[] Sebagai sebuah kalimat pembuka "Hukum Sebagai Panglima", tampaknya sudah sangat jadul di negeri ini diera kepemimpinan Jokowi. Ini bukannya abad aturan sebagai panglima, tapi abad dimana "Politik Sebagai Panglima", alasannya yaitu aturan merupakan produk politik elit penguasa dan Parpol pemilik dingklik parlemen.
Rakyat mungkin sudah jenuh dengan banyaknya dramatikal politik di negeri ini, yang dibentuk hanya by design untuk mempertontonkan kekuasaan kelompok yang seringkali mengatasnamakan rakyat, atau dalam bahasa satir sebagai "dagelan politik rezim" yang seringkali menipu dan membohongi rakyat pemilik kuasa di negeri tercinta.
Secara pribadi, saya tidak punya kepentingan apapun terhadap kelompok yang pro dan kontra terhadap revisi UU no 30 tahun 2002 wacana komisi pemberantasan korupsi.
Saya juga bukan penggalan dari kelompok pro taliban maupun polisi india yang ada di KPK?! Seperti banyak narasi yang dibuat, oleh kelompok pro rezim yang menilai KPK disusupi kelompok ideologi radikal.
Fitnah melalui fait a comply di mainkan melalui narasi yang terkesan dangkal dan bodoh, "ketika kelompok Pro Kuruptor" yang ingin mengkebiri KPK menciptakan narasi seolah KPK itu radikal, padahal radikal ditubuh KPK itu dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi, dan bukan terkait faham atau pun ideologi HTI ataupun Khilafah.
Para pendukung tuan presiden semakin masiv dan terus menerus menghujami KPK dengan Rumors, fitnah dan Narasi yang terkesan dipaksakan hanya untuk membodohi publik, dengan opini murahan ala orang yang terkena sindrom islam phobia. Opini murahan yang tidak mendidik ini terus dihembuskan alasannya yaitu banyak ketua umum parpol yang tersandra oleh KPK maupun keluarga presiden yang didera oleh kasus suap pajak beberapa waktu yang lalu.
Mereka (Presiden dan Dpr) tidak jujur dan tidak berani bicara secara gamblang kepada publik jikalau pelemahan terhadap KPK, serta revisi UU No 30 Tahun 2002, merupakan penggalan dari kesepakatan Politik terhadap partai yang telah babak belur mendukung tuan Presiden ketika maju dalam pencalonan Presiden di masa yang lalu, yang beberapa ketua umumnya tersandra kasus aturan di KPK.
Secara langsung saya sangat oke adanya revisi terhadap UU KPK, asal tujuannya untuk memperkuat KPK, bukan malah mengkebiri KPK; dengan menciptakan narasi adanya taliban dan polisi india di forum tersebut. Sebagai forum independen dan terdepan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, memang layak adanya pengawasan dari forum pengawas KPK, sama menyerupai kejaksaan dan kepolisian yang juga diawasi oleh Komisi kejaksaan dan komisi kepolisian.
Lembaga pengawas KPK berdasarkan saya pribadi, sangat diharapkan semoga ada "check and balance" dalam proses aturan yang terjadi di KPK, semoga dalam proses penetapan TSK terhadap seseorang tidak lagi menyerupai kasus RJ, Lino yang menggantung hampir satu periode kepemimpinan KPK jilid IV yang hingga sekarang prosesnya semakin tidak terang pasca penetapan TSK oleh penyidik KPK.
Memperkuat KPK sebagai sebuah forum superbody dalam penanganan tindak pidana korupsi menjadi keharusan, alasannya yaitu amanat reformasi menginginkan pengelolaan negara yang "Clean And Good Govemance". Hanya saja begitu naifnya para pemimpin bangsa ini, yang ingin menyebabkan KPK sebagai alat politik transaksional untuk menyandra kepentingan kelompok tertentu dengan tujuan terselubung.
Banyaknya rumors diluar wacana adanya SOP di internal KPK yang mengkesampingkan KUHAP dan bertentangan dengan HAM, harus dapat di jelaskan kepada publik dengan benar, alasannya yaitu hal tersebut sangatlah mengganggu nalar publik yang ingin pemberantasan korupsi berjalan sesuai semangat reformasi, yang mengedepankan rule of law dan Hak Azasi Manusia.
Kegaduhan yang terjadi terkait revisi UU KPK dan terpilihnya komisioner komisi pemberantasan korupsi yang sudah sesuai pesanan istana dan ketum Parpol bermasalah, harusnya dapat di selesaikan dengan duduk bersama antara para penggiat anti korupsi, kpk, parlemen, presiden dengan ikut melibatkan ketua umum parpol bermasalah. Sebab akar masalahnya yaitu problem aturan menyerupai kasus kardus durian, blbi, century maupun suap jabatan di kementrian agama serta pajak yang diduga menerpa ipar presiden.
Buatlah kesepakatan integritas semoga tidak lagi ada kegaduhan yang menginginkan pengkebirian KPK di masa mendatang, kemudian KPK minta kesepakatan dari presiden sebagai panglima di negara aturan jikalau ada keluarganya yang terindikasi melaksanakan tindak pidana korupsi, maka KPK berhak mengusut kasus tersebut hingga tuntas, mengingat kasus suap pajak makin tidak terang paska hadirnya ipar presiden dalam sidang kesaksian di pengadilan tipikor beberapa waktu lalu.
Kegaduhan Cicak Vs Komodo ini, harus dapat diakhiri alasannya yaitu sudah tidak bagus bagi pendidikan politik warga negara. Pihak istana harus dapat menghentikan narasi yang dibentuk oleh pendukung presiden terkait adanya polisi india Vs Taliban di KPK, alasannya yaitu hampir semua narasi tersebut dibentuk oleh pendukung tuan presiden.
Sebaiknya KPK juga harus mau di koreksi oleh publik dan harus mau diawasi, semoga tidak ada penyimpangan yang terjadi dari proses penyelidikan maupun penyidikan, serta penuntutan yang di lakukan oleh KPK. Sehingga tidak ada kesan KPK sebagai forum super body melaksanakan penegakan aturan yang melanggar hak azasi manusia.
Sebagai pesan penutup, rakyat sudah jenuh dengan kegaduhan yang di buat-buat oleh elit politik di istana maupun dewan legislatif ketika ini. Di ketika melemahnya ekonomi rakyat ketika ini, hanya tinggal menunggu waktu saja meledaknya amarah rakyat kepada para politikus wangi pembuat gaduh di negeri ini. Makara sebaiknya selesaikanlah problem ini dengan baik, untuk mencegah rakyat mengamuk ditengah kesulitan ekonomi.
Waallahul Muafiq illa Aqwa Mithoriq,
Wassallamuallaikum Wr, Wb.
Jakarta, 15 September 2019
Penulis: Pradipa Yoedhanegara