[] Pernyataan Presiden Jokowi untuk periode kedua ini beliau tidak punya beban. Artinya apapun yang akan diperbuat tidak akan menghipnotis terhadap gambaran dan kinerja Jokowi secara pribadi.
Karena sesuai UU, beliau sudah tidak bisa lagi mencalonkan diri sebagai Presiden pada Pemilu 2024. Itu sebabnya dari pihak istana ada pernyataan bahwa Jokowi bisa/akan melaksanakan hal “gila”.
Sebagai pengamat saya oke kalau Jokowi bisa lepas dari “tekanan pendukung” baik koalisi partai, elit Istana yang mengelilingi Jokowi, Konglomerat/9 naga, maupun keinginan/tekanan dari negara lain/RRC. Sehingga Jokowi bisa bertindak “gila” untuk kepentingan bangsa yang mandiri, keberpihakan kepada rakyat, dan kemaslahatan umat.
Mengamati perkembangan yang diawali pernyataan istana, semoga para pembantunya/para menteri untuk tidak lagi mengambil keputusan hingga terbentuknya kabinet baru. Wawancara eksklusif Presiden Jokowi di TV Nasional yang menyatakan silakan mengusulkan nama-nama menteri. Berbisik juga boleh. Tapi jangan ikut ngatur. Keputusan tetap ditangan saya, Jokowi.
Untuk pernyataan yang pertama perihal Menteri tidak lagi mengambil keputusan strategis, digugurkan oleh Rini Soemarno/Menteri BUMN. Rini dengan lancar mengganti Pimpinan BRI, Bank pelat merah, dan akan diikuti direksi lainnya.
Lalu mengenai penyusunan kabinet baru, perlu diingat Pilpres 2019 mengunakan sistem dukungan Presidential Treshold 20 %. Sehingga dicalonkannya Jokowi sebagai capres wajib didukung oleh Partai dan adonan partai.
Seperti kita tahu, koalisi partai pendukung Jokowi termasuk gendut. Dan sesudah Pilpres Jokowi juga “mengajak masuk” pihak kompetitornya Prabowo dengan Partai Gerindra, dan yang “sudah mendekat” lebih dulu yaitu Partai Demokrat. Tentu dengan maksud semoga Pemerintahannya lebih kuat, terutama dukungan kebijakan dan UU di Parlemen.
Pernyataan Jokowi bahwa beliau pemegang hak penuh untuk memilih calon menterinya dipastikan tidak akan bisa mengabaikan partai pendukung dan partai “penambah darah”, lantaran akan berakibat terhadap kelanjutan pemerintahannya ke depan. Perlu juga kita ingat bahwa Jokowi bukan pemilik partai akan tetapi petugas partai.
Dewan Perwakilan Partai
Kembali kepada tindakan “gila” Jokowi, saya kira salah satunya tindakan tersebut yaitu keinginan memindahkan Ibukota Negara yang disampaikan pada ketika pidato 16 Agustus dengan memohon izin. Diikuti dengan pengumuman eksklusif dari Jokowi perihal pemilihan daerah di Kalimantan Timur.
Kenapa saya sebut sebagai salah satu tindakan “gila” Jokowi? Karena memang mengabaikan semua proses demokrasi sesuai konstitusi, beberapa UU mengenai Ibukota dan hak kewenangan memindahkan ibukota. Belum dilakukan prosesnya sebagai payung aturan untuk ulet membangun ibukota gres yang mau dilaksanakan tahun 2020. Proses menampung pendapat para andal sama sekali tidak dilakukan/diabaikan.
Tampaknya Jokowi yakin bahwa semua beres dan simpel diselesaikan. Sehingga bisa dikatakan bahwa Jokowi sangat percaya diri bahwa proses konstitusi yang nantinya dilakukan di parlemen/DPR-RI tidak akan menemukan hambatan sama sekali. Cukup dengan mohon izin, semua nanti akan manut. Karena koalisi pendukung partai jumlahnya sudah lebih setengah plus satu, apalagi ditambah bergabungnya partai kompetitor sebagai penambah darah.
Sebagai pengamat dan pemerhati (mengamati dengan data dan memperhatikan dengan hati), kepercayaan diri Presiden Jokowi bisa saja beralasan. Terbukti belum ada sedikitpun bunyi berbeda dari koalisi partai dan partai calon pendukung baru, yang mempermasalahkan keinginan pindahkan ibukota. Kecuali ada beberapa elit partai menyerupai Fadli Zon yang cukup menyengat mengkritisi rencana tersebut.
Tapi harap diingat bahwa sistem demokrasi di DPR tidaklah menyerupai namanya Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan yang mewakili rakyat. Akan tetapi sistemnya yaitu demokrasi fraksi-fraksi yang mewakili kepentingan partai atau lebih tepatnya Dewan Perwakilan Partai.
Bagaimanapun nurani seorang anggota DPR RI yang dipilih eksklusif oleh rakyat ingin berpihak kepada rakyat atau konstituennya. Tapi tidak bisa. Wajib harus patuh kepada keputusan fraksi/ partainya. Pilihannya hanya dua: nurut atau keluar dari partai. Itulah Demokrasi yang kita anut.
Rakyat harus berani kritik Presiden
Seperti yang telah dijelaskan, tindakan “gila” dari Presiden Jokowi berikutnya menyerupai yang diamati melalui pemberitaan dan ramai dibincangkan yaitu keinginan menaikan iuran BPJS Kesehatan sebanyak dua kali lipat.
Seperti yang telah disampaikan oleh Sri Mulyani, dan minta pemberian Ping An perusahaan dari China (harap diingat bahwa di RRC, pemilik perusahaan yaitu pemerintah alias BUMN China 100%) untuk menuntaskan permasalahan BPJS menyerupai yang disampaikan oleh Luhut Binsar, sang Menko segala bisa.
Sebenarnya banyak cara untuk tidak menaikkan iuran BPJS menyerupai yang diuraikan oleh Ekonom senior Rizal Ramli yang dengan gamblang melalui obrolan di beberapa TV nasional. Juga berbahayanya minta pemberian China untuk memperbaiki BPJS. Malah Rizal Ramli menyatakan bahwa Indonesia menyerupai negara terbelakang, apa-apa minta pemberian negara lain/RRC.
Akan tetapi kritik Dr. Rizal Ramli sebagai tokoh nasional akan sama nasibnya dengan kritik Prof. Dr. Emil Salim, tokoh nasional yang sangat senior dan punya nama baik di NKRI, yang mengkritik kepindahan ibukota secara komprehensif juga diabaikan.
Beberapa hari ini media juga “meributkan” bahwa Pemerintahan Jokowi akan menaikan tarif listrik. Sama dengan BPJS, duduk kasus tarif listrik merupakan hal yang sangat fundamental bagi rakyat, yang kuat eksklusif kepada besaran biaya yang akan mereka tanggung setiap bulannya.
Sebagai pengamat, saya menyimpulkan bahwa rakyat tentu tidak bisa mengantungkan cita-cita hidup mereka sepenuhnya kepada DPR dan elit Partai untuk sementara ini. Rakyat harus maklum partai dan elit partai tetap akan membisu hingga menunggu jatah mereka yang pasti. Berapa jumlah menteri yang mereka dapat, berapa jatah untuk Dubes/wakil Dubes, berapa untuk Direksi/ Komisaris perusahaan BUMN/dan anak/cicit perusahaan BUMN yang mereka dapatkan.
Kalaupun sesudah sanggup jatah mereka juga sulit berbeda pendapat dengan Presiden, sewaktu-waktu bisa diretur dan diganti. Jika demikian Presiden di Indonesia sangat full power. Betul.
Lalu bagaimana kritik rakyat sampai, alias tidak dibelokkan oleh pembisik-pembisik Istana?
Jalan satu-satunya rakyat harus punya keberanian mengkritik Presiden. Ungkapkan perasaan dan derita rakyat perihal kesehatan dan kesulitan hidup secara terbuka. Tulis dan banjiri media umum milik Jokowi, mudah-mudahan tidak di kelola oleh admin official. Di mana yang dirasa tidak penting dan berupa kritik oleh admin akan di-delete atau tidak disampaikan kepada Presiden Jokowi.
Last but not least, berdoa semoga Jokowi masih bisa memakai nurani dan secara “gila” berpihak kepada kepentingan rakyat, mengabaikan imbas kepentingan/bisikan Konglomerasi dan para Kapitalis, serta menolak kepentingan Negara lain. Semoga.
Penulis: Syafril Sjofyan