RIDHMEDIA - Aktivis hak asasi manusia masyarakat Uighur yang dipenjara seumur hidup di China, Ilham Tohti, mendapat penghargaan 'Sakharov Prize for Freedom of Thought' dari Parlemen Uni Eropa.
Penyerahan penghargaan Sakharov Prize diberikan Parlemen Uni Eropa kepada anak perempuan Ilham Tohti, Jewher Ilham.
Ilham Tohti merupakan bekas profesor ekonomi di Universitas Beijing yang pernah dihukum oleh pengadilan di China sejak tahun 2014 karena kasus separatisme dan provokasi yang memicu protes dari pemerintah luar negeri dan organisasi hak asasi manusia.
Pria yang dipenjara di wilayah Uruqi sejak tahun 2014 ini dilaporkan France24, (18/12/2019), tidak dapat menghadiri seremonial penyerahan penghargaan dirinya.
Alih-alih menghadiri seremonial penyerahan penghargaan, Ilham Tohti dimungkinkan tidak mengetahui dirinya mendapat penghargaan tersebut yang diumumkan pada (24/10) oleh Parlemen Uni Eropa.
Jewher Ilham, anak perempuan Tohti dilaporkan mewakili ayahnya untuk menerima penghargaan tersebut.
Penghargaan Sakharov Prize yang diterima Ilham Tohti, sebelumnya juga pernah diberikan terhadap sutradara film dokumenter dan aktivis hak asasi manusia asal Ukraina, Oleg Sentsov tahun 2018 -yang pernah divonis 20 tahun penjara karena tuduhan "merencanakan tindakan terorisme".
Oleg Sentsov akhirnya dapat menerima penghargaan tersebut usai dibebaskan dari penjara Rusia sebagai bagian 'pertukaran tahanan' antara Rusia dan Ukraina.
Ilham Tohti Mustahil Dihubungi
Anak perempuan Tohti, Jewher Ilham, yang hidup sebagai eksil di Amerika Serikat, saat ini sedang berjuang agar ayahnya dapat dibebaskan dan namanya tidak dilupakan.
Jewher selalu berusaha menghubungi ayahnya, namun kesempatan itu menurutnya mustahil.
"Keluarganya (Ilham Tohti) tidak pernah menerima kabar sejak tahun 2017. Mereka tidak tahu apa apa mengenai kondisi kesehatannya", ujar Charles Pellegrin, koresponden France 24 di China.
"Tak ada komunikasi (dengan Tohti) yang bisa dilakukan", kata Dilnur Reyhan, President of the Uighur Institute of Europe (IODE), sekaligus mengonfirmasi pernyataan Jewher Tohti.
Sebelum Ilham Tohti dipenjara pada Januari 2014, dirinya dilaporkan pernah mendirikan situs "The UighurOnline", yang ia kelola untuk menuliskan isu sosial tentang masyarakat Uighur dan China.
Berkat tulisan-tulisannya, ia sering disorot dan disebut menimbulkan ketegangan etnis di wilayahnya.
Sejumlah tulisannya juga menjadi materi pelajaran yang ia ajarkan di Universitas Beijing.
Diberitakan France24 , para ahli (di bidangnya) menyatakan bahwa lebih dari satu juta masyarakat Uighur dan etnis muslim minoritas dikumpulkan dalam sebuah kamp di Xinjiang.
Otoritas di wilayah barat laut (di Xinjiang) dilaporkan Human Rights Watch meluncurkan sistem keamanan canggih yang menggabungkan beberapa teknologi seperti kamera pemindai wajah, kontrol wifi dan kunjungan ke rumah-rumah.
Berdasarkan Komite Perlindungan terhadap Jurnalis di New York, website milik Tohti kemudian dimatikan usai dirinya dipenjara.
Menyuarakan Masyarakat Uighur
Menurut Amnesty International, Tohti sebelumnya pernah ditahan pada tahun 2009 -di tengah peristiwa kekerasan etnis di Xinjiang- setelah menulis mengenai penahanan dan pembunuhan terhadap masyarakat Uighur selama kerusuhan.
Tohti yang bertambah umur pada Oktober tahun ini, juga memenangkan penghargaan lainnya di Eropa, Vaclav Havel Prize atas usahanya, 'menyuarakan masyarakat Uighur'.
Tohti menurut Dewan Uni Eropa - usai membacakan nominasi Tohti sebagai penerima penghargaan-, telah bekerja lebih dari 20 tahun dalam lingkungan minoritas dan membina sejumlah dialog dan pemahaman antar-etnis di China.
China sebelumnya mengecam Dewan Uni Eropa usai memberi Tohti nominasi untuk penghargaan Vaclav Havel Prize pada September 2019.
Menteri Luar Negeri China menyebut Tohti sebagai "separatis yang mendukung terorisme".
Pendapat Akademisi Jerman
Sampai saat ini, diperkirakan satu juga warga etnis Uighur mendekam di kamp-kamp konsentrasi penampungan.
Kamp-kamp yang disebut sebagai kamp ‘re-edukasi’ ini diadakan untuk para warga etnis Uighur yang mayoritas Muslim.
Kamp yang disebut menjadi kamp konsentrasi pada abad modern ini memiliki ukuran yang kecil dan tidak layak.
Para tahanan ini dengan terpaksa tinggal di ruangan yang sempit yang berjejalan dengan tahanan lainnya.
Tak hanya itu saja, mereka juga sering mendapatkan siksaan secara rutin.
Sedangkan bagi warga etnis Uighur yang bebas dilaporkan menjalani hidup dengan kontrol dan pengawasan ketat.
Pengawasan dilakukan terhadap seluruh anggota keluarga mereka.
Direktur Institut Islam Global di Universitas Frankfurt, Jerman, Prof. Dr. Susanne Schroter menyebut bahwa cara-cara yang dilakukan Pemerintah Cina merupakan aksi barbarian.
Menurutnya, hal tersebut secara lazim dilakukan oleh Partai Komunis Cina untuk memaksa minoritas tunduk terhadap ideologi negara, seperti dilaporkan Deutsche Welle, (4/12/2019).
Tribunnewswiki.com melansir hasil wawancara portal berita Deutsche Welle dengan Prof. Dr. Susanne Schroter perihal kondisi yang terjadi.
Kamp “Re-Edukasi”: Pemaksaan Ideologi?
Schroter menyebut bahwa Pemerintah China merupakan pemerintahan otoriter yang berupaya menundukkan oposisi - kaum minor - dengan menggunakan berbagai cara.
Cara-cara yang dilakukan ini tak hanya dilakukan terhadap etnis Uighur, melainkan terhadap semua kalangan yang menuntut liberalisasi ataupun demokratisasi.
“Dulu terdapat gerakan Falun-Gong yang ditumpas dengan cara-cara ekstrim, contoh lain adalah pendukung Dalai Lama di TIbet. Jadi tidak mengejutkan jika kita melihat bagaimana pemerintah China memperlakukan oposisi Uighur”, ungkap Schroter.
Pembuatan kamp-kamp yang disebut “re-edukasi” ini menurut Schroter telah menjadi satu kebiasaan dalam sejarah CIna dan Partai Komunis pada abad ke-20.
Cara yang dilakukan pemerintah China ini ditempuh untuk melakukan “pemaksaan ideologi” Partai Komunis terhadap masyarakat.
Lebih jauh lagi, strategi ini dimungkinkan akan membuat gentar oposisi.
Schroter menambahkan bahwa hal tersebut dapat membawa dampak bagi semua kelompok masyarakat yang dituduh melakukan perlawanan terhadap pemimpin politik China.
Di lain hal, bangsa Uighur dinilai aktif melakukan gerakan kemerdekaan.
Menyinggung landasan kebijakan Pemerintahan China, Schroter menerangkan bahwa “gerakan kemerdekaan” inilah yang menjadi alasan penindakan yang dilakukan pemerintah China dengan keras.
Di mata para pemimpin China, gerakan kemerdekaan tersebut dianggap sebagai bagian dari separatisme.
Tak hanya itu saja, Schroter menambahkan bahwa gerakan yang dianggap ‘separatisme’ ini kerap kali dibungkus dalam bingkai ‘Muslim’.
Schroter mengamati Gerakan Islamis Turkistan Timur yang masih diakui oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai gerakan teror.
Seperti contoh, gerakan ini pernah melancarkan beberapa aksi teror dalam beberapa tahun.
Satu di antaranya adalah ledakan bom di Stasiun Kereta Kunning tahun 2014.
Ledakan besar ini tercatat telah menewaskan 30 warga sipil.
Inilah yang kemudian menjadi alasan bagi Pemerintah China untuk membenarkan kebijakan ‘keras’ terhadap Bangsa Uighur.
Pemerintah China melakukan cara dengan melakukan tindakan-tindakan seperti: persekusi, intimidasi dan kerja paksa di kamp-kamp konsentrasi yang disebut ‘kamp re-edukasi’ tersebut.
Cara ini dilakukan Pemerintah China terhadap berbagai macam kelompok oposisi yang dianggap akan mengganggu kekuasaan.
Tak Punya Ruang Gerak
Schroter menilai bahwa Pemerintah China berhasil melakukan ini lantaran banyak warga Uighur yang tidak memiliki ruang gerak.
Hal ini terjadi lantaran adanya pengawasan seksama yang dilakukan oleh Pemerintah China.
Melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)?
Tindakan keras yang dilakukan oleh Pemerintah China disebut Schroter melanggar hak asasi manusia.
Ia juga menilai bahwa metode yang digunakan telah berhasil menundukkan aneka bentuk perlawanan.
“Inilah yang diinginkan Pemerintah China”, ungkap Schroter.
Perubahan Sikap Turki?
Menurut Schroter, kritikan terhadap Pemerintah China tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia seringnya datang dari negara-negara barat.
Ia mengambil contoh Turki yang mendukung perjuangan etnis Uighur.
Melalui Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan pernah menyebut kebijakan China sebagai bagian dari ‘genosida’.
Pernyataan ini diucapkan Erdogan pada tahun 2009, ujarnya.
Erdogan juga pernah mendukung gerakan Bangsa Uighur dengan menampung pelarian etnis tersebut dari daerah Xianjiang, China.
Usai ditampung dan mendapat suaka, Erdogan juga membebaskan mereka dalam aktivitas politik.
Namun demikian sikap Turki mulai berubah seiring berjalannya waktu.
Pada tahun 2017, Menteri Luar Negeri Turki sempat mengeluarkan kebijakan ‘keras’ terhadap warga Uighur di tempat penampungan.
Sampai saat ini, demonstrasi dan aksi politik terhadap warga Uighur tidak lagi diperbolehkan.
Beberapa yang bebal bahkan dilaporkan ditangkap.
Pada musim panas tahun 2019, Erdogan memuji kebijakan Pemerintah China saat mengunjungi kamp warga Uighur.
“Sikap Ankara sudah berubah”, ungkap Schroter.
Perubahan sikap Turki dinilai Schroter memiliki dua alasan: pertama, adalah pengaruh memburuknya hubungan Turki dengan negara barat.
Menurutnya, Turki berusaha mencari kekuatan alternatif dan memakai China sebagai sekutu baru.
Kedua, menurut Schroter adalah relasi perdagangan.
Schroter menilai Turki sedang dalam masa krisis ekonomi dan membutuhkan hubungan perdagangan yang sehat.
Alih-alih membuka pintu bagi Turki, China justru tidak tertarik apakah Erdogan membungkam oposisi - Uighur - atau tidak.
Bagaimana SIkap Negara Lain?
Satu negara yang dijadikan contoh oleh Schroter adalah Iran.
Menurutnya, China merupakan negara terbesar pengimpor minyak dari Iran.
Hal itu dimungkinkan menjadikan alasan Iran tidak melayangkan gugatan terhadap kebijakan China.
Iran juga menjadi tempat bagi China untuk berinvestasi di bidang migas.
Selanjutnya adalah Pakistan dan Arab Saudi yang turut bungkam lantaran alasan yang sama, yaitu ‘ekonomi’.
Pangeran Muhammad bin Salman sempat memuji langkah yang diambil Pemerintah China terhadap minoritas Uighur.
Schroter menyebut banyak negara-negara mayoritas Muslim yang dipimpin oleh pemerintahan otoriter sering mendapat kritik lantaran dugaan pelanggaran HAM.
Hal ini berlaku bagi negara-negara seperti, Mesir, Pakistan, Iran, Arab Saudi, dan negara-negara teluk lainnya.
Schroter menyatakan bahwa China pada dasarnya tidak tertarik dengan urusan HAM.
“Negara manapun dapat berbisnis dengan China tanpa perlu takut mendapat kritik terkait kebijakan internal masing-masing”, pungkasnya.
Sumber: tribunnewswiki.com
Penyerahan penghargaan Sakharov Prize diberikan Parlemen Uni Eropa kepada anak perempuan Ilham Tohti, Jewher Ilham.
Ilham Tohti merupakan bekas profesor ekonomi di Universitas Beijing yang pernah dihukum oleh pengadilan di China sejak tahun 2014 karena kasus separatisme dan provokasi yang memicu protes dari pemerintah luar negeri dan organisasi hak asasi manusia.
Pria yang dipenjara di wilayah Uruqi sejak tahun 2014 ini dilaporkan France24, (18/12/2019), tidak dapat menghadiri seremonial penyerahan penghargaan dirinya.
Alih-alih menghadiri seremonial penyerahan penghargaan, Ilham Tohti dimungkinkan tidak mengetahui dirinya mendapat penghargaan tersebut yang diumumkan pada (24/10) oleh Parlemen Uni Eropa.
Jewher Ilham, anak perempuan Tohti dilaporkan mewakili ayahnya untuk menerima penghargaan tersebut.
Ilham Tohti's daughter Jewher Ilham accepted the 2019 #SakharovPrize for Freedom of Thought today on behalf of her jailed father. Read more ➡️ https://t.co/bqcIVuAwFE pic.twitter.com/bbBcOdSt7i— European Parliament (@Europarl_EN) December 18, 2019
Penghargaan Sakharov Prize yang diterima Ilham Tohti, sebelumnya juga pernah diberikan terhadap sutradara film dokumenter dan aktivis hak asasi manusia asal Ukraina, Oleg Sentsov tahun 2018 -yang pernah divonis 20 tahun penjara karena tuduhan "merencanakan tindakan terorisme".
Oleg Sentsov akhirnya dapat menerima penghargaan tersebut usai dibebaskan dari penjara Rusia sebagai bagian 'pertukaran tahanan' antara Rusia dan Ukraina.
Ilham Tohti Mustahil Dihubungi
Anak perempuan Tohti, Jewher Ilham, yang hidup sebagai eksil di Amerika Serikat, saat ini sedang berjuang agar ayahnya dapat dibebaskan dan namanya tidak dilupakan.
Jewher selalu berusaha menghubungi ayahnya, namun kesempatan itu menurutnya mustahil.
"Keluarganya (Ilham Tohti) tidak pernah menerima kabar sejak tahun 2017. Mereka tidak tahu apa apa mengenai kondisi kesehatannya", ujar Charles Pellegrin, koresponden France 24 di China.
"Tak ada komunikasi (dengan Tohti) yang bisa dilakukan", kata Dilnur Reyhan, President of the Uighur Institute of Europe (IODE), sekaligus mengonfirmasi pernyataan Jewher Tohti.
Sebelum Ilham Tohti dipenjara pada Januari 2014, dirinya dilaporkan pernah mendirikan situs "The UighurOnline", yang ia kelola untuk menuliskan isu sosial tentang masyarakat Uighur dan China.
Berkat tulisan-tulisannya, ia sering disorot dan disebut menimbulkan ketegangan etnis di wilayahnya.
Sejumlah tulisannya juga menjadi materi pelajaran yang ia ajarkan di Universitas Beijing.
Diberitakan France24 , para ahli (di bidangnya) menyatakan bahwa lebih dari satu juta masyarakat Uighur dan etnis muslim minoritas dikumpulkan dalam sebuah kamp di Xinjiang.
Otoritas di wilayah barat laut (di Xinjiang) dilaporkan Human Rights Watch meluncurkan sistem keamanan canggih yang menggabungkan beberapa teknologi seperti kamera pemindai wajah, kontrol wifi dan kunjungan ke rumah-rumah.
Berdasarkan Komite Perlindungan terhadap Jurnalis di New York, website milik Tohti kemudian dimatikan usai dirinya dipenjara.
Menyuarakan Masyarakat Uighur
Menurut Amnesty International, Tohti sebelumnya pernah ditahan pada tahun 2009 -di tengah peristiwa kekerasan etnis di Xinjiang- setelah menulis mengenai penahanan dan pembunuhan terhadap masyarakat Uighur selama kerusuhan.
Tohti yang bertambah umur pada Oktober tahun ini, juga memenangkan penghargaan lainnya di Eropa, Vaclav Havel Prize atas usahanya, 'menyuarakan masyarakat Uighur'.
Tohti menurut Dewan Uni Eropa - usai membacakan nominasi Tohti sebagai penerima penghargaan-, telah bekerja lebih dari 20 tahun dalam lingkungan minoritas dan membina sejumlah dialog dan pemahaman antar-etnis di China.
China sebelumnya mengecam Dewan Uni Eropa usai memberi Tohti nominasi untuk penghargaan Vaclav Havel Prize pada September 2019.
Menteri Luar Negeri China menyebut Tohti sebagai "separatis yang mendukung terorisme".
Pendapat Akademisi Jerman
Sampai saat ini, diperkirakan satu juga warga etnis Uighur mendekam di kamp-kamp konsentrasi penampungan.
Kamp-kamp yang disebut sebagai kamp ‘re-edukasi’ ini diadakan untuk para warga etnis Uighur yang mayoritas Muslim.
Kamp yang disebut menjadi kamp konsentrasi pada abad modern ini memiliki ukuran yang kecil dan tidak layak.
Para tahanan ini dengan terpaksa tinggal di ruangan yang sempit yang berjejalan dengan tahanan lainnya.
Tak hanya itu saja, mereka juga sering mendapatkan siksaan secara rutin.
Sedangkan bagi warga etnis Uighur yang bebas dilaporkan menjalani hidup dengan kontrol dan pengawasan ketat.
Pengawasan dilakukan terhadap seluruh anggota keluarga mereka.
Direktur Institut Islam Global di Universitas Frankfurt, Jerman, Prof. Dr. Susanne Schroter menyebut bahwa cara-cara yang dilakukan Pemerintah Cina merupakan aksi barbarian.
Menurutnya, hal tersebut secara lazim dilakukan oleh Partai Komunis Cina untuk memaksa minoritas tunduk terhadap ideologi negara, seperti dilaporkan Deutsche Welle, (4/12/2019).
Tribunnewswiki.com melansir hasil wawancara portal berita Deutsche Welle dengan Prof. Dr. Susanne Schroter perihal kondisi yang terjadi.
Kamp “Re-Edukasi”: Pemaksaan Ideologi?
Schroter menyebut bahwa Pemerintah China merupakan pemerintahan otoriter yang berupaya menundukkan oposisi - kaum minor - dengan menggunakan berbagai cara.
Cara-cara yang dilakukan ini tak hanya dilakukan terhadap etnis Uighur, melainkan terhadap semua kalangan yang menuntut liberalisasi ataupun demokratisasi.
“Dulu terdapat gerakan Falun-Gong yang ditumpas dengan cara-cara ekstrim, contoh lain adalah pendukung Dalai Lama di TIbet. Jadi tidak mengejutkan jika kita melihat bagaimana pemerintah China memperlakukan oposisi Uighur”, ungkap Schroter.
Pembuatan kamp-kamp yang disebut “re-edukasi” ini menurut Schroter telah menjadi satu kebiasaan dalam sejarah CIna dan Partai Komunis pada abad ke-20.
Cara yang dilakukan pemerintah China ini ditempuh untuk melakukan “pemaksaan ideologi” Partai Komunis terhadap masyarakat.
Lebih jauh lagi, strategi ini dimungkinkan akan membuat gentar oposisi.
Schroter menambahkan bahwa hal tersebut dapat membawa dampak bagi semua kelompok masyarakat yang dituduh melakukan perlawanan terhadap pemimpin politik China.
Di lain hal, bangsa Uighur dinilai aktif melakukan gerakan kemerdekaan.
Menyinggung landasan kebijakan Pemerintahan China, Schroter menerangkan bahwa “gerakan kemerdekaan” inilah yang menjadi alasan penindakan yang dilakukan pemerintah China dengan keras.
Di mata para pemimpin China, gerakan kemerdekaan tersebut dianggap sebagai bagian dari separatisme.
Tak hanya itu saja, Schroter menambahkan bahwa gerakan yang dianggap ‘separatisme’ ini kerap kali dibungkus dalam bingkai ‘Muslim’.
Schroter mengamati Gerakan Islamis Turkistan Timur yang masih diakui oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai gerakan teror.
Seperti contoh, gerakan ini pernah melancarkan beberapa aksi teror dalam beberapa tahun.
Satu di antaranya adalah ledakan bom di Stasiun Kereta Kunning tahun 2014.
Ledakan besar ini tercatat telah menewaskan 30 warga sipil.
Inilah yang kemudian menjadi alasan bagi Pemerintah China untuk membenarkan kebijakan ‘keras’ terhadap Bangsa Uighur.
Pemerintah China melakukan cara dengan melakukan tindakan-tindakan seperti: persekusi, intimidasi dan kerja paksa di kamp-kamp konsentrasi yang disebut ‘kamp re-edukasi’ tersebut.
Cara ini dilakukan Pemerintah China terhadap berbagai macam kelompok oposisi yang dianggap akan mengganggu kekuasaan.
Tak Punya Ruang Gerak
Schroter menilai bahwa Pemerintah China berhasil melakukan ini lantaran banyak warga Uighur yang tidak memiliki ruang gerak.
Hal ini terjadi lantaran adanya pengawasan seksama yang dilakukan oleh Pemerintah China.
Melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)?
Tindakan keras yang dilakukan oleh Pemerintah China disebut Schroter melanggar hak asasi manusia.
Ia juga menilai bahwa metode yang digunakan telah berhasil menundukkan aneka bentuk perlawanan.
“Inilah yang diinginkan Pemerintah China”, ungkap Schroter.
Perubahan Sikap Turki?
Menurut Schroter, kritikan terhadap Pemerintah China tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia seringnya datang dari negara-negara barat.
Ia mengambil contoh Turki yang mendukung perjuangan etnis Uighur.
Melalui Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan pernah menyebut kebijakan China sebagai bagian dari ‘genosida’.
Pernyataan ini diucapkan Erdogan pada tahun 2009, ujarnya.
Erdogan juga pernah mendukung gerakan Bangsa Uighur dengan menampung pelarian etnis tersebut dari daerah Xianjiang, China.
Usai ditampung dan mendapat suaka, Erdogan juga membebaskan mereka dalam aktivitas politik.
Namun demikian sikap Turki mulai berubah seiring berjalannya waktu.
Pada tahun 2017, Menteri Luar Negeri Turki sempat mengeluarkan kebijakan ‘keras’ terhadap warga Uighur di tempat penampungan.
Sampai saat ini, demonstrasi dan aksi politik terhadap warga Uighur tidak lagi diperbolehkan.
Beberapa yang bebal bahkan dilaporkan ditangkap.
Pada musim panas tahun 2019, Erdogan memuji kebijakan Pemerintah China saat mengunjungi kamp warga Uighur.
“Sikap Ankara sudah berubah”, ungkap Schroter.
Perubahan sikap Turki dinilai Schroter memiliki dua alasan: pertama, adalah pengaruh memburuknya hubungan Turki dengan negara barat.
Menurutnya, Turki berusaha mencari kekuatan alternatif dan memakai China sebagai sekutu baru.
Kedua, menurut Schroter adalah relasi perdagangan.
Schroter menilai Turki sedang dalam masa krisis ekonomi dan membutuhkan hubungan perdagangan yang sehat.
Alih-alih membuka pintu bagi Turki, China justru tidak tertarik apakah Erdogan membungkam oposisi - Uighur - atau tidak.
Bagaimana SIkap Negara Lain?
Satu negara yang dijadikan contoh oleh Schroter adalah Iran.
Menurutnya, China merupakan negara terbesar pengimpor minyak dari Iran.
Hal itu dimungkinkan menjadikan alasan Iran tidak melayangkan gugatan terhadap kebijakan China.
Iran juga menjadi tempat bagi China untuk berinvestasi di bidang migas.
Selanjutnya adalah Pakistan dan Arab Saudi yang turut bungkam lantaran alasan yang sama, yaitu ‘ekonomi’.
Pangeran Muhammad bin Salman sempat memuji langkah yang diambil Pemerintah China terhadap minoritas Uighur.
Schroter menyebut banyak negara-negara mayoritas Muslim yang dipimpin oleh pemerintahan otoriter sering mendapat kritik lantaran dugaan pelanggaran HAM.
Hal ini berlaku bagi negara-negara seperti, Mesir, Pakistan, Iran, Arab Saudi, dan negara-negara teluk lainnya.
Schroter menyatakan bahwa China pada dasarnya tidak tertarik dengan urusan HAM.
“Negara manapun dapat berbisnis dengan China tanpa perlu takut mendapat kritik terkait kebijakan internal masing-masing”, pungkasnya.
Sumber: tribunnewswiki.com