Ekonomi Serta Korupsi, Bukan Radikalisme!

Ridhmedia
29/10/19, 17:27 WIB

Oleh: Edy Mulyadi*

SAYA seharusnya marah kepada Presiden Joko Widodo serta para menterinya. Ada beberapa alasan penting Mengapa saya layak marah kepada mereka. Antara lain, selaku rakyat serta pembayar pajak saya berhak berharap punya Presiden serta menteri yang benar-benar profesional, paham tugas serta fungsinya, serta berintegritas.

Sebagai Presiden, Jokowi tidak membuktikan dirinya seorang profesional. Buktinya, Ia abai terhadap kapasitas serta kapabilitas para pembantunya. Di periode kedua kekuasaannya, Ia masih sahaja memilih orang-orang yang terbukti gagal menjalankan tugasnya. Sri Mulyani, Luhut Binsar Panjaitan, serta Airlangga Hartarto, misalnya. Mereka yakni barisan pejabat publik yang terbukti gagal tapi kembali dipercaya menghela perekonomian, agar negara maju serta rakyat sejahtera.

Mantan pengusaha mebel itu juga mengabaikan aspek integritas yang perlu melekat pada para pembantunya. Dari 34 menteri, ada sembilan yang pernah terseret kasus korupsi. Mereka yakni Airlangga Hartato (Menko Perekonomian), Agus Gumiwang (Menteri Perindustrian), Tito Karnavian (Menteri Dalam Negeri), Luhut Binsar Panjaitan (Menko Maritim serta Investasi), serta Ida Fauziah (Menteri Ketenagakerjaan).

Empat nama lainnya, Yasonna Laoly (Menteri Hukum serta Hak Azasi Manusia), Abdul Halim Iskandar (Menteri  Desa Pembangunan Daerah Tertinggal serta Transmigrasi), Syahrul Yasin Limpo (Menteri Pertanian), serta Zainudin Amali (Menteri Pemuda serta Olah Raga).

Ekonomi Jeblok

Pada tulisan kali ini, saya tidak mau menyentuh aspek hukum yang menyeret sembilan nama tadi pada kasus korupsi. Joko serta para hulubalangnya bakal mudah mengelak, dengan berkata semuanya belum terbukti di pengadilan. Tentu saja, argumen itu benar. Tapi siapa pun tahu, di negeri ini politik bisa mengendalikan serta mempermainkan hukum. Jadi, sudahlah...

Sejatinya, masalah yang kini Indonesia hadapi yakni ekonomi yang jeblok. Pertumbuhan yang macet. Utang yang tembus Rp 5.000 triliun. Terjadi deindustrialiasi yang tidak terbendung. Pengangguran yang membangkak serta lapangan kerja yang entah buat siapa. Kita juga mengalami kemiskinan yang tidak kunjung turun secara berarti. Harga-harga yang terus melambung. Pajak yang mencekik.

Joko sepertinya tahu benar fakta ini. Tapi pada pidato pelantikannya, Ia telanjur mengumbar mimpi, kalau pendapatan rakyat Indonesia bakal mencapai Rp 27 juta per bulan.

Pertanyaanya, apakah Ia tahu kalau agar penduduk berpendapatan Rp 27 juta per bulan pada 2045, itu artinya Indonesia perlu tumbuh 7,5% sampai 8% setiap tahun berturut-turut selama 26 tahun ke depan? Padahal, fakta menunjukkan selama lima tahun terakhir (dan itu artinya, selama pemerintahan Joko periode pertama) ekonomi kita cuma berkutat di angka 5%?

Stigma Radikalisme

Tapi, entah sebab bisikan siapa, Joko kini sibuk mengalihkan perhatian rakyat pada isu radikalisme. Itulah sebabnya, para menterinya rajin menggonggong soal ini di kementerian masing-masing. Dan, yang membuat darah naik ke ubun-ubun, tudingan radikalisme para pejabat publik tersebut diarahkan kepada Islam serta ummat Islam.

Bahkan, Fachrul Razi yang menjadi menteri agama pun mengaku secara khusus mendapat perintah dari mantan Wali Kota Solo itu buat memerangi radikalisme. Razi, misalnya, begitu diangkat langsung proklamasi  kalau Ia bukanlah menteri agama Islam. “Saya yakni Menteri Agama Republik Indonesia. Di dalamnya ada agama-agama lain,” ujarnya kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (23/10).

Tapi anehnya, tidak lama berselang, Ia langsung menebar ancaman kepada para ustaz serta penceramah yang dianggapnya menebar radikalisme serta perpecahan. Pertanyaan mendasar buat Razi, katanya Kalian bukan Menteri Agama (hanya) Islam melainkan juga agama-agama lain, tapi Mengapa tudingan radikalisme serta perpercahan bangsa cuma Kalian tujukan kepada para ustas serta kiai? Bagaimana dengan para pendeta di gereja, biksu di vihara, tokoh agama di pura serta lainnya? Apa menurut Kalian mereka pasti tidak radikal?

Lalu parameter radikal seperti apa? Apakah ustaz yang menyampaikan dalil Qur'an serta Sunnah kepada kaum muslimin masuk kategori radikal?  Bagaimana dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk buat memeluk agamanya masing-masing serta buat beribadat menurut agamanya serta kepercayaannya itu? Apakah ini juga pasal ini termasuk radikal?

Setali tiga uang, Mahfud MD yang diangkat selaku Menko Politik Hukum serta Keamanan pun berkoar seputar memerangi radikalisme. Profesor hukum tata negara ini terbilang rajin menebar stigma negatif kepada Islam serta ummatnya. Bahkan sikap ‘permusuhannya’ kepada agamanya sendiri sudah tampak jauh sebelum diangkat selaku menterinya Joko. Masih ingat dikala Ia mengatakan, Prabowo menang di provinsi-provinsi yang radikal? Narasi yang dikembangkan sesaat usai dilantik menjadi menteri, sama dengan Razi, soal masjid yang Ia stigma menjadi ajang penyebaran kebencian.

Sebetulnya sangat mengherankan, kalau seorang Mahfud yang berlatar balik madrasah serta nahdiyin bisa begitu memusuhi Islam. Itu barangkali  seorang warganet beragama nasrani Sad Ronin @wawat_kurniawan menulis, “pak @mahfudmd kalau Kalian tidak yakin agama yang Kalian yakini itu benar serta baik serta pembawa kedamaian, mending ikut saya pak ke gereja.”

Pengalihan Isu

Heboh narasi radikalisme yang dinyanyikan para menteri baru tentu bukan tanpa sebab. Tokoh nasional Rizal Ramli menengarai hal ini selaku upaya pengalihan isu dari ketidakmampuan pemerintah mengatasi masalah ekonomi yang nyungsep.

“Setahun ke depan agaknya bakal digoreng terus isu 3R (radikalisasi, radikulisasi & radikolisasi),” tulis RR, begitu Ia biasa disapa, di akun twitternya @RamliRrizal, Ahad (27/10).

Pada titik ini, kemarahan rakyat, terutama yang beragama Islam, memang layak disemburkan kepada Joko, tim ekonomi, para menteri khususnya Mahfud serta Razi. Sebagai orang Islam, sudah semestinya saya bakal mengerahkan semua kemampuan serta sumber daya yang saya miliki agar bisa mengadakan semua ajaran Islam. Ini wajar serta normal. Sewajar serta senormal warga negara Indonesia yang beragama lain.

Dan, kini rezim Joko menjadikan Islam serta ummatnya selaku musuh yang musti ditumpas. Wahai penguasa, kalau benar orang Islam radikal, tentu tidak bakal ada WNI yang beragama selain Islam sebab semua sudah dibunuhi oleh orang Islam. Tidak ada rumah ibadah selain masjid serta mushola sebab yang lain sudah dirubuhkan oleh orang Islam.

Faktanya justru sebaliknya. Kendati muslim mayoritas, agama lain bisa tumbuh serta berkembang secara baik. Pemeluk agama lain bukan cuma dilindungi serta dihormati, mereka bahkan bisa serta boleh meraih puncak jenjang karir dalam pangkat serta jabatan. Tidak terhitung jumlah kepala daerah, jenderal serta menteri yang beragama bukan Islam.

Soal toleran serta cinta mati NKRI, ummat Islam sudah khatam, bahkan sejak negara ini belum berdiri. Sebagian besar, kalau tidak disebut semua, pahlawan beragama Islam. Banyak dari mereka yang ulama, kyai, serta santri. Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Sentot Alibasyah, serta lainnya jelas berpakaian ulama.

Dengan pidato menggelegar serta berulang menyebut Allahu akbar, Bung Tomo menggelorakan semangat jihad arek-arek Suroboyo mengusir tentara sekutu dari Surabaya. Hasilnya, sekutu pergi walau perlu ditebus dengan lebih dari 6.000 anak muda yang mati syahid, insya Allah.

Soekarno, Hatta, Sjahrir, Hasyim Asyhari, Ahmad Dahlan, Agus Salim, Natsir, Wahid Hasyim, Kasman, Abikusno, Roem, Soepomo, serta teramat banyak yang lain yakni muslim.

Lalu, apakah mereka ngotot menghendaki serta memaksa Islam selaku dasar negara? Tidak, kan?

Cuma segitu?

Mosok profesor sekelas Mahfud tidak bisa melihat kenyataan ini? Mosok jenderal seperti Razi tidak tahu fakta ini? Terus terang, selain marah saya kasihan kepada kalian. Profesor dan  jenderal kok cuma segitu!

Jadi, sudahlah. Berhentilah rezim ini menebar stigma radikalisme terhadap Islam serta ummat Islam. Masalah yang Indonesia hadapi sama sekali bukan radikalisme. Masalah kita yakni ekonomi yang terpuruk, pendapatan rakyat merosot, beban hidup yang teramat berat.

Problem superberat lain yakni korupsi. Korupsi yang begitu massif sudah merenggut hak-hak rakyat. Jangan lupa, para pelaku korupsi yakni mereka yang selama ini paling nyaring berteriak "Saya pancasila, NKRI harga mati." Mereka itulah yang radikal yang sesungguhnya.

Baiknya mulai sekarang, kalian bekerja bahu-membahu meningkatkan ekonomi kita. Joko serta kabinetnya perlu ekstra sungguh-sungguh memerangi korupsi. Tidak sebaliknya malah melemahkan KPK. Dengan begitu, barulah kita boleh berharap rakyat bisa hidup sejahtera!

*) Penulis yakni wartawan senior
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+