RIDHMEDIA - Sejumlah perwakilan ormas Islam dari PP Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah diundang langsung oleh Pemerintah China ke Xinjiang dengan 'dalih' meninjau langsung kondisi etnis Muslim Uighur. Hanya saja, sesampainya di sana tidak seusai espektasi alias tidak sampai ke Kamp-Kamp etnis Uighur.
Begitu diungkapkan Ketua Hubungan Kerja Sama Internasional PP Muhammadiyah, Muhyiddin Junaidi saat jumpa pers di Gedung PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (16/12).
Muhyidin mengurai, perwakilan ormas Islam Indonesia dari Muhammadiyah, PBNU dan MUI yang berangkat ke Xinjiang itu berjumlah 15 orang. Masing-masing ormas mengirim 5 orang diantaranya wartawan cetak dan elektronik.
Kami bertemu dengan pimpinan CIA (China Islamic Association) yang kebetulan baru atau asosiasi muslim China. Bukan seperti Muhammadiyah, NU atau MUI. Dia ini perpanjangan pemerintah karena tidak ada organisasi di China. Semua harus di bawah kontrol pemerintah di China," ungkap Muhyidin.
Setibanya di Xinjiang, sekitar pukul 08.00 malam waktu setempat, para perwakilan ormas islam ini dijamu makan malam dan memohon izin kepada Ketua CIA untuk diantarkan solat berjamaah. Namun, Ketua CIA itu mengatakan suhu udara dingin dengan alasan suhu udara 0-17 derajat celcius.
"Mulai saat itu kami mulai mencurigai. Kami masuk ke hotel, memang sudah ada direction of kiblat di tiap kamar. Tapi nampak jelas yang asli dan baru, itu berbeda," tutur Muhyidin bercerita.
Keesokan harinya, persis bada solat subuh pihak CIA mengajak perwakilan ormas Islam ke museum hingga masjid-masjid dan institute di Xinjiang (Bukan ke Kamp-Kamp). Namun, nampak (di Museum) gambar kekerasan terhadap etnis Uighur yang masuk ke re-education center (Kamp-Kamp).
"Maakin meyakinkan kami bahwa tidak ada kebebasan beragama. Freedom of Religion itu agak susah kita buktikan. Kenapa demikian? Konstitusinya mengatakan bahwa agama diterapkan di ruang-ruang tertutup tidak boleh diruang terbuka," kata Muhyidin.
Ia menuturkan, jika ibadah dilalukan di ruang terbuka dianggap radikal dan dapat dibawa ke re-education. Nantinya, jika dikirim ke Kamp-Kamp (re-education center) akan dilatih untuk sekian tahun disana agar memamhami konstitusi China dan bahasa Mandarin.
"Jadi, selama re-education tidak boleh solat, baca alquran, tidak boleh puasa, makan seadanya. Itu CCTV every corner. jadi gadget ga boleh, terputus dari dunia luar," kata Muhyidin.
"Menyedihkan, kami diskusi dengan wakil ketua CIA dia mengatakan ibadah di atas 18 tahun. Jadi solatnya dirapel 8 bulan, sekian bulan satu tahun," imbuhnya.
Sesampainya di tanah air, para utusan ormas Islam ini menemui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan menceritakan kondisi etnis Muslim Uighur di Xinjiang China.
"Setelah kami kembali (Indonesia), kami sampaikan laporan kami itu kepada Menlu bu Retno. Ada beberapa poin antara lain, kami minta Pemerintah China memberikan kebebasan umat islam untuk melaksanakan ibadah mereka secara terbuka. Karena itu dijamin oleh piagam PBB," ujar Muhyidin.
Kendati begitu, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini belum mengetahui apakah hasil laporan ormas Islam tersebut ditindaklanjuti oleh Menlu.
"Saya tidak tahu Ibu Retno sudah memanggil Dubes China atau belum atau sudah diserahkan atau belum," tuturnya.
Harapannya, Menlu Retno dapat menindaklanjuti rekomendasi dari sejumlah ormas islam ini untuk kasus kejahatan kemanusiaan di Xinjiang China tersebut.
"Mudah-mudahan Ibu Menlu sudah menyampaikan Dubes China yang bertugas di Indonesia," kata Muhyidin.(rmol)