Biografi Imam Syafii

Ridhmedia
28/06/16, 15:34 WIB
Di kampung miskin di kota Ghazzah (orang Barat menyebutnya Gaza ) di bumi Palestina, pada th. 150 H (bertepatan dengan th. 694 M) lahirlah seorang bayi lelaki dari pasangan suami istri yang berbahagia, Idris bin Abbas Asy-Syafi`ie dengan seorang perempuan dari suku Azad. Bayi lelaki keturunan Quraisy ini jadinya dinamai Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie . Demikian nama lengkapnya sang bayi itu. Namun kebahagiaan keluarga miskin ini dengan kelahiran bayi tersebut tidaklah berlangsung lama. Karena beberapa ketika setelah kelahiran itu, terjadilah insiden menyedihkan, yaitu ayah sang bayi meninggal dunia dalam usia yang masih muda. Bayi lelaki yang rupawan itu pun jadinya hidup sebagai anak yatim.
Sang ibu sangat mencintai bayinya, sehingga anak yatim Quraisy itu tumbuh sebagai bayi yang sehat. Maka ketika ia telah berusia dua tahun, dibawalah oleh ibunya ke Makkah untuk tinggal di tengah keluarga ayahnya di kampung Bani Mutthalib. Karena anak yatim ini, dari sisi nasab ayahnya, berasal dari keturunan seorang Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang berjulukan Syafi’ bin As-Sa’ib. Dan As-Sa’ib ayahnya Syafi’, sempat tertawan dalam perang Badr sebagai seorang musyrik kemudian As-Sa’ib menebus dirinya dengan uang jaminan untuk mendapat status pembebasan dari tawanan Muslimin. Dan setelah dia dibebaskan, iapun masuk Islam di tangan Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Maka nasab bayi yatim ini secara lengkap ialah sebagai berikut:
Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan.
Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, ialah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , berjulukan Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak berjulukan As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga populer dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat bersahabat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan alasannya Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, ialah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda:
“Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil dia menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 - 66).
Di lingkungan Bani Al-Mutthalib, dia tumbuh menjadi anak lelaki yang penuh vitalitas. Di usia kanak-kanaknya, dia sibuk dengan latihan memanah sehingga di kalangan teman sebayanya, dia amat jitu memanah. Bahkan dari sepuluh anak panah yang dilemparkannya, sepuluh yang kena sasaran, sehingga dia populer sebagai anak muda yang jago memanah.
Demikian terus kesibukannya dalam panah memanah sehingga ada spesialis kedokteran medis waktu itu yang menasehatinya. Dokter itu menyatakan kepadanya: “Bila engkau terus menerus demikian, maka sangat dikuatirkan akan terkena penyakit luka pada paru-parumu alasannya engkau terlalu banyak bangun di bawah panas terik mata hari.” Maka mulailah anak yatim ini mengurangi acara panah memanah dan mengisi waktu dengan berguru bahasa Arab dan menekuni bait-bait sya’ir Arab sehingga dalam sekejab, anak muda dari Quraisy ini menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya dalam usia kanak-kanak. Di samping itu dia juga menghafal Al-Qur’an, sehingga pada usia tujuh tahun telah menghafal di luar kepala Al-Qur’an keseluruhannya.
Demi ia mencicipi manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini berguru fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, menyerupai Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian dia juga berguru dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga berguru dari pamannya yang berjulukan Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di banyak sekali halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.
Ia pun demi kehausan ilmu, jadinya berangkat dari Makkah menuju Al-Madinah An Nabawiyah guna berguru di halaqah Imam Malik bin Anas di sana. Di majelis dia ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya menciptakan Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang populer berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, pasti akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga dia menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila tiba Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga dia menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”
Dari banyak sekali pernyataan dia di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling dia kagumi ialah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, cowok ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, menyerupai Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Beliau banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru dia yang disebutkan terakhir ini ialah pendusta dalam meriwayatkan hadits, mempunyai pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan banyak sekali kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika cowok Quraisy ini telah populer dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di janjkematian beliau, dia tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam banyak sekali periwayatan ilmu.
Ketika Muhammad bin Idris As-Syafi’i Al-Mutthalibi Al-Qurasyi telah berusia dua puluh tahun, dia sudah mempunyai kedudukan yang tinggi di kalangan Ulama’ di jamannya dalam berfatwa dan banyak sekali ilmu yang berkisar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tetapi dia tidak mau berpuas diri dengan ilmu yang dicapainya. Maka beliaupun berangkat menuju negeri Yaman demi menyerap ilmu dari para Ulama’nya.
Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh dia ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, dia melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini dia banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, spesialis fiqih di negeri Iraq. Juga dia mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sejak di kota Baghdad, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie mulai dikerumuni para muridnya dan mulai menulis banyak sekali keterangan agama. Juga dia mulai membantah beberapa keterangan para Imam jago fiqih, dalam rangka mengikuti sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Kitab fiqih dan Ushul Fiqih pun mulai ditulisnya. Popularitas dia di dunia Islam yang semakin luas menyebabkan banyak orang semakin kagum dengan ilmunya sehingga orang pun berbondong-bondong mendatangi majelis ilmu dia untuk menimba ilmu. Tersebutlah tokoh-tokoh ilmu agama ini yang mendatangi majelis dia untuk menimba ilmu padanya menyerupai Abu Bakr Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi (beliau ini ialah salah seorang guru Al-Imam Al-Bukhari), Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam, Ahmad bin Hanbal (yang kemudian populer dengan nama Imam Hanbali), Sulaiman bin Dawud Al-Hasyimi, Abu Ya’qub Yusuf Al-Buaithi, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi, Harmalah bin Yahya, Musa bin Abil Jarud Al-Makki, Abdul Aziz bin Yahya Al-Kinani Al-Makki (pengarang kitab Al-Haidah ), Husain bin Ali Al-Karabisi (beliau ini sempat di tahdzir oleh Imam Ahmad alasannya beropini bahwa lafadh orang yang membaca Al-Qur’an ialah makhluq), Ibrahim bin Al-Mundzir Al-Hizami, Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani, Ahmad bin Muhammad Al-Azraqi, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh ilmu yang lainnya. Dari murid-murid dia di Baghdad, yang paling populer sangat mengagumi dia ialah Imam Ahmad bin Hanbal atau populer dengan gelar Imam Hanbali.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Mizzi dengan sanadnya bersambung kepada Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (putra Imam Hanbali). Beliau menceritakan: “Aku pernah bertanya kepada ayahku: Maka ayahku menjawab: .”
Diriwayatkan pula bahwa Sulaiman bin Al-Asy’ats menyatakan: “Aku melihat bahwa Ahmad bin Hanbal tidaklah condong kepada seorangpun menyerupai condongnya kepada As-Syafi`ie.” Al-Maimuni meriwayatkan bahwa Imam Hanbali menyatakan: “Aku tidak pernah meninggalkan doa kepada Allah di sepertiga terakhir malam untuk enam orang. Salah satunya ialah untuk As-Syafi`ie.”
Diriwayatkan pula oleh Imam Shalih bin Ahmad bin Hanbal (putra Imam Hanbali): “Pernah ayahku berjalan di samping keledai yang ditumpangi Imam Syafi`ie untuk bertanya-tanya ilmu kepadanya. Maka melihat demikian, Yahya bin Ma’ien teman ayahku mengirim orang untuk menegur beliau. Yahya menyatakan kepadanya: . Maka ayah pun menyatakan kepada Yahya: .”
Di samping Imam Hanbali yang sangat mengaguminya, juga diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Tarikh nya dengan sanadnya dari Abu Tsaur. Dia menceritakan: “Abdurrahman bin Mahdi pernah menulis surat kepada As-Syafi`ie, dan waktu itu As-Syafi`ie masih muda belia. Dalam surat itu Abdurrahman meminta kepadanya untuk menuliskan untuknya sebuah kitab yang terdapat padanya makna-makna Al Qur’an, dan juga mengumpulkan banyak sekali macam tingkatan hadits, keterangan ihwal kedudukan ijma’ (kesepakatan Ulama’) sebagai hujjah / dalil, keterangan aturan yang nasikh (yakni aturan yang menghapus aturan lainnya) dan aturan yang mansukh (yakni aturan yang telah dihapus oleh aturan yang lainnya), baik yang ada di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Maka As-Syafi`ie muda menuliskan untuknya kitab Ar-Risalah dan kemudian dikirimkan kepada Abdurrahman bin Mahdi.
Begitu membaca kitab Ar-Risalah ini, Abdurrahman menjadi sangat kagum dan sangat senang kepada As-Syafi`ie sehingga dia menyatakan: “Setiap saya shalat, saya selalu mendoakan As-Syafi`ie.” Kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi`ie jadinya menjadi kitab referensi utama bagi para Ulama’ dalam ilmu Ushul Fiqih hingga hari ini. Pujian para Ulama’ dan kekaguman mereka bukan saja tiba dari orang-orang yang seangkatan dengan dia dalam ilmu, akan tetapi tiba pula kebanggaan itu dari para Ulama’ yang menjadi guru beliau.
Antara lain ialah Sufyan bin Uyainah, salah seorang guru dia yang sangat dikaguminya. Sebaliknya Sufyan pun sangat mengagumi Imam As-Syafi`ie, hingga diceritakan oleh Suwaid bin Saied sebagai berikut: “Aku pernah duduk di majelis ilmunya Sufyan bin Uyainah.
As-Syafi`ie tiba ke majelis itu, masuk sembari mengucapkan salam dan eksklusif duduk untuk mendengarkan Sufyan yang sedang memberikan ilmu. Waktu itu Sufyan sedang membaca sebuah hadits yang sangat menyentuh hati. Betapa lembutnya hati dia ketika mendengar hadits itu menyebabkan As-Syafi`ie mendadak pingsan.
Orang-orang di majelis itu menyangka bahwa As-Syafi`ie meninggal dunia sehingga insiden ini dilaporkan kepada Sufyan: . Maka Sufyan pun menyatakan: .”
Demikian kebanggaan para Ulama’ yang sebagiannya kami nukilkan dalam goresan pena ini untuk menggambarkan kepada para pembaca sekalian betapa dia sangat tinggi kedudukannya di kalangan para Ulama yang sejaman dengannya. Apalagi tentunya para ulama’ yang sesudahnya.
Imam As-Syafi`ie tinggal di Baghdad hanya dua tahun. Setelah itu dia pindah ke Mesir dan tinggal di sana hingga dia wafat pada th. 204 H dan usia dia ketika wafat 54 th. Beliau telah meninggalkan warisan yang tak ternilai, yaitu ilmu yang dia tulis di kitab Ar-Risalah dalam ilmu Ushul Fiqih. Di samping itu dia juga menulis kitab Musnad As-Syafi`ie , berupa kumpulan hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang diriwayatkan oleh beliau; dan kitab Al-Um berupa kumpulan keterangan dia dalam problem fiqih. Sebagaimana Al-Um , kumpulan riwayat keterangan Imam As Syafi`ie dalam fiqih juga disusun oleh Al-Imam Al-Baihaqi dan diberi nama Ma’rifatul Aatsar was Sunan . Al-Imam Abu Nu’aim Al-Asfahani membawakan beberapa riwayat nasehat dan pernyataan Imam As-Syafi`ie dalam banyak sekali problem yang memperlihatkan pendirian Imam As-Syafi`ie dalam memahami agama ini. Beberapa riwayat Abu Nu’aim tersebut kami nukilkan sebagai berikut :
Imam As-Syafi`ie menyatakan: “Bila saya melihat Ahli Hadits, seakan saya melihat seorang dari Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 109)
Ini memperlihatkan betapa tinggi penghargaan dia kepada para Ahli Hadits.
Imam As-Syafi`ie menyatakan: “Sungguh seandainya seseorang itu ditimpa dengan banyak sekali amalan yang tidak boleh oleh Allah selain dosa syirik, lebih baik baginya daripada dia mempelajari ilmu kalam.” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 111)
Beliau menyatakan juga: “Seandainya insan itu mengerti ancaman yang ada dalam Ilmu Kalam dan hawa nafsu, pasti dia akan lari daripadanya menyerupai dia lari dari macan.”
Ini memperlihatkan betapa anti patinya dia terhadap Ilmu Kalam, suatu ilmu yang membahas perkara Tauhid dengan metode pembahasan ilmu filsafat.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman bahwa dia menyatakan: Aku mendengar As-Syafi`ie berkata:
“Barangsiapa menyampaikan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir.” ((HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 113)
Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim Al-Asfahani bahwa Al-Imam As-Syafi`ie telah mengkafirkan seorang tokoh jago Ilmu Kalam yang populer dengan nama Hafs Al-Fardi, alasannya dia menyatakan di hadapan dia bahwa Al-Qur’an itu ialah makhluk. Demikian tegas Imam As-Syafi`ie dalam menilai mereka yang menyampaikan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Dan memang para Ulama’ Ahlis Sunnah wal Jama’ah telah setuju untuk mengkafirkan siapa yang meyakini bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
Al-Imam Adz-Dzahabi meriwayatkan pula dengan sanadnya dari Al-Buwaithie yang menyatakan: “Aku bertanya kepada As-Syafi`ie: Maka dia pun menjawabnya: . Akupun bertanya lagi kepada beliau: Maka dia pun menjawab: .”
Demikian Imam As-Syafi`i mengajarkan perilaku terhadap Ahlil Bid’ah menyerupai yang disebutkan misalnya dalam pernyataan beliau, yaitu orang-orang yang mengikuti anutan Rafidlah yang di Indonesia sering dinamakan Syi’ah. Aliran Syiah populer dengan perilaku kebencian mereka kepada para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , khususnya Abu Bakar dan Umar. Di samping Rafidlah, masih ada anutan bid’ah lainnya menyerupai Qadariyah yaitu anutan pemahaman yang menolak beriman kepada rukun kepercayaan yang keenam (yaitu keimanan kepada adanya taqdir Allah Ta`ala). Juga anutan Murji’ah yang menyatakan bahwa kepercayaan itu hanya keyakinan yang ada di hati dan amalan itu tidak termasuk dari iman. Murji’ah juga menyatakan bahwa kepercayaan itu tidak bertambah dengan perbuatan ketaatan kepada Allah dan tidak pula berkurang dengan kemaksiatan kepada Allah. Semua ini ialah pemikiran sesat, yang menjadi alasan bagi Imam As-Syafi`ie untuk melarang orang shalat di belakang imam yang berpandangan dengan salah satu dari pemikiran-pemikiran sesat ini.
Imam As-Syafi`ie juga amat keras menganjurkan ummat Islam untuk jangan ber taqlid (yakni mengikut dengan membabi buta) kepada seseorang pun sehingga meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah ketika pendapat orang yang diikutinya itu menyelisihi pendapat keduanya.
Hal ini dinyatakan oleh dia dalam beberapa pesan sebagai berikut:
Al-Hafidh Abu Nu`aim Al-Asfahani meriwayatkan dalam Hilyah nya dengan sanad yang shahih riwayat Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, katanya: “Ayahku telah menceritakan kepadaku bahwa Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie berkata:.”
Demikianlah para Ulama’ bersikap tawadlu’ sebagai kepribadian utama mereka. Sehingga tidak menjadi problem bagi mereka kalau guru mengambil manfaat dari muridnya dan muridnya yang diambil manfaat oleh gurunya tidak pula kemudian menjadi congkak dengannya. Tetap saja sang murid mengakui dan mengambil manfaat dari gurunya, meskipun sang guru mengakui di depan umum ihwal ketinggian ilmu si murid. Guru-guru utama Imam Asy Syafi`ie, Imam Malik dan Imam Sufyan bin Uyainah, dengan terang-terangan mengakui keutamaan ilmu As-Syafi`ie. Bahkan Imam Sufyan bin Uyainah banyak bertanya kepada Imam Asy-Syafi`ie ketika Imam Syafi’ie ada di majelisnya. Padahal Imam Asy-Syafi`ie duduk di majelis itu sebagai salah satu murid beliau, dan bersama para hadirin yang lainnya, mereka selalu mengerumuni Imam Sufyan untuk menimba ilmu daripadanya. Tetapi meskipun demikian, Imam Syafi`ie tidak terpengaruh oleh sanjungan gurunya. Beliau tetap mendatangi majelis gurunya dan memuliakannya. Di samping itu, hal yang amat penting pula dari pernyataan Imam Asy-Syafi`ie kepada Imam Ahmad bin Hanbal tersebut di atas, memperlihatkan kepada kita betapa kuatnya semangat dia dalam merujuk kepada hadits shahih untuk menjadi pegangan dalam bermadzhab, dari manapun hadits shahih itu berasal.
Imam Asy-Syafi`ie menyatakan pula: “Semua hadits yang dari Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam maka itu ialah sebagai omonganku. Walaupun kalian tidak mendengarnya dariku.”
Demikian dia memperlihatkan patokan kepada para murid beliau, bahwa hadits shahih itu ialah dalil yang sah bagi segala pendapat dalam agama ini. Maka pendapat dari siapapun kalau menyelisihi hadits yang shahih, tentu tidak akan sanggup menggugurkan hadits shahih itu. Bahkan sebaliknya, pendapat yang demikianlah yang harus digugurkan dengan adanya hadits shahih yang menyelisihinya.
P e n u t u p :
Masih banyak mutiara pesan yang tersirat yang ingin kami tuangkan dalam goresan pena ini dari peri hidup Imam Asy-Syafi`ie. Namun dalam kesempatan ini, rasanya tidak cukup halaman yang tersedia untuk memuat segala kemilau mutiara pesan yang tersirat peri hidup dia itu. Bahkan telah ditulis oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah wal Jamaah kitab-kitab tebal yang berisi untaian mutiara pesan yang tersirat peri hidup Imam besar ini. Seperti Al-Imam Al-Baihaqi menulis kitab Manaqibus Syafi`ie , juga Ar-Razi menulis kitab dengan judul yang sama. Kemudian Ibnu Abi Hatim menulis kitab berjudul Aadaabus Syaafi’ie . Dan masih banyak lagi yang lainnya. Itu semua memperlihatkan kepada kita, betapa agungnya Imam besar ini di mata para Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Semoga Allah Ta`ala menggabungkan kita di barisan mereka di hari simpulan zaman nanti. Amin ya Mujibas sa’ilin .
Sumber: http://alghuroba.org/
InshoMedia






Komentar

Tampilkan

Terkini