Ridhmedia - Komisioner KPU Wahyu Setiawan ditetapkan sebagai tersangka suap pengurusan Pergantian Antarwaktu (PAW) anggota DPR RI. Wahyu disebut menerima suap Rp 600 juta dari kader PDIP Harun Masiku.
Tujuannya untuk membantu Harun menjadi Anggota DPR PAW menggantikan caleg DPR terpilih Fraksi PDIP dari dapil Sumatera Selatan I yaitu Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia.
KPU dalam dua kali rapat pleno menetapkan caleg PDIP Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin. Sebab, Riezky merupakan caleg terpilih yang mendapat suara terbanyak kedua di bawah Nazarudin, bukan Harun. PDIP sendiri menghendaki Riezky digantikan dengan Harun karena dinilai sosok bersih.
Setelah menjadi Anggota DPR, Riezky mengaku tidak tahu ingin digantikan Harun melalui mekanisme PAW oleh PDIP. Saat ini, Riezky duduk di Komisi IV DPR.
"Saya tidak tahu masalah PAW, karena saya dari Desember lalu reses dan baru kembali kemarin. Dan terkait mekanisme ada lembaga yang lebih berhak menjelaskan," kata Riezky saat dikonfirmasi, Jumat (10/1).
Dia mengatakan hanya fokus menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat dan mengikuti arahan PDIP. "Karena sudah dilantik, jadi laksanakan tugas sesuai dengan amanat yang diberikan oleh rakyat dan sesuai arahan partai," ujarnya.
Ditanya apakah dia bersedia jika PDIP menggantinya dengan Harun, Riezky kembali menegaskan mengikuti apapun perintah partai.
"Dan saya hanya kerja sesuai perintah partai. Saya kader partai dan saya ikuti arahan dan perintah partai," ungkapnya.
Dia meyakini PDIP akan menindaklanjuti persoalan ini secara profesional dengan memperhatikan asas demokrasi. "Saya sebagai kader partai meyakini PDI Perjuangan adalah partai yang profesional dalam mekanisme demokrasi hari ini," tandas Riezky.
Kasus ini bermula ketika almarhum Nazarudin Kiemas di Dapil Sumsel I menang sebagai anggota DPR. Karena sudah meninggal, suara kedua terbanyak yakni Riezky Aprilia yang dilantik jadi anggota legislatif oleh KPU. Nah, dari sini 'mengakali' proses demokrasi hendak dilakukan Wahyu dan Harun.
"Persekongkolan antara oknum penyelenggara pemilu dengan politisi dapat disebut sebagai pengkhianatan terhadap proses demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah dan biaya yang sangat mahal," kata Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar saat jumpa pers di KPK, Kamis (9/1).
Awal Juli 2019, salah satu pengurus DPP PDIP yang masih misterius, memerintahkan Doni (DON), seorang pengacara, mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara. Pengajuan gugatan materi ini terkait dengan meninggalnya Nazarudin Kiemas pada Maret 2019 (satu bulan sebelum pencoblosan).
Gugatan Doni kemudian dikabulkan Mahkamah Agung (MA) pada 19 Juli 2019. MA menetapkan partai adalah penentu suara dan pengganti antarwaktu (PAW). Penetapan MA ini kemudian menjadi dasar PDIP berkirim surat kepada KPU untuk menetapkan Harun sebagai pengganti caleg yang meninggal tersebut.
Namun, 31 Agustus 2019, KPU menggelar rapat pleno dan menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin Kiemas, bukan Harun seperti keinginan PDIP.
Selanjutnya, 13 September 2019, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa MA dan pada 23 September mengirimkan surat kepada KPU berisi penetapan caleg. Saeful (SAE) yang ditulis sebagai pihak swasta oleh KPK, menghubungi Agustiani Tio Fridelina (ATF), orang kepercayaan Wahyu yang juga mantan Caleg PDIP dan melakukan lobi untuk mengabulkan Harun sebagai PAW.
Selanjutnya, Agustiani mengirimkan dokumen dan fatwa MA yang didapat dari Saeful kepada Wahyu untuk membantu proses penetapan Harun.
"WSE menyanggupi membantu dengan membalas 'Siap, mainkan!" lanjut Lili menjelaskan kronologi kasus ini.
Doni dan Saeful merupakan dua staf Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Namun, KPK tidak menjelaskan secara rinci. Termasuk saat ditanya, apakah ada instruksi dari Hasto dari kasus ini, KPK tak mau gamblang membuka. "Itu nanti di penyidikan," singkat Lili.
Reporter: Putu Merta Surya Putra. [mdc]