Ridhmedia - PDI Perjuangan terjebak dalam pusaran kasus korupsi yang melibatkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.
Perkara yang disangkakan terhadap Wahyu adalah suap terkait pergantian antar waktu (PAW) Caleg PDI Perjuangan dapil Sumatra Selatan I Nazaruddin Kiemas. Nazaruddin meraih suara terbanyak, sayangnya dia meninggal sebulan sebelum pemilu digelar.
Awal perkara dari kasus korupsi ini dikarenakan gugatan uji materil Pasal 54 Peraturan KPU 3/2019 ke Mahkamah Agung (MA), terkait meninggalnya Nazaruddin Kiemas.
Dalam gugatan itu, PDIP mendapat angin segar untuk berhak menentukan dan menetapkan suara pengganti Nazaruddin. Partai Banteng pun mengajukan caleg lainnya, Harun Masiku kepada KPU untuk ditetapkan sebagai caleg terpilih.
Tetapi, upaya PDIP untuk mendorong Harun tidak berhasil. Justru berujung kepada penangkapan Wahyu dan beberapa orang yang diduga bagian dari PDIP yang diduga terkait proses PAW Nazaruddin.
Peneliti senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Ferry Kurnia Rizkiansyah berpandangan, upaya judicial review (JR) atau gugatan uji materil peraturan perundangan-undangan yang dilakukan PDIP sesuatu yang percuma.
Sebab, dalam Peraturan KPU dan UU Pemilu nomor 7/2017, sudah dijelaskan terkait tata cara proses PAW.
"Ketentuan UU sudah sangat jelas, bahwa urutan suara terbanyak berikutnya itu menjadi porsi untuk menggantikan, ketika ada yang meninggal dunia, mengundurkan diri atau diberhentikan oleh partai," ujar mantan komisioner KPU ini di sela-sela dikusi di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu (11/1)
Untuk mekanisme permohonan PAW, Ferry menjelaskan, tidak bisa partai politik mengajukan permohonan langsung ke KPU. Justru alur permohonan yang seharusnya adalah, partai mengajukan PAW caleg ke DPR RI.
Kemudian, DPR mengajukan permohonan PAW caleg partai kepada KPU. Barulah setelah itu, KPU menjawab permohonan tersebut dengan mengirimkan surat kepada DPR kembali untuk diputuskan.
Oleh karena itu, kata Ferry, ada suatu hal yang salah dengan Mahkamah Agung atas putusannya, dengan pernyataan, partai politik adalah pihak penentu suara dan PAW Caleg.
"Menurut perspektif saya, sebagai pegiat pemilu, nampaknya MA keliru dalam memberikan putusan tersebut, ketika misalnya PAW itu diserahkan ke partai," pungkasnya. [rml]