Prssiden Joko Widodo pagi tadi sudah mengumumkan serta melantik para menteri yang menjadi pembantunya. Komentar serta respons pun berhamburan. Ada yang pro, juga kontra. Biasa.
Seperti sudah diduga sebelumnya, masuknya Prabowo Subianto dalam jajaran pembantu Joko menyita porsi lumayan dominan dalam parade komentar. Yang pro bilang, Prabowo masuk buat memperbaiki dari dalam, buat meningkatkan kualitas pertahanan serta kedaulatan NKRI dari rongrongan musuh eksternal, serta seterusnya, serta sebagainya.
Sedangkan buat yang kontra, aneka respons tersebut bermuara pada tamsil macan yang sudah benar-benar menjadi kucing. Meong, meoong, meoooong....
Tulisan kali ini sama sekali tidak hendak menyinggung perkara Prabowo. Aku sama sekali tidak tertarik. Komposisi tim ekonomi Kabinet Joko jilid dua justru lebih menarik. Posisi Menteri Keuangan yang kembali dijabat Sri Mulyani Indrawati, misalnya. Tidak kurang menariknya adalah, Luhut Binsar Panjaitan, yang ternyata bukan saja tetap di posisinya selaku Menko Kemaritiman. Ia bahkan dapat job (baca: wewenang) tambahan, yakni investasi. Nomenklatur resminya, Menko Maritim serta Investasi. Gaya sekaligus powerful!
Banyak pihak, khususnya ekonom garis lurus yang jauh-jauh hari sudah mengingatkan Joko, agar tidak memakai dua orang ini. Sebagai Menkeu, Sri Mulyani terbukti tidak mampu membuat ekonomi Indonesia meninggalkan angka ‘kutukan’ 5%.
tidak cuma itu, pejuang neolib di garda depan ini, juga selalu menerapkan prinsip investor first dalam penyusunan APBN serta kebijakan fiskalnya. Buat investor, khususnya asing, ia rajin mengobral mermacam keringanan bahkan pembebasan pajak. Sebaliknya, buat UMKM, Sri justru hobi menggebuk mereka dengan mermacam pungutan.
Prinsip mengutamakan investor yang diterapkan Sri bukanlah hal ganjil. Memang begitu karakteristik mazhab neolib. Siapapun penganutnya, pasti bakal mematuhinya. Apalagi bila yang bersangkutan punya posisi super penting semisal Menteri Keuangan, tentu prinsip ini kian menemukan wujudnya.
Ketatkan Anggaran
Buktinya, ya Sri ini. Saat didapuk menjadi Menkeu di Kabinet Kerja tiga tahun silam, ia langsung melaksanakan pemangkas sejumlah pos anggaran. Dalihnya, buat mengamankan APBN agar defisit tidak menganga lebar. Tidak tanggung-tanggung, perempuan ini memotong anggaran hingga Rp 137 triliun di APBN. Para ekonom menyebut ini selaku kebijakan pengetatan alias austerity yang pertama.
Pos angaran apa sajakah yang kena gunting tajam Sri? Dalam tempo empat periode sekaligus (kuartal IV 2016-III 2017) pos pemerintahan, pertahanan, serta jaminan sosial wajib menjadi korban. Khusus di kuartal II-2017, sektor pengeluaran pemerintah ini tumbuh negatif, yaitu -0,03%.
Padahal, ketiga pos ini terbukti menjadi penyumbang yang cukup dominan dalam pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan tahunan dari sektor tersebut terjun bebas dari 7% pada 2016, menjadi hanya 2% setahun berikutnya. Akibatnya, kontribusi mereka terhadap pertumbuhan ekonomi keseluruhan juga turun dari 0,23% di tahun 2016 menjadi cuma 0,07% pada 2017.
Buat rakyat awam, tentu angka-angka tadi sangat asing. Namun dampaknya langsung mereka rasakan. Daya beli masyarakat anjlog serta mengurangi pembelian produk industri. Kalau sudah begini, tentu saja sektor industri pengolahan yang langsung berhubungan dengan daya beli masyarakat menjadi lesu darah.
Pertumbuhan industri pengolahan tembakau remuk-redam, dari 3,52% (2016) menjadi -0,64% (2017). Begitu juga dengan tekstil serta pakaian tekstil (TPT) yang anjlok dari 8,7% (2016) ke 3,8% (2017). Hal serupa terjadi pada industri kulit, barang dari kulit serta alas kaki yang terjun dari 9,4% (2016) ke 2,2% (2017).
Angka-angka bertabur merah tadi bermuara pada PDB yang menciut dari 5,17% pada 2016 menjadi 5,07% di tahun 2017. Sri serta jajarannya juga terbukti gagal memanfaatkan faktor menggeliatnya sektor konstruksi serta real estate selaku pemacu pertumbuhan ekonomi. Kini, di kuartal II-2019, pertumbuhan ekonomi kembali mencetak posisi terendah dalam tiga tahun terakhir, 5,06%.
Peneliti Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra, mencatat sejumlah kegagalan Sri selaku Menteri Keuangan. Rasio pajak Indonesia hanya 9%-10%, termasuk yang terendah di kawasan Asia serta Afrika. Terjadi deindustrialisasi yang tidak terbendung. Industri baja yang pernah menjadi andalan serta kebanggaan nasional, terus berdarah-darah digempur baja impor dari Cina. Bahkan Batam yang digadang-gadang selaku kawasan industri unggulan hanya mampu tumbuh 2%.
Sri selalu mengklaim APBN disusun dengan sangat prudent hingga sangat stabil. Padahal faktanya, APBN kita lumayan rentan. Defisit transaksi berjalan sangat besar, 8,4 miliar dolar AS. Belum lagi data yang ada menunjukkan 50% lebih surat utang pemerintah dimiliki asing. Sedikit saja asing berulah serta melepas obligasi pemerintah, kita bisa dibuat jungkir-balik karenanya.
Masih tentang surat utang negara (SUN), selaku pejuang neolib yang gigih, Sri selalu memberi kupon/bunga yang kelewat tinggi. Angkanya berkisar 2-3% lebih tinggi Dibandingkan negara-negara yang credit rating-nya di bawah Indonesia.
Kalau saja Sri ingin bersikap profesional, Indonesia sudah selayaknya memperoleh bunga jauh lebih murah Dibandingkan Filipina serta Vietnam, misalnya. Sayangnya, jangankan lebih murah, berusaha dapat bunga pada harga yang sama dengan kedua negara itu pun ia tidak lakukan.
Lalu, kalau saja ia ingin menegosiasikan ulang, tentu sangat bermanfaat. Tidak usah banyak, cukup 1,5% bunganya berhasil diturunkan. Maka, hasilnya setiap tahun kita bisa menghemat anggaran sekitar Rp 29 triliun. Jumlah ini bisa dimanfaatkan buat menambal BPJS kesehatan yang compang-camping. Tapi, lagi-lagi hal itu tidak ia lakukan. Memang watak neolib selalu lebih mengutamakan kepentingan majikan asing Dibandingkan kesejahteraan rakyatnya sendiri.
Kebiasaannya mengobral surat utang dengan bunga super tinggi inilah yang amat menyenangkan para investor. Ini pula yang mengungkapkan mengapa mereka tidak segan-segan menghadiahi Sri dengan gelar selaku Menkeu terbaik dunia. Bukan itu saja, tangan-tangan asing yang tidak terlihat pula yang menyelamatkan Sri dari pusaran kasus Bank Century yang menghebohkan itu.
Padahal, di dalam negeri prestasi serta kinerjanya justru membuat perekonomian mandeg serta beban rakyat kian berat saja. Pada titik ini, gelar Menkeu ‘terbalik’ justru jauh lebih pas baginya.
Kembalinya Sri di posisi Menkeu sudah hampir pasti buah dari titipan (tekanan?) Bank Dunia serta IMF. Paling tidak, kita bisa membaca hal ini selaku upaya kompromi sekaligus kompensasi yang diberikan Joko atas keberatan Amerika terhadap kian dominannya pengaruh Cina pada periode kesatu kekuasaannya.
Sebagai petugas yang baik, Sri tentu bakal menjalankan kehendak majikan asingnya, IMF serta Bank Dunia. Guna memastikan prinsip investor first berjalan dengan baik, sangat bisa menjadi ia bakal lebih eksesif dalam mengetatkan anggaran selaku babak lanjutan.
Semua itu dimaksudkan agar APBN punya dana yang cukup buat membayar pokok serta cicilan utang yang tiap tahun mencapai Rp 680-an triliun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan anggaran infrastruktur yang dibangga-banggakan, serta anggaran pendidikan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang yang minimal 20%.
Seperti yang sudah-sudah, Sri juga tidak bakal peduli kalau buat itu ia perlu memangkas anggaran sosial berupa subsidi bagi rakyat. Itulah yang mengungkapkan mengapa harga BBM, listrik, gas serta mermacam kebutuhan dasar rakyat terus melonjak-lonjak.
Makelar Cina
Kini, kita lihat sosok menteri ekonomi yang ‘cukup fenomenal’ lainnya, Luhut Binsar Panjaitan. Sepak terjangnya selama menjadi menteri terkesan serampangan. Semua hal ia urus. Akibatnya, banyak warganet alias netizen menjulukinya selaku Menteri ASU (Atasi Segala Urusan).
Hobinya yang suka cawe-cawe di luar tugas pokok serta fungsi (Tupoksi)nya itu, membuat Faisal Basri menghujaninya dengan kritik. Kebijakan Luhut dinilai kerap tumpang-tindih dengan kementerian-kementerian yang tidak ada kaitannya dengan sektornya. Contohnya, Luhut bernafsu sibuk di mobil listrik. Padahal, harusnya, program itu menjadi domain Kementerian Perindustrian di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Luhut juga diketahui selaku menteri yang Cina minded. Apa-apa Cina. Sedikit ada masalah, solusinya Cina. Ia pula yang rajin memakelari aneka proyek raksasa di negeri ini kepada para pengusaha asal Negeri Tirai Bambu. Bahkan, buat mengatasi kemelut keuangan BPJS pun, si Opung lagi-lagi menawarkan perusahaan asal Cina selaku solusi.
tidak cuma selaku pejabat publik, Luhut juga diketahui selaku pebisnis. Jaringan usahanya mengurita ke bidang pertambangan, energi, listrik, serta lainnya. Banyak pihak menuding pensiunan jenderal ini punya konflik kepentingan, terutama di area pertambangan serta listrik.
Kita tentu masih ingat, bagaimana ia berupaya menghapuskan aturan kewajiban pengusaha menjual 25% batu baranya kepada PLN. Maklum, harga ekspor tengah super gurih. Ia juga yang sangat bernafsu menentang pemberlakuan harga domestik buat batu bara yang dijual ke PLN.
Persoalannya kini, Joko ternyata mengabaikan semua saran serta masukan seputar figur calon menteri di periode kedua kekuasaannya. Banyak orang pun menjadi uring-uringan, misuh-misuh.
Tidak Independen
Buat saya justru sebaliknya. Sikap ndegil bin kopeg Joko ini justru bagus. Ini menunjukkan selaku presiden ia sama sekali tidak independen. Soal Sri, misalnya, sulit dibantah kalau posisinya kembali selaku Menkeu yaitu hasil permintaan (tekanan?) IMF serta Bank Dunia.
Begitu pula dengan mempertahankan Luhut di posisi semula plus wewenang di bidang investasi juga menjadi konfirmasi betapa Joko telanjur jatuh dalam cengkeraman Cina.
Dengan posisinya selaku Menko Maritim saja Luhut sudah menjadi calo bagi perusahaan-perusahaan Cina, kok. Apalagi setelah ada embel-embel investasi, dengan sendirinya ia password bagi kian derasnya serbuan pengusaha Cina ke sini.
Perbedaan investor Cina dengan Jepang, Amerika, Eropa serta sejumlah negara lain yaitu pada pola bedol desanya. Cina bukan cuma membuka pabrik atau membangun infrastruktur di sini, tapi juga menggerojok utang dengan jumlah fantastis, membawa bahan baku plus tenaga kerja di semua level.
Kombinasi duet Sri serta Luhut dipastikan bakal membuat Indonesia makin tidak bisa kemana-mana. Pertumbuhan bakal ajeg di kisaran 5% bahkan lebih rendah lagi. Mimpi Joko kalau rakyat bakal punya pengasilan Rp 27 juta per bulan pada 2045 benar-benar bakal menjadi impian belaka. Sebaliknya, beban hidup rakat makin berat. Ketimpangan sosial kian menganga lebar.
Kalau sudah begini, tinggal seberapa kuat rakyat menahan beban serta sabar. Tapi sekadar mengingatkan, sejarah Indonesia modern bercerita Soekarno serta Soeharto tumbang sebab krisis ekonomi. Padahal, keduanya diketahui selaku penguasa yang kuat.
Sudah, gitu aja.
Penulis: Edy Mulyadi