Hampir empat bulan setelah penetapan dirinya sebagai calon presiden terpilih dalam pemilu memilukan, Jokowi Widodo, Presiden terpilih ini tidak juga membekali dirinya dengan gambaran tentang pemerintahan macam apa yang bakal dibentuk kelak setelah diambil sumpahnya. Itu tercermin dari kenyataan pada hari Senin tanggal 21 Oktober ini. Satu demi satu manusia, boleh menjadi calon menteri, diberitakan media online silih berganti mendatangi dirinya di istana presiden.
Sebagian dari mereka yang dipanggil bukanlah orang baru dalam dunia politik, serta bukan pula orang yang tidak mempunyai kedekatan dengan dirinya. Beberapa dari mereka diketahui luas selaku orang yang telah memainkan peran membantu dirinya, dalam arti yang luas. Mereka diajak berdiskusi secara singkat dengan spektrum yang sebagian terlihat begitu luas.
Kiyai Tidak Disertakan
Bila Jokowi serta Kiyai Ma’ruf sudah mempunyai peta pemerintahan yang bakal dibentuk kelak setelah keduanya dilantik, maka pekerjaan menyeleksi menteri dapat dilakukan dengan lebih terukur. Dengan peta yang tersedia jelas, maka keduanya dapat secara bersama membayangkan siapa saja figur yang dapat diminta membantu keduanya.
Kiyai Ma’ruf, dalam kerangka itu dapat ditugaskan mengerjakan pekerjaan seleksi, sejauh yang bisa. Sayangnya tidak terjadi, sehingga soal itu perlu dikerjakan dalam waktu sesempit sekarang. Senin serta Selasa akhirnya menjadi hari yang sibuk dengan sejumlah orang dipanggil ke Istana menemui Presiden, membicarakan sebisanya hal-hal yang boleh menjadi bakal dimintai bantuan mereka buat dikerjakan.
Senin yang sibuk di Istana kepresidenan, juga menjadi Senin yang sibuk di kantor wakil presiden. Di kantor ini Kiyai Ma’ruf menerima memori kerja Pak Jusuf Kalla, mantan wakil presiden. Ini berlangsung hingga jam 10 pagi, serta waktu sesudahnya Kiyai Ma’ruf melaksanakan perjalanan kenegaraan ke Jepang. Dia mewakili Presiden menghadiri penobatan Kaisar Jepang. Praktis Kiyai Ma’ruf tidak disertakan oleh Presiden Jokowi dalam seleksi menteri.
Mengapa tidak disertakan? Jokowi secara konstitusi memang tidak diwajibkan menyertakan Pak Kiyai Ma’ruf, wakil presidennya dalam urusan, sebut saja seleksi menteri ini. Sekali lagi, tidak wajib. Toh konstitusi menempatkan kewenangan mengangkat menteri sepenuhnya pada presiden. Medan normatif konstitusi memang begitu.
Medan mengangkat menteri ialah medan tunggal, yang tidak perlu dibagi dengan Waki Presiden. Mengangkat menteri, jelas wewenang konstitusional Presiden, bukan Wakil Presiden. Mengangkat ialah tindakan hukum, yang mempunyai konsekuensi hukum. Hanya presiden, bukan wakil presiden yang dapat mengangkat menteri.
Wakil Presiden memang hanya berfungsi membantu Presiden, tetapi wakil presiden bukan pembantu biasa. Wakil presiden ialah pembantu dengan keistimewaan konstitusional khas. Hanya kepada wakil presiden, bukan menteri, Presiden bisa memandatkan kewenangan mengurusnya, bukan mengatur, bila presiden dalam keadaan tertentu tidak dapat menyelenggarakan sendiri urusan itu.
Tetapi lain betul dengan tindakan seleksi. Dalam konteks seleksi, presiden tidak dilarang menyertakan wakil presiden. Sayangnya Presiden sudah memilih berdiri tegak, buat tidak berkata membiarkan kearifan konstitusi itu tersembunyi dalam gudang politik konstitusionalisme. Dia hanya berjalan tegak lurus di track normatif konstitusi. Presiden membiarkan Kiyai Ma’ruf, Wakil Presiden berjarak sejauh boleh menjadi dalam urusan ini.
Padahal, sekali lagi, ruang kearifan konstitusional memungkinkan Kiyai Ma’ruf terlibat dalam seleksi, bukan mengangkat. Sayang kemungkinan ini, entah tidak teridentifikasi oleh Jokowi atau sengaja dibiarkan tidak terdentifikasi, dengan argumen yang tidak seorang pun mengetahuinya, sudah menjauhkan Kiyai Ma’ruf buat sekadar ikut membicarakan, serta mengenal mereka.
Tahun-tahun Seremonial
Kalau Presiden Jokowi bisa, bahkan perlu berdiskusi dengan ketua-ketua partai yang membawa dirinya serta Kiyai Ma’ruf menjadi calon presiden serta wakil presiden, kenapa tidak dilakukan dengan Kiyai Ma’ruf, Wakil Presiden? Sehebat apapun ketua-ketua partai, mereka bukanlah figur tata negara dalam penyelenggaraan pemerintahan. Figur itu disandang oleh Wakil Presiden, Kiyai Ma’ruf.
Membuka diskusi, sesingkat apapun antara Presiden dengan Ketua-Ketua Partai Politik, menunjukan Presiden sudah tahu lebih dari siapapun kalau konstitusi bukan satu-satunya instrumen politik paling tangguh dalam menyumbangkan pemerintahan yang mempunyai kapasitas selaku pemerintahan yang efektif. Tidak.
Presiden dalam konteks itu juga tahu lebih dari siapapun, pemimpin sangat sering beralih, mengambil dari gudang politik, hal-hal non hukum mengonsolidasi pemerintahannya.
Seperti sudah dilakukannya sendiri, Presiden Jokowi mestinya tahu politik di alam demokrasi menyediakan kearifan selaku sumbu utama, penyumbang datangnya pemerintahan yang berkapasitas, serta memungkinkan semua elemen di dalamnya solid mengakselerasi program serta kegiatan pemerintahan. Kearifan inilah yang semestinya dipanggil Pak Jokowi pada kesempatan kesatu serta dimainkan dalam kerangka seleksi, bukan mengangkat menteri, dengan menyertakan Kiyai Ma’ruf.
Mengesampingkan kearifan-kearifan demokrasi selaku sebuah kekuatan tidak tertandingi dalam menciptakan keharmonisan, yang merupakan kekuatan inti pemerintahan, jelas tidak membantu tumbuhnya iklim harmoni yang diperlukan buat membuat pemerintahan solid. Menjauhkan Kiyai Ma’ruf sejauh boleh menjadi dari urusan seleksi Menteri memang tidak bakal menjadi alarm datangnya politik menyalahkan tindakan itu. Tidak. Tetapi bukan disitu pangkal soalnya. Pangkal soalnya ialah terbunuhnya kearifan.
Tetapi boleh menjadi saja Kiyai Ma’ruf tahu level kearifan Presiden Jokowi, serta boleh menjadi juga tahu kalau tidak diperlukan tes kecil buat memastikannya. Sebagai orang yang tidak terlalu asing dalam dunia politik, Kiyai Ma’ruf boleh menjadi mengetahui kalau tidak ada cara paling ampuh meminta, memperkenalkan kearifan, selain yang terlihat. Toh kearifan yang selalu bersendikan pada kejujuran, serta kejujuran merupakan perkara tersulit buat diminta dalam dunia politik riil.
Kiyai Ma’ruf boleh menjadi saja menerimanya selaku hal biasa dalam politik. Itu sebabnya terlalu prematur mengajukan pernyataan konklusif kalau Kiyai Ma’ruf, dalam lima tahun mendatang hanya bakal diperlakukan oleh Presiden Jokowi sepenuhnya selaku pembantu tanpa portofolio.
Kenyataan dirinya tidak dilibatkan dalam seleksi calon menteri, sebab itu, juga tidak bisa dijadikan basis mengajukan pernyataan hipotetikal kalau seistimewa apapun status Kiyai dalam kerangka konstitusi, lima tahun mendatang hanya bakal menjadi tahun-tahun yang sibuk dengan seremoni.
Penulis: Margarito Kamis