini TOA seperti yang dipakai di Jepang, jadi memang mahal," kata Kepala Pusdatinkom BNPB Agus Wibowo kepada wartawan, Kamis (16/1) malam.(dtk)