Ridhmedia - Proyek Terowongan Raksasa atau Multi Purpose Deep Tunnel (MPDT) pernah dijagokan untuk menjadi penangkal banjir di Jakarta.
Proyek multifungsi ini disebutkan mampu menangkal banjir saat musim hujan dan ketika musim kering bisa digunakan sebagai jalan tol. Bahkan, terowongan yang direncanakan berdiameter 12 meter ini juga akan terhubung dengan jalan tol lainnya, seperti jaringan tol Lingkar Luar Jakarta I (JORR I) dan dalam kota.
Gubernur DKI Jakarta periode 1997-2007 Sutiyoso yang mempunyai gagasan ini. Entah karena apa, gagasan proyek itu kemudian tidak terdengar lagi.
Bertahun kemudian, pada 2013, proyek itu disuarakan kembali oleh Joko Widodo (Jokowi) yang kala itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Saat itu, Jokowi menjelaskan terowongan tersebut bisa juga berfungsi untuk kabel telepon, kabel gas, dan kabel listrik. Jokowi berpendapat deep tunnel dibangun dalam tempo 4 tahun lebih.
"Selain mengatasi kemacetan, ini juga mengatasi banjir, ini yang disebut terowongan multifungsi," kata Jokowi kala itu, di Gedung Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta.
Terowongan itu akan dibangun pada kedalaman 40 hingga 60 meter. Setidaknya ada 3 tingkat. Sesuai namanya, multi guna, terowongan ini bisa dimanfaatkan untuk beberapa fungsi. Di dasar akan digunakan sebagai saluran air. Sementara 2 dek di atasnya bisa difungsikan sebagai jalan.
Terowongan ini rencananya akan dibangun sepanjang 22 kilometer dan diameter 12-16 meter. Di situ juga akan dibangun pompa air sebanyak 50 buah. Terowongan tersebut diharapkan dapat mengalirkan banjir 200 meter kubik per detik. Dari total panjang terowongan tersebut, sepanjang 18 km akan dijadikan jalan tol.
Menteri Pekerjaan Umum (PU) saat itu, Djoko Kirmanto optimistis proyek ini dapat direalisasikan. Ia menyebut, di negara-negara lain konsep terowongan multiguna ini sudah diterapkan. Contohnya seperti Malaysia, Amerika dan Jepang.
Proyek deep tunnel kemudian dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2013-2017.
Terowongan yang digambarkan akan membentang sepanjang 23 kilometer (km) ini hanya akan ada 2 pintu keluar masuk kendaraan, yakni di Balai Kambang Condet Jakarta Timur dan di Tanjung Priok Jakarta Utara.
Sayangnya, pada 2015 wacana proyek tersebut hilang tak terdengar.
Deputi Menteri Koodinator Bidang Perekonomian bidang Infrastruktur Lucky Eko Wuryanto kala itu menyebut proyek tersebut tidak layak secara finansial dan tidak akan begitu efektif mengatasi curah hujan yang tinggi di Jakarta dalam musim tertentu.
"Itu sih sebetulnya investasinya mahal. Kontribusinya untuk pengendalian banjir nggak banyak. Cuma bisa 5% sampai 10%," ungkap Lucky ketika itu.
Pada waktu itu, proyek raksasa diperkirakan membutuhkan dana Rp 26 triliun. Pemda DKI Jakarta sempat menghitung sanggup membiayai 70% atau Rp 18,2 triliun dari total proyek.
Lucky menuturkan bila proyek terowongan 'raksasa' memiliki efek yang masif atau tak hanya terpusat di satu daerah saja, maka proyek tersebut bisa layak dikerjakan.
"Lain misalnya kalau bisa mengendalikan banjir 50%, dan tidak di satu area saja. Kalau itu (deep tunnel) kelihatannya begitu (tidak feasible)," lanjutnya.
Menurut Lucky membangun proyek yang mahal namun tidak sebanding efeknya maka proyek itu bisa disebut tak layak. Lucky lebih memilih membangun proyek yang mahal namun sepadan dengan efek yang ditimbulkan seperti rencana Giant Sea Wall atau NCICD yang sudah menjadi program pemerintah pusat dan daerah.
Direktur Jenderal Sumber Daya Air (SDA) Kementerian PUPR Hari Suprayogi ketika disinggung soal proyek itu, menjawab bahwa proyek itu hanyalah wacana.
"Deep tunnel nggak ada rencana. Itu hanya wacana yang datangnya bukan dari PUPR," jelas Hari, Minggu (5/1).
Menurutnya usulan tersebut hanya sebatas kajian. Sehingga, tak ada realisasi.
"Nggak (diteruskan). Itu usulan untuk dikaji saja," lanjut Hari.(rmol)