Kisah Nabi Ismail A.S

Ridhmedia
24/09/13, 18:18 WIB
Nabi Ismail yakni putra Nabi Ibrahim dengan istrinya, Siti Hajar. Siti hajar berasal dari budak kecil Raja Mesir yang diberikan kepada Siti Sarah, dan setelah besar kemudian dijadikan istri oleh Nabi Ibrahim. Dari istrinya inilah Nabi Ibrahim memperoleh anak yang berjulukan Ismail. Adapun istrinya yang pertama, yaitu Siti Sarah, sedari muda sudah mandul (tidak memiliki anak) dan alasannya yakni ia ingin sekali memiliki keturunan, maka setelah usianya sudah agak lanjut, barulah ia dikaruniahi Allah seorang anak pria yang bernama Ishak. Rupanya Siti Sarah kurang senang apabila selalu berdekatan dengan madunya, menyerupai halnya tabiat perempuan pada umumnya, apalagi madunya itu sudah memiliki anak, sedangkan ia sendiri masih belum.
Kemudian Nabi Ibrahim membawa pindah istrinya (Siti Hajar) bersama bayinya, Ismail ke negeri Mekah yang pada ketika itu masih berupa lautan padang pasir yang belum ada seorang insan pun disana. Seperti diceritakan dalam Al-Qur’an: surah Ibrahim ayat, 37:
“Hai Tuhan kami! Sesungguhnya kami telah menempatkan anak keturunan kami di lembah yang tidak ada flora sama sekali (Mekah) pada kawasan rumah-Mu (Ka’bah) yang terhormat. Hai Tuhan kami! Semoga mereka tetap mendirikan salat. Hendaklah Engkau jadikan hati insan rindu kepada mereka. Berilah mereka rezeki yang berupa buah-buahan, mudah-mudahan mereka mengucapkan syukur kepada Tuhan.”
Nabi Ibrahim kembali ke Negeri Syam. Ketika Siti Hajar telah kehabisan air, ia merasa sangat haus, alasannya yakni itu air susunya terasa berkurang, dan bayinya (Ismail) ikut menderita alasannya yakni kekurangan air susu.
Siti Hajar mencari air kemana-mana, mondar mandir antara bukit Sofa dan Bukit Marwa, kalau- bila ada air di situ. Perbuatan Siti Hajar ini hingga kini dijadikan sebagian dari rukun “Ibadah haji” yang dinamakan Sa’i (pulang balik antara Sofa dan Marwa) sebanyak tujuh kali, dengan membacakan nama kebesaran Allah, mensucikan dan mengagungkan Allah.
 Siti hajar berasal dari budak kecil Raja Mesir yang diberikan kepada Siti Sarah Kisah Nabi Ismail a.sTak usang kemudian Siti Hajar mendengar bunyi (suara Jibril) yang membawa dan memperlihatkan Siti Hajar ke suatu tempat, dan disana di hentakkan kakinya ke bumi, maka terpancarlah mata air yang sangat jernih dari dalamnya. Maka dengan segera Siti Hajar mengambil air itu untuk memberi minum anaknya.. mata air itu semula meluap kemana-mana, kemudian Malaikat berkata, “Zamzam” artinya, berkumpullah.” Maka, mata air itu pun berkumpul, dan hingga kini mata air itu dinamakan sebagai Air Zam zam. Berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, air zamzam itu tidak pernah kering hingga kini walau pun dipergunakan oleh sangat banyak insan yang mengambilnya.
Pada suatu hari lewatlah di sana serombongan orang Arab Jurhum, yang kebetulan mereka sangat memerlukan air, mereka sudah mencari kesana kemari, tapi belum menemukannya
Tiba-tiba terlihat oleh mereka burung-burung yang sedang berterbangan di atas suatu bukit, biasanya ini suatu mengambarkan bahwa disana ada mata air. Karena burung itu biasanya senang terbang di atas mata air. Maka pergilah mereka ke sana, dan ternyata benar disana ada mata air, yang disana ada Siti Hajar dan Bayinya, Ismail. Karena kebaikan hati Siti Hajar kepada mereka dengan memberi air zamzam itu sekehendak yang mereka butuhkan, sehingga mereka tertarik hatinya untuk tinggal di sana bersama Siti Hajar.
Atas kebaikan hati Siti Hajar pula, maka rombongan orang Arab Jurhum itu menawarkan sebagian barang dagangannya kepada Siti Hajar, sehingga Siti Hajar merasa senang dan senang hidupnya di sana. Lama-kelamaan, bertambahlah penduduknya dan jadilah suatu desa yang kondusif tentram serta subur dan makmur.
Setelah Ibrahim kembali ke Mekah untuk menemui istri dan anaknya, alangkah terkejutnya dia melihat kawasan itu sudah menjadi sebuah desa yang subur dan makmur, dan meliahat Siti Hajar hidup senang dan senang alasannya yakni hidupnya berkecukupan. Siti Hajar menceritakan semua insiden yang dialaminya kepada suaminya. Nabi Ibrahim memuji kebesaran Allah, yang telah mengabulkan doanya yang lalu.

Mendirikan Ka’bah

Pada suatu hari Nabi Ibrahim menerima perintah untuk mendirikan Ka’bah di bersahabat telaga Zamzam. Hal itu diberitahukan kepada anaknya Ismail. Maka keduanya setuju untuk membangun rumah Allah yang akan dipakai untuk beribadah.
Mereka membangun Ka’bah tersebut dengan tangan-tangan mereka sendiri. Mengangkut kerikil dan pasir serta bahan-bahan lainnya dengan tenaga yang ada padanya. Setiap simpulan bekerja  Nabi Ibrahim bersama anaknya, Ismail, keduanya berdoa, “Ya Tuhan! Terimalah kerja kami ini, sungguh Engkau maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”
“Ya Tuhan! Jadikanlah kami dan keturunan kami umat yang menyerahkan diri kepada-Mu, dan perlihatkanlah kepada kami, Ibadah kami, dan beri tobatlah kami, bahwasanya Tuhan Maha Pemberi Tobat dan amat Pengasih.”
Pada ketika membangun rumah suci itu, Ibrahim dan Ismail meletakkan sebuah Batu Besar berwarna Hitam mengkilat. Sebelum meletakkan kerikil itu diciumnya sambil mengelilingi bangunan Ka’bah. Batu tersebut hingga kini masih ada, itulahHajar Aswad. Setelah bangunan itu selesai, Allah mengajarkan kepada Nabi Ibrahim dan Ismail tata cara beribadah menyembah Allah.
Tata cara beribadah yang diajarkan kepada Nabi Ibrahim dan Ismail inilah yang juga diajarkan kepada Nabi-nabi dan Rasul yang sesudahnya hingga kepada Nabi Muhammad SAW.
“Ya Tuhan, bangkitkanlah seorang utusan dari mereka itu yang mengajarkan ayat  dan kitab serta segala pesan yang tersirat dan yang akan membersihkan dari dosa-dosa, Engkaulah Tuhan Yang Maha Mulia lagi Perkasa.”

Nabi Ismail, Cermin Anak yang Patuh

Pada suatu hari Nabi Ibrahim bermimpi diperintah Tuhan untuk menyembelih anaknya (Ismail). Maka Nabi Ibrahim bermusyawarah dengan anak-istrinya (Siti Hajar dan Ismail), bagaimana pendapat keduanya wacana mimpinya itu. Siti Hajar berkata, “Barangkali mimpi itu hanya permainan tidur belaka, maka janganlah engkau melakukannya, akan tetapi apabila mimpi itu merupakan wahyu Tuhan yang harus di taati, maka saya berserah diri kepada-Nya yang sangat pengasih dan Penyayang terhadap hambanya.”
Ismail berkata, “Ayahku! Apabila ini merupakan wahyu yang harus kita taati, maka saya rela untuk disembelih.”
Ketiga orang anak beranak itu sudah nrimo melaksanakan perintah Tuhannya, maka keesokan harinya dilaksanakan perintah itu.
Selanjutnya Ismail seruan kepada ayahnya, Ibrahim: “Sebaiknya saya disembelih dengan keadaan menelungkup, tapi mata ayah hendaklah di tutup, kemudian ayah harus sanggup mengira-ngira arah mana pedang yang tajam itu ayah pukulkan, biar sempurna pada leher saya.”
Maka Nabi Ibrahim melaksanakan seruan anaknya itu, dia mengucapkan kalimat atas nama Allah, seraya memancungkan pedangnya yang tajam itu ke leher anaknya.

Komentar

Tampilkan

Terkini