Alkisah pada suatu dikala di sebuah negeri di timur tengah sana. Seorang saudagar yang sangat kaya raya tengah mengadakan perjalanan bersama kafilahnya.
Diantara abu dan bebatuan, derik kereta diselingi dengus kuda terdengar bergantian. Sesekali terdengar lecutan cambuk sais di udara. Tepat di tengah rombongan itu tampaklah laki-laki berjanggut, berkain panjang dan bersorban ditemani seorang anak usia belasan tahun.
Kedua berpakaian indah menawan. Dialah Sang Saudagar bersama anak semata wayang nya. Mereka duduk pada sebuah kereta yang glamor berhiaskan kayu gofir dan permata yaspis. Semerbak harum wangi mur tersebar dimana-mana. Sungguh kereta yang mahal.
Iring-iringan barang, orang dan binatang yang panjang itu berjalan perlahan, dalam kawalan ketat para pengawal. Rombongan itu bergerak terus sampai pada suatu dikala mereka berada di sebuah tanah lapang berpasir.
Bebatuan tampak diletakkan teratur di beberapa tempat. Pemandangan ini menarik bagi sang anak, sehingga ia merasa perlu untuk bertanya pada ayahnya.
“Bapa, mengapa tampak oleh ku bebatuan dengan teratur tersebar di sekitar kawasan ini. Apakah gerangan semua itu ?”.
“Baik pengamatanmu, anakku”, jawab Ayahnya,”bagi orang biasa itu hanyalah batu, tetapi bagi mereka yang mempunyai hikmat, semua itu akan tampak berbeda”.
“Apakah yang dilihat oleh kaum akil cendikia itu, Bapa ?”, tanya anaknya kembali.
“Mereka akan melihat itu sebagai mutiara hikmat yang tersebar, memang hikmat berseru-seru di pinggir jalan, mengundang orang untuk singgah, tetapi sedikit dari kita yang menggubris seruan itu.”.
“Apakah Bapa akan menjelaskan masalah itu padaku?”
“Tentu buah hatiku”, sahut Sang Saudagar sambil mengelus kepala anaknya.
“Dahulu, ketika saya masih belia, hal ini pun menjadi pertanyaan di hatiku. Dan kakekmu, menunjukan masalah yang sama, menyerupai dikala ini saya menjelaskan kepadamu. Pandanglah batu-batu itu dengan seksama.
Di balik watu itu ada sebuah kehidupan. Masing-masing watu yang tampak olehmu sebenarnya
sedang menindih sebuah biji pohon ara.”
“Tidakkah benih pohon ara itu akan mati, alasannya yaitu tertindih watu sebesar itu Bapa?”
“Tidak anakku. Sepintas kemudian memang watu itu tampak sebagai beban yang akan mematikan benih pohon ara.
Tetapi justru watu yang besar itulah yang menciptakan pohon ara itu sanggup bertahan hidup dan berkembang sebesar yang kamu lihat di tepi jalan kemarin”.
“Bilakah hal itu terjadi Bapa ?”
“Batu yang besar itu sengaja diletakkan oleh penanamnya menindih benih pohon ara. Mereka melaksanakan itu sehingga benih itu tersembunyi terhadap hembusan angin dan dari mata segala hewan. Samapai beberapa waktu kemudian benih itu akan berakar, semakin banyak dan semakin kuat.
Walau tidak tampak kehidupan di atas permukaannya, tetapi dibawah, akarnya terus menjalar. Setelah dirasa cukup barulah tunasnya akan muncul perlahan.
Pohon ara itu akan tumbuh semakin besar dan berpengaruh sampai karenanya akan sanggup menggulingkan watu yang menindihnya.
Demikianlah pohon ara itu hidup. Dan hampir di setiap pohon ara akan kamu temui, sebuah batu, seolah menjadi peringatan bahwa watu yang pernah menindih benih pohon ara itu tidak akan membinasakannya.
Selanjutnya benih itu menjadi pohon besar yang bisa menaungi segala mahluk yang berlindung dari terik matahari yang membakar.”
“Apakah itu semua ihwal kehidupan ini Bapa?”, tanya anaknya.
Sang Saudagar menatap anaknya lekat-lekat sambil tersenyum, kemudian meneruskan penjelasannya.
“Benar anakku. Jika suatu dikala engkau di dalam masa-masa hidupmu, mencicipi terhimpit suatu beban yang sangat berat, ingatlah pelajaran ihwal watu dan pohon ara itu.
Segala kesulitan yang menindihmu, bekerjsama merupakan sebuah kesempatan bagimu untuk berakar, semakin kuat, bertumbuh dan karenanya tampil sebagai pemenang.
Camkanlah, belum ada sampai dikala ini benih pohon ara yang tertindih, mati oleh bebatuan itu. Makara kalau benih pohon ara yang demikian kecil saja diberikan kekuatan oleh Sang Khalik untuk sanggup menyingkirkan watu diatasnya, bagaimana dengan kita ini. Dzat Yang Maha
Perkasa itu bahkan sudah menanamkan keilahian-Nya pada diri-diri kita. Dan mengakibatkan kita, insan ini jauh melebihi segala mahluk di muka bumi ini.
Perhatikanlah kata-kata ini anakku. Pahatkan pada loh-loh watu hatimu, sehingga engkau menjadi bijak dan tidak dipermainkan oleh hidup ini. Karena memang kita ditakdirkan menjadi tuan atas hidup kita.”
=====================
Demikianlah semoga bermanfaat untuk kita semua. Amin ya Robbal 'Alamin....