Mahfud: Bos Minta Dipijitin Sekretaris Cantik, itu Korupsi Nonkonvensional

Ridhmedia
28/01/20, 22:59 WIB


RIDHMEDIA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menjelaskan korupsi punya dua kategori yakni korupsi konvensional dan korupsi nonkonvensional.

Mahfud mengungkapkan hal itu ketika menghadiri ketika menjelaskan arti kata radikalisme yang disalahpahami sejumlah kalangan. Dia menerangkan bahwa persoalan pemahaman terhadap kata radikalisme memiliki kesamaan dengan kata korupsi.

Menurut Mahfud radikalisme punya sejumlah arti berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Artinya bisa negatif dan positif dalam kamus yang sama. Namun, ketika memperdebatkan kata radikalisme, Mahfud menuturkan orang harus merujuk pada arti kata itu dalam UU.

"Dari sekian banyak arti radikalisme yang dipakai dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 radikalisme itu tindakan kekerasan, antipemerintah, anti-NKRI, antiideologi, sehingga semua orang dianggap salah kalau tidak ikut dia. Ada enggak dalam UU, ada," ujar Mahfud dalam acara 'Penandatangan Perjanjian Kinerja BNPT di Hotel Borobudur', Jakarta, Selasa (28/1).

Mahfud lantas mencontohkan polemik kata korupsi. Dalam arti umum dan dalam arti hukum, korupsi punya arti beda. Oleh karena itu, kata Mahfud, dalam sosiologi hukum ada korupsi yang konvensional dan nonkonvensional.

Menurut Mahfud korupsi nonkonvensional adalah perilaku korup yang menguntungkan diri sendiri. Misalnya, terlambat tanpa izin. "Diundang jam 10.00 WIB, datang jam 11.00 WIB," tuturnya.

"Ada seorang direktur, punya sekretaris cantik. Sekretaris itu bidangnya apa? Menyiapkan kegiatan-kegiatan perkantoran tapi misalnya lalu disuruh pijit. 'Pijitin saya'. Itu korupsi. Korupsi dalam arti nonkonvensional," Mahfud menambahkan.

Mahfud menyebut korupsi dalam arti hukum tidak seperti itu. Dalam hukum, kata dia, korupsi diartikan secara stipulatif, yakni diberikan batas makna tertentu oleh hukum.

"Umumnya orang yang dikatakan pegawai negeri adalah yang bekerja di kantor-kantor pemerintah. Tetapi secara stipulatif bukan, pegawai negeri itu adalah warga negara Indonesia," ujarnya.

"Kalau bukan warga negara Indonesia meskipun bekerja di kantor pemerintah bukan pegawai negeri. Warga negara Indonesia berusia 18 tahun yang diangkat dengan keputusan tertentu, gaji tertentu, jabatan tertentu, itu artinya pegawai negeri," katanya lagi.

Atas dasar itu, Mahfud mengajak semua peserta yang hadir, termasuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) agar tak perlu ragu melaksanakan program deradikalisasi dalam rangka melawan terorisme. (*)
Komentar

Tampilkan

Terkini