Oleh : Henyk Nur Widaryanti S. Si., M. Si.
Siapa yang tak bangga disebut kaum intelek? Mereka adalah para intelektual yang kritis, pemikir dan berkembang dinamis. Dengan kecerdasannya mampu merubah impian menjadi kenyataan. Mereka menciptakan sesuatu, penemuan, pengembangan maupun menyebarkan khasanah intelektual. Kedudukannya lebih tinggi dari rakyat jelata. Namun, memiliki hak yang sama sebagai warga negara.
Baru-baru ini kaum intelek jadi sorotan. Berawal dari pidato Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud M. D. pada acara Stadium General di Wisuda 750 Sarjana dan Magister Universitas Islam Kadiri, Kediri, Jawa Timur, 21 Desember 2019. Dalam pidato tersebut mantan pimpinan Universitas Islam Kadiri itu menyebutkan bahwa perguruan tinggi saat ini sedang dalam sorotan atas kacaunya tata pemerintahan dan merebaknya kasus korupsi.
Mengapa harus perguruan tinggi? Karena para pemeran utama dari masalah yang ada selalu para sarjana. Mahfud mengatakan mereka adalah sarjana yang keahliannya sengaja diperdagangkan demi secuil kebahagiaan. Mereka adalah sarjana tukang, yang melakukan sesuatu sesuai pesanan yang berkepentingan.
Harapan terbesarnya dalam dunia perguruan tinggi adalah mencetak gererasi ulul albab. Yaitu generasi cendikiawan yang memiliki kecerdasan dan akhlak yang baik. Seperti Almarhum B. J. Habibie. Selain itu Dosen Universitas Islam Indonesia itu menambahkan, selayaknya para intelektual itu seperti Buya Hamka dan K. H. Wahid Hasyim. Meraka bukan sarjana, tapi mereka intelektual yang patut menjadi teladan.
Mencetak sarjana tukang
Siapa sangka generasi intelektual saat ini cukup banyak yang menjadi sarjana tukang. Hampir semua masalah korupsi negeri ini didalangi oleh orang-orang pandai, yang mengaku lulusan sarjana. Tidak hanya korupsi, pemegang kebijakan pun mereka adalah para sarjana. Padahal di tangan mereka nasib rakyat bergantung, tapi nasib jutaan rakyat justru dipertaruhkan demi undang-undang pesanan. Siapa mereka? Mereka adalah lulusan-lulusan perguruan tinggi, para sarjana.
Tanpa disadari pendidikan saat ini telah mencetak para generasi tukang. Bukan salah perguruan tinggi sepenuhnya. Namun, ini masalah penanaman konsep sejak dini. Tahukah kita bahwa tingkah laku seseorang itu tergantung dari pemahamannya? Dari mana pemahamannya? Dari informasi yang ia terima sejak awal. Iya, ini berhubungan dengan informasi awal. Istilah kerennya matlumat stabiqoh.
Informasi awal ini diperoleh sejak pendidikan pertama dimulai. Yaitu masa pendidikan usia golden age. Dalam asuhan rumah, dalam hal ini ibu dan ayah berperan sebagai pendidik awal. Jika informasi yang ditanamkan pada anaknya salah, maka kesalahan ini bisa dibawa sampai besar. Apalagi jika pendidikan formal (sekolah) juga mendidikkan semisal. Alhasil anak akan mengikuti didikan para pendidiknya.
Sebagai contoh, orang tua menanamkan yang paling berharga dalam hidup adalah materi. Mereka menilai anak-anak mereka dari hasil yang dilihatnya. Bukan bagaimana menekankan pada proses meraihnya. Anak-anak tak dikenalkan pada Sang Pencipta. Tak dikenalkan konsep Surga-Neraka. Tak tahu mana standar benar dan salah. Akhirnya mereka tumbuh menjadi generasi tanpa arah. Mereka akan rela melakukan apa saja, demi memenuhi keinginannya.
Ditambah lagi, pendidikan formal yang tak mendukung. Artinya, kurangnya penekanan aqidah dari para pendidik (guru). Kurikulum yang hanya menuntut hasil. Bahkan sistem kelulusan yang membuat anak nekat melakukan hal-hal curang. Seperti membeli kunci jawaban, dan ini terorganisir. Atau mencoktek saat ujian demi nilai yang bagus. Dan kondisi seperti ini didukung orang tua. Alhasil anak menyimpulkan, hal-hal semacam itu tak masalah dilakukan. Karena dilakukan secara ramai-ramai.
Bagaimana dengan lingkungan? Tentu saja lingkungan kapitalis ini pun punya andil dalam mencetak generasi tukang. Tidak ada penawaran jika tak ada permintaan. Artinya, di luaran sana ada orang atau instansi yang memanfaatkan segala celah demi meraup uang. Anak menghadapi ujian, mereka menawarkan jasa jawaban. Anak mau cari pekerjaan, mereka menawarkan jalan pintas dengan imbalan kekayaan. Sampai-sampai saat para sarjana itu menjadi calon pemimpin, mereka berlomba memberikan dukungan dengan menyumbangkan beberapa lembar dolar. Apakah itu gratis? No free lance. Semua itu dilakukan agar mereka diuntungkan. Jika para sarjana tadi meraih ambisinya, mereka akan mampu memesan aturan sesuai kepentingan.
Jadi, sarjana tukang ini adalah produk akhir dari sistem pendidikan yang ada. Perguruan tinggi hanya sebagai penyempurna mencetak generasi tukang. Memang tidak semua mahasiswa menjadi sarjana tukang, tapi mayoritas bergelar demikian. Artinya ini adalah sesuatu yang salah sejak awal. Ya, selama kapitalis sekular tetap menjadi pijakan dalam segala bidang, terutama pendidikan. Sarjana tukang akan tetap ada. Karena sarjana tukang hanya mementingkan materi tanpa memandang benar dan salah dalam meraihnya.
Intelektual sejati
Menjadi intelektual sejati tidaklah mudah. Seorang intelektual memiliki kemampuan berfikir di atas rata-rata. Mereka tak hanya berfikir secara dangkal atau pendalam. Tapi mereka berfikir secara mustanir atau cemerlang. Dengan pemikirannya yang cemerlang, ia mampu mengaitkan ilmu dengan agama. Sehingga menumbuhkan keimanan yang kuat dalam benak mereka.
Jika mereka mampu memahami hakekat kehidupan yang sementara ini, mereka akan melakukan segala sesuatu dengan pertimbangan syara'. Bukan sekadar akal yang terpengaruh hawa nafsu. Mereka tak akan melihat hasil semata. Proses yang benar akan mereka utamakan. Karena mereka faham, hidup mereka tak hanya di dunia saja. Tapi kampung akhirat menjadi tujuan utama.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan akhirat melainkan seperti salah seorang dari kamu yang mencelupkan jari tangannya ini –perawi bernama Yahya menunjuk jari telunjuk- ke lautan, lalu hendaklah dia perhatikan apa yang didapat pada jari tangannya”. (HR Muslim, no. 2858)
Maknanya kehidupan dunia hanya seujung kuku dibandingkan kehidupan akhirat. Kenikmatannya hanya sesaat. Orang-orang yang mampu memahami ini adalah para intelektual sejati. Meskipun mereka tak bergelar sarjana, mereka tetap bisa menjadi intelektual. Sebagaimana Buya Hamka dan K. H. Wahid Hasim.
Di sisi lain untuk menjadi sarjana yang intelektual diperlukan dukungan dari berbagai bidang. Di rumah, di sekolah/perguruan tinggi, dan di lingkungan yang saling bersinergi mendukung tercetaknya sarjana intelektual. Mereka tak hanya dididik tentang ketinggian ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi mereka diberikan pondasi keimanan yang kuat. Agar setinggi apapun kedudukan mereka sebagai intelektual, mereka tetap dalam pijakan kebenaran. Jauh dari sifat takabur. Oleh karena itu, untuk memenuhi itu semua kita perlu dukungan negara. Yang dipimpin oleh intelektual sejati. Yang hanya takut dengan Illahi. Wallahu a'lam bishowab.
Siapa yang tak bangga disebut kaum intelek? Mereka adalah para intelektual yang kritis, pemikir dan berkembang dinamis. Dengan kecerdasannya mampu merubah impian menjadi kenyataan. Mereka menciptakan sesuatu, penemuan, pengembangan maupun menyebarkan khasanah intelektual. Kedudukannya lebih tinggi dari rakyat jelata. Namun, memiliki hak yang sama sebagai warga negara.
Baru-baru ini kaum intelek jadi sorotan. Berawal dari pidato Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud M. D. pada acara Stadium General di Wisuda 750 Sarjana dan Magister Universitas Islam Kadiri, Kediri, Jawa Timur, 21 Desember 2019. Dalam pidato tersebut mantan pimpinan Universitas Islam Kadiri itu menyebutkan bahwa perguruan tinggi saat ini sedang dalam sorotan atas kacaunya tata pemerintahan dan merebaknya kasus korupsi.
Mengapa harus perguruan tinggi? Karena para pemeran utama dari masalah yang ada selalu para sarjana. Mahfud mengatakan mereka adalah sarjana yang keahliannya sengaja diperdagangkan demi secuil kebahagiaan. Mereka adalah sarjana tukang, yang melakukan sesuatu sesuai pesanan yang berkepentingan.
Harapan terbesarnya dalam dunia perguruan tinggi adalah mencetak gererasi ulul albab. Yaitu generasi cendikiawan yang memiliki kecerdasan dan akhlak yang baik. Seperti Almarhum B. J. Habibie. Selain itu Dosen Universitas Islam Indonesia itu menambahkan, selayaknya para intelektual itu seperti Buya Hamka dan K. H. Wahid Hasyim. Meraka bukan sarjana, tapi mereka intelektual yang patut menjadi teladan.
Mencetak sarjana tukang
Siapa sangka generasi intelektual saat ini cukup banyak yang menjadi sarjana tukang. Hampir semua masalah korupsi negeri ini didalangi oleh orang-orang pandai, yang mengaku lulusan sarjana. Tidak hanya korupsi, pemegang kebijakan pun mereka adalah para sarjana. Padahal di tangan mereka nasib rakyat bergantung, tapi nasib jutaan rakyat justru dipertaruhkan demi undang-undang pesanan. Siapa mereka? Mereka adalah lulusan-lulusan perguruan tinggi, para sarjana.
Tanpa disadari pendidikan saat ini telah mencetak para generasi tukang. Bukan salah perguruan tinggi sepenuhnya. Namun, ini masalah penanaman konsep sejak dini. Tahukah kita bahwa tingkah laku seseorang itu tergantung dari pemahamannya? Dari mana pemahamannya? Dari informasi yang ia terima sejak awal. Iya, ini berhubungan dengan informasi awal. Istilah kerennya matlumat stabiqoh.
Informasi awal ini diperoleh sejak pendidikan pertama dimulai. Yaitu masa pendidikan usia golden age. Dalam asuhan rumah, dalam hal ini ibu dan ayah berperan sebagai pendidik awal. Jika informasi yang ditanamkan pada anaknya salah, maka kesalahan ini bisa dibawa sampai besar. Apalagi jika pendidikan formal (sekolah) juga mendidikkan semisal. Alhasil anak akan mengikuti didikan para pendidiknya.
Sebagai contoh, orang tua menanamkan yang paling berharga dalam hidup adalah materi. Mereka menilai anak-anak mereka dari hasil yang dilihatnya. Bukan bagaimana menekankan pada proses meraihnya. Anak-anak tak dikenalkan pada Sang Pencipta. Tak dikenalkan konsep Surga-Neraka. Tak tahu mana standar benar dan salah. Akhirnya mereka tumbuh menjadi generasi tanpa arah. Mereka akan rela melakukan apa saja, demi memenuhi keinginannya.
Ditambah lagi, pendidikan formal yang tak mendukung. Artinya, kurangnya penekanan aqidah dari para pendidik (guru). Kurikulum yang hanya menuntut hasil. Bahkan sistem kelulusan yang membuat anak nekat melakukan hal-hal curang. Seperti membeli kunci jawaban, dan ini terorganisir. Atau mencoktek saat ujian demi nilai yang bagus. Dan kondisi seperti ini didukung orang tua. Alhasil anak menyimpulkan, hal-hal semacam itu tak masalah dilakukan. Karena dilakukan secara ramai-ramai.
Bagaimana dengan lingkungan? Tentu saja lingkungan kapitalis ini pun punya andil dalam mencetak generasi tukang. Tidak ada penawaran jika tak ada permintaan. Artinya, di luaran sana ada orang atau instansi yang memanfaatkan segala celah demi meraup uang. Anak menghadapi ujian, mereka menawarkan jasa jawaban. Anak mau cari pekerjaan, mereka menawarkan jalan pintas dengan imbalan kekayaan. Sampai-sampai saat para sarjana itu menjadi calon pemimpin, mereka berlomba memberikan dukungan dengan menyumbangkan beberapa lembar dolar. Apakah itu gratis? No free lance. Semua itu dilakukan agar mereka diuntungkan. Jika para sarjana tadi meraih ambisinya, mereka akan mampu memesan aturan sesuai kepentingan.
Jadi, sarjana tukang ini adalah produk akhir dari sistem pendidikan yang ada. Perguruan tinggi hanya sebagai penyempurna mencetak generasi tukang. Memang tidak semua mahasiswa menjadi sarjana tukang, tapi mayoritas bergelar demikian. Artinya ini adalah sesuatu yang salah sejak awal. Ya, selama kapitalis sekular tetap menjadi pijakan dalam segala bidang, terutama pendidikan. Sarjana tukang akan tetap ada. Karena sarjana tukang hanya mementingkan materi tanpa memandang benar dan salah dalam meraihnya.
Intelektual sejati
Menjadi intelektual sejati tidaklah mudah. Seorang intelektual memiliki kemampuan berfikir di atas rata-rata. Mereka tak hanya berfikir secara dangkal atau pendalam. Tapi mereka berfikir secara mustanir atau cemerlang. Dengan pemikirannya yang cemerlang, ia mampu mengaitkan ilmu dengan agama. Sehingga menumbuhkan keimanan yang kuat dalam benak mereka.
Jika mereka mampu memahami hakekat kehidupan yang sementara ini, mereka akan melakukan segala sesuatu dengan pertimbangan syara'. Bukan sekadar akal yang terpengaruh hawa nafsu. Mereka tak akan melihat hasil semata. Proses yang benar akan mereka utamakan. Karena mereka faham, hidup mereka tak hanya di dunia saja. Tapi kampung akhirat menjadi tujuan utama.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan akhirat melainkan seperti salah seorang dari kamu yang mencelupkan jari tangannya ini –perawi bernama Yahya menunjuk jari telunjuk- ke lautan, lalu hendaklah dia perhatikan apa yang didapat pada jari tangannya”. (HR Muslim, no. 2858)
Maknanya kehidupan dunia hanya seujung kuku dibandingkan kehidupan akhirat. Kenikmatannya hanya sesaat. Orang-orang yang mampu memahami ini adalah para intelektual sejati. Meskipun mereka tak bergelar sarjana, mereka tetap bisa menjadi intelektual. Sebagaimana Buya Hamka dan K. H. Wahid Hasim.
Di sisi lain untuk menjadi sarjana yang intelektual diperlukan dukungan dari berbagai bidang. Di rumah, di sekolah/perguruan tinggi, dan di lingkungan yang saling bersinergi mendukung tercetaknya sarjana intelektual. Mereka tak hanya dididik tentang ketinggian ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi mereka diberikan pondasi keimanan yang kuat. Agar setinggi apapun kedudukan mereka sebagai intelektual, mereka tetap dalam pijakan kebenaran. Jauh dari sifat takabur. Oleh karena itu, untuk memenuhi itu semua kita perlu dukungan negara. Yang dipimpin oleh intelektual sejati. Yang hanya takut dengan Illahi. Wallahu a'lam bishowab.