Sultan Salim I Penyelamat Daulah Utsmaniyah
Oleh: Zainal Mutaqin
KAGUM dan rindu, itulah perasaan yang saya ketika membaca sekilas sembilan tahun kepemimpinan seorang Sultan Salim I, cucu penakluk Konstatinopel Muhammad Al-Fatih yang menghabiskan waktunya di atas kuda mengembalikan Negara-Negara Islam yang direbut Pasukan Salib dan dari pasukan Syiah Safawiyah dikala kepemimpinan bapaknya Sultan Bayazid sedang lemah.
Keadaan genting ini diperparah oleh kerjasama Daulah Safawiyah yang berhaluan Syiah yang dipimpin Ismail as Safawi dengan kerajaan Katolik dan Alfonso de Albuquerque pemimpin pasukan maritim Portugal untuk menghilangkan Daulah Utsmaniyah dari peta dunia sesudah jatuhnya Islam di Andalusia dan rencana jahat mereka untuk menggali makam RasulullahShalallahu ‘Alaihi Wassallam.
Tahun 913 H/1507 M Ismail As Safawi menginvasi kerajaan kecil Dzil Qadariyah yang ada dibawah Turki Utsmani lantaran ketamakannya dan dendam karena lamarannya untuk putri Raja Dzil Qadariyah Bozkort Beik ditolak. Di kota itu Ia menghancurkan kuburan ulama-ulama Sunni dan aben sisa tulang belulangnya.
Kemarahan Salim I memuncak ketika mengetahui kejahatan Ismail As Safawi itu. Ia menyiapkan 100.000 tentara yang eksklusif ia pimpin sendiri ditemani anaknya yang masih berusia 12 tahun Sulaiman Al-Qanuni menuju ibu kota Daulah safawiyah Tabriz, meskipun tanpa restu dari bapaknya Sultan Bayazid dan penasihat istana.
Penyebabnya kehawatiran Sultan Bayazid akan jarak yang jauh, matahari yang terik, dan musuh yang penuh tipu muslihat. Namun Sultan Salim muda tidak bergeming, ia berangkat dengan pasukannya.
Mengetahui Pasukan Turki Utsmani telah bergerak dengan 100.000 tentaranya, Ismail As Safawi –seperti huruf penganut Safawi licik– aben pepohonan yang menyediakan materi makanan yang tumbuh di sepanjang jalan yang dilalui pasukan Sultan Salim I supaya pasukan muslimin kelelahan dan kelaparan sebelum perang. Mereka kemudian melaksanakan manuver-manuver lainnya dari banyak sekali arah mengulur waktu untuk menghabiskan energi pasukan Islam.
Maka sempurna pada tanggal 2 Rajab 920 H/23 Agustus 1514 M. Sekali lagi ingat baik-baik tanggal dan tahun ini. Inilah peristiwa Perang Chaldiran (Battle of Chaldiran), peperangan pasukan Muslimin dengan pasukan Syiah Safawiyah.
Peperangan yang tidak seimbang ini demenangi oleh pasukan Sultan Salim I, pasukan Syiah Safawiyah terdesak, tercerai-berai, dan melarikan diri, termasuk pemimpin mereka Ismail as Safawi, sesudah kaki dan tangannya terluka ia mengganti baju dengan pakaian tentaranya untuk mengelabui pasukan muslim sehingga selamat dari kematian.
Dengan lantunan takbir, lembah Chaldiran menjadi saksi sujud syukur Sultan Salim I atas santunan Allah Subhanahu Wata’ala.
Belum berair darah yang melekat di pakaian pasukan Muslimin , mereka melanjutkan perjalanan ke Kota Tabriz yang merupakan Ibu Kota Daulah Safawiyah dimana Ismail as Safawi melarikan diri kesana. Begitulah huruf Sultan Salim I yang tak kenal kata “lelah” dalam kamus hidupnya.
Amanah memimpin kaum Muslimin selama 9 tahun ia habiskan diatas kuda menyelamatkan Negara-Negara Islam yang terjajah baik oleh Syiah atau pasukan Katolik dengan membawa putra mahkota yang masih belia usia 12 tahun yang nantinya mewarisi tahta selama 46 tahun dengan segudang jasanya untuk umat Islam.
Mengetahui kedatangan pasukan Sultan Salim I, Ismail As Safawi melarikan diri lantaran takut kepalanya dipenggal meninggalkan istri- istri dan anak-anaknya di belakangnya. Bersembunyi di sebuah kota berjulukan Khoy.
Tepat hari Jum’at, 8 Tajab tahun 920 H, pasukan Muslimin menguasai Kota Tabriz. Adzan dilantunkan dan sholat Jum’at pertama kali dilaksanakan sesudah Syiah menghapus ritual wajib itu dari masyarakat Sunni di sana.
Setelah itu ia tidak pernah istirahat, selalu ada di atas kudanya selama sembilan tahun dari satu perang ke perang lainnya untuk menyatuka kembali negeri- negeri Islam yang tercerai berai dan dari rencana anyir kaum Safawiyah yang bekerja sama dengan pasukan Katolik Eropa untuk menggali dan memindahkan makam RasulullahShalallahu ‘Alaihi Wassallam. Tidak heran jika sejarawan menyebutnya sebagai penyelamat Daulah Utsmaniyah.
Allah menghendaki lain, ketika badan sang pemberani itu dihinggapi penyakit disebabkan kelelahan lantaran terlalu banyak melaksanakan perjalanan, jihad dan terik matahari. Sudah saatnya ia turun dari kudanya dan mereguk manisnya akibat dari yang maha kuasa atas perjuangannya.
Maka sempurna tanggal 9 Syawal 926 H, penyelamat kubur Rasulullah Shalallahu ‘Alahi Wassalam ini menemui Sang Khaliq dengan menghadiahkan anaknya Sulaiman Al-Qanuni untuk umat Islam yang telah ia asuh dalam perjalanan yang panjang di atas punggung kudanya, wacana betapa pentingnya Islam dan Muslimin.
Semoga Allah Subhanahu Wata’ala senantiasa merahmatimu wahai Sultan Salim I. Semoga kisahmua menjadi contoh bagi kita generasi yang lemah ini. Amin.*
Penulis anggota MIUMI Batam. Sumber sebagian ringkasan Kisah Sultan Salim I 100, Min Udzamil Islam
Sumber: hidayatullah.com