Oleh: Dr. Rizal Ramli*
DALAM perjalanan dengan mobil ke sini, saya teringat cerita anak-anak Snow White: “Mirror, mirror on the wall, who stole Jiwasraya”.
Menurut saya kita harus coba menjawab itu sebelum mencari solusinya. Dalam konteks ini, ada beberapa yang harus kita kaji.
Satu adalah peranan dari accounting firms. Di Indonesia hampir semua perusahaan yang go public harus menggunakan lima top accounting firm seperti Andersen, Price Waterhouse Coopers (PwC), dan lain-lainnya.
Mereka pada dasarnya oligopoli, fee mahal sekali tapi kerjanya banyak yang abal-abal.
Mereka merekasa laporan keuangan Garuda sehingga kelihatan untung. Ada perusahaan diberikan izin untuk membuat WIFI di seluruh pesawat Garuda, diperkirakan untungnya hampir 400 juta dolar AS lebih, langsung dibukukan hari ini walaupun perusahaanya belum jalan.
Kok bisa accounting firm ternama berani menyimpulkan satu tindakan yang sangat kriminal, tidak terkena sanksi yg berat.
Jadi, kami minta asosiasi profesi akuntan dan pemerintah untuk memberikan sanksi yang tegas dan berat, karena jika pasar modal kita laporan keuangannya abal-abal, seperti Garuda dan Jiwasraya, apa yang dapat kita percaya?
Harus ada sanksi legal, kriminal, maupun penalti keuangan supaya tidak berulang lagi. Jika perusahaan-perusahaan accounting tidak ditindak tegas, maka akan berulang lagi, dia akan kasih laporan abal-abal lagi dan kita dipaksa percaya.
Kedua adalah supervisi bank yaitu OJK. Kami mohon maaf bahwa ide OJK (Otoritas Jasa Keuangan) itu kami yang usulkan di salah satu paper di Bisnis Indonesia tahun 1998/1999.
Waktu kami menjadi Menko dan menteri keuangan tahun 2002, kami usulkan draft pertama dari undang-undang OJK, karena pada masa lalu bank-bank dan financial institutions diawasi oleh Bank Indonesia.
Ternyata pengawasannya kacau, pejabat BI kerjanya main golf di-entertain terus oleh para bankir. Fungsi pengawasan tidak jalan sama sekali.
Akhirnya kami minta supaya BI hanya fokus di untuk urusan moneter dan kebijakan kredit, tetapi pengawasan bank harus oleh lembaga yang terpisah.
Akhirnya itulah yang terjadi, undang-undangnya dibuat, gaji stafnya sangat mahal sekali (well-paid) tetapi diisi kebanyakan oleh para birokrat dan orang akademik yang tidak punya pengalaman praktek dalam melakukan turn around, melakukan surveillance, dan macam-macam lainnya.
Saya berikan contoh yang sederhana saja, dua tahun terakhir banyak lembaga fintech illegal yang menawarkan kredit dengan bunga 1 persen per hari, yang meminjam rakyat kecil hanya Rp 2 juta sampai Rp 3 juta.
Begitu tidak bisa bayar langsung peminjan dipermalukan, entah bagaimana dia punya kontak teman-temannya peminjam. Mereka akan menelpon teman-teman mempermalukan peminjam.
Jika perempuan, kalau perlu fotonya yang aneh-aneh dimuat. Soal sederhana itu saja OJK tidak berbuat apa-apa. Padahal sebenarnya sangat sederhana.
Hari ini dengan Data Analysis, jauh lebih mudah melakukan sutveilance mana yang legal dan mana yang illegal untuk diambil tindakannya.
Setelah saya bicara keras dua minggu yang lalu, baru digrebek salah satu lembaga fintech illegal yang sangat merugikan masyarakat. Itu soal yang sangat sederhana, tetapi kemampuan untuk melakukan surveillance, monitoring, dan enforcement of rules and good governance sangat lemah sekali.
Manajemen OJK, saya minta Pak Jokowi berani ganti. Mereka malah sibuk membuat dua tower tinggi sekali untuk dijadikan kantor OJK.
Bayangkan fungsi utamanya tidak dijalankan, tapi mau pindah kantor yang tinggi sekali yang sedang dalam pembangunan. Hal ini harus dihentikan, bayar uang nasabah sebelum bikin kantor semacam itu.
Menurut saya seharusnya OJK bisa canggih dalam melakukan monitoring dan surveillance. Hari ini gampang semua, kalau dulu data tidak terintegrasi. Sederhananya, dulu nasabah kredit tetapi macet di Bank S, bisa pindah minjam lagi di Bank B, Bank C, Bank D, dan Bank E, karena data waktu itu tidak terintegrasi.
Hari ini data itu terintegrasi sehingga mudah sekali untuk mengetahui flow, pola investasinya, resikonya, dll. Akan tetapi, saya katakan, pejabat-pejabat OJK tidak mempunyai kapasitas untuk melakukan analisis data besar dan tidak memiliki pengalaman turn around.
Kalau krisis ekonomi tahun 1998 dipicu oleh dua hal yaitu utang swasta yang besar, hutang pemerintah, dan bank. Kenapa?
Waktu itu membuat bank mudah sekali dengan modal Rp 10 miliar sudah bisa bikin bank sehingga ada ratusan bank di Indonesia.
Ketika bank-bank itu terima deposito, 80 persen kreditnya dia kasih ke grupnya sendiri. Jadi, grupnya cepat besar karena dana bank semuanya dipindahkan ke sana.
Ada aturan legal lending limit tetapi tidak di-enforce. Hari ini bank kondisinya sudah jauh lebih sehat dibandingkan tahun 1998. Kenapa?
Karena di-enforced legal lending limit dan kebanyakan bank-bank itu perusahaan go public sehingga dimonitor terus menerus dipasar modal dan oleh para analyst apakah NPL terlalu besar atau resiko kreditnya terlalu besar.
Yang saya khawatir hari ini, Indonesia menghadapi masalah yang sama yakni hutang yang terlalu besar, banyak yang gagal bayar, bank memang aman tapi perusahaan asuransi dan reksadana banyak yang bermasalah.
Jiwasraya hanya ‘the tip of the iceberg’, karena yang mereka jual bukan asuransi biasa, bukan sekedar proteksi tapi juga investasi. Mohon maaf, padahal nasabahnya golongan menengah ke atas, greedy kalahkan common sense.
Perusahaan asuransi (proteksi-cum-investasi) tawarkan return 6 sampai 7 persen. Perusahaan2 Reksadana lebih tinggi lagi, banyak yg tawarkan return 12 sampai 13 persen. Mereka yg akhirnya banyak bermasalah.
Tingkat bunga deposito hanya 6 persen, perusahaan-perusahaan ReksaDana janjikan 12 sampai 13 persen. Apa ndak curiga ?
Seperti yang saya pernah katakan, selain masalah ekonomi tahun ini yang akan anjlok ke 4 persen, tetapi juga masalah lembaga-lembaga asuransi dan reksadana.
Skalanya lebih dari 5 kali Jiwasraya.
Jadi, ini adalah masalah yang serius. Oleh karena itu Jiwasraya perlu diselesaikan secepat dan sebaik mungkin. Kalau tidak masalahnya akan menyebar, akhirnya menjadi pemicu dari krisis baru.
Ada beberapa hal dalam penyelesaian masalah. Harusnya ujung tombak penyelesaian ini adalah OJK, tetapi mereka memble, tidak kedengaran suaranya.
OJK tidak pernah menjelaskan strategi untuk menyelesaikan masalah ini karena pimpinannya memang tidak mempunyai kemampuan.
Saya minta Pak Jokowi ambil inisiatif kalau mau selesaikan masalah ini maka ganti pimpinan OJK untuk bisa hindari masalah-masalah yang lebih besar.
Nomor dua setelah OJK adalah Menteri Keuangan. Tapi kita kenal Menteri Keuangan, setiap ada masalah bukan menyelesaikan masalah bahkan menciptakan masalah baru.
Skandal Century rp 6,7 trilliun, penjualan aset BPPN, return-nya hanya 11 persen, dan sebagainya.
Sekarang, tinggal Menteri BUMN yang baru.
Pertanyaannya, Pak Jokowi harus jelaskan siapa final authority-nya. Kalau final authority adalah OJK, saya mohon maaf maka kasus ini tidak akan selesai.
Nama Indonesia dapat rusak sama mereka. Presiden musti tunjuk siapa leading point di dalam menyelesaikan masalah ini, dan menurut saya, tinggal BUMN yang harus menyelesaikan masalah ini.
Seperti yang dikatakan tadi, polis dijual bukan hanya utk proteksi atau asuransi tapi juga investasi. Kemudian, dijanjikan kepada nasabah return 6 sampai 7 persen. Reksadana bahkan tawarkan 12 persen.
Kedua, dana-dana tersebut diinvestasikan di aset-aset atau perusahaan yang kebanyakan tidak kredibel. Istilahnya jika mau aman investasi di saham blue chip, perusahaan-perusahan Indonesia, yg namanya LQ-45 atau LQ20 (Top 45 or Top 20).
Harusnya dana yang dikumpulkan, diinvestasikan ke perusahaan-perusahaan blue chip tersebut.
Tetapi manager investasi, baik karena keteledoran dan pat gulipat justru invest di saham-saham dan bonds yang beresiko tinggi.
Saya curiga mereka ndak bodoh-bodoh sekali, pasti pat gulipat ini yang terjadi. Manajemen menginvestasikan di perusahaan-perusahaan yang memang banyak masalah, yang tidak mungkin memberikan return demikian tingginya.
Perusahaan-perusahaan tersebut akan “setor” ke manager investasi.
Hari ini sebetulnya mudah, bisa dicek semua aliran data oleh PPAT.
Selain itu, di reksadana banyak juga banyak PonziScheme.
Apa itu Ponzi Scheme? Misalnya 1.000 nasabah pertama dijanjikan 12 persen. Tidak masalah selama ada 1.000 berikutnya. Tiga bulan kemudian dan tiga bulan berikutnya juga ada 1.000 terus.
Jadi, yang di atas dibayar oleh yang di bawah.
Tetapi, begitu tiga bulan kemudian tidak ada lagi nasabah baru dan tidak ada aliran flow masuk maka collapse sistem Ponzi Scheme tersebut. Beberapa investasi yang ditawarkan pakai nama umum ataupun syariah, banyak sekali pola Ponzi Scheme ini dan OJK diam saja padahal kasusnya terang benderang.
Sekarang apa yang dapat dilakukan?
Pertama, harus jelas siapa leading pointnya, siapa yang paling utama diharapkan menyelesaikan kasus ini. Presiden Jokowi harus putuskan hal itu.
Kedua, mereka-mereka yang melakukan tindakan kriminal dengan investasi pat gulipat atau abal-abal memang harus diadili, harus di hukum pidana.
Akan tetapi di Indonesia, orang melakukan penipuan finansial ratusan miliar, ia tidak masalah dihukum 10 tahun, habis itu dia bisa kaya lagi.
Kita harus biasakan supaya yang tanggung jawab pat gulipat ini hartanya disita secepat mungkin, diblokir aset dan dananya.
Dan mereka wajib tanda tangan personal guarantee yaitu tanggung jawab sampai tiga generasi anaknya dan cucunya.
Jika itu yang terjadi, pasti mereka all-out karena hampir semua orang normal tidak mau cucunya susah, pasti ia mau tanggung jawab bantu menyelesaikan secepat mungkin.
Waktu zaman saya menjadi Menko, saya minta semua konglomerat harus menyerahkan personal guarantee supaya bargaining negara kuat dari yang aneh-aneh. Belakangan ganti pemerintah, dibalikkan kembali personal guarantee itu.
Makanya return dari BLBI hanya sekitar 25 persen, paling rendah di dunia.
Saya minta segera, siapa saja yang punya indikasi kriminal, menyalahgunakan kewenangan, investasi abal-abal diminta memberikan personal guarantee secara legal, artinya sampai tiga generasi kena tanggung jawabnya.
Kemudian, aset-aset mereka disita. Tentu hari ini Jiwasraya punya beberapa fixed aset yang dapat dijual. Beberapa aset yang akan disita (confiscated asset) harus digunakan secepat mungkin untuk memperbaiki likuiditas dan memperbaiki kualitas aset yang dimiliki oleh Jiwasraya agar dapat membayar nasabah.
Begitu juga kontribusi OJK, karena setiap bulan mereka mendapat iuran, sehingga walau dia tidur-tiduran akan tetap dapat iuran terus. Mereka juga harus berbagi resiko yang terjadi. Hentikan dulu pembangunan gedung-gedung mercu-suar itu dan bereskan dulu masalah ini.
Kemudian, harus dilakukan renegosiasi dengan nasabah mengenai terms-nya, jadi lebih wajar. Harus kembali ke normal, sedikit di atas deposito. Harus pula direstruktur, ada yang mungkin tenornya satu tahun atau dua tahun penyelesaiannya, yang penting dijamin oleh pemerintah penyelesaiannya.
Seperti diketahui, uang deposito itu dijamin oleh undang-undang yaitu Rp 2 miliar per nasabah. Namun, uang asuransi atau reksadana tidak dijamin. Siapapun yang mau mengeluarkan uang untuk membayar bisa masuk penjara karena belum ada undang-undangnya.
Menurut kami, langkah-langkah itu masuk akal dan masih dapat diselamatkan, namun harus tegas dan jelas siapa yang ambil tindakan karena kalau tidak hati-hati kasus ini adalah tip of the iceberg di lembaga keuangan non-babk Indonesia.
Saya minta kawan-kawan uber, “Mirror, mirror on the wall, who stole Jiwasraya.”
*) Penulis adalah mantan Menko Perekonomian, mantan Menteri Keuangan, dan mantan Menko Maritim dan Sumber Daya. Tulisan ini adalah transkrip dari pernyataan yang disampaikan dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC), Selasa, 7 Januari 2020.