Muhammadiyah Benarkan Terjadi Perampasan terhadap Kebebasan Beragama Muslim Uighur

Ridhmedia
19/12/19, 04:16 WIB
RIDHMEDIA - Muhyiddin Junaidi, ketua delegasi ormas Islam dalam kunjungan ke Xinjiang, Cina pada Februari lalu, mengungkapkan bahwa terjadi perampasan hak beragama terhadap muslim Uighur di Xinjiang, Cina.

Dalam kunjungan itu, Muhyiddin menceritakan dirinya bertemu wakil ketua Cina Islamic Association (CIA), dan rombonga langsung diajak ke sebuah tempat yang dinamakan “Museum Tindak Kekerasan oleh Masyarakat Uighur terhadap Sipil Xinjiang”.

“Gambar yamg ditampilkan itu saya tidak tau apakah itu betul kekerasan yang dilakukan oleh saudara kita etnis Uighur. Tapi dari nama, nampak jelas bahwa mereka adalah orang Uighur yang sudah terpapar paham radikal, dan sudah melakukan tindak kekerasan, kerjasama dengan ISIS,” sebut Muhyiddin.

Ia menyebut, selama kurang lebih satu jam, rombongan ormas Islam dijelaskan panjang lebar tentang perlakuan etnis Uighur.

Secara tegas, Muhyiddin memaparkan bahwa tidak ada kebebasan beragama terhadap muslim Uighur di Xinjiang.

“Kunjungan ke beberapa tempat, masjid, ke institut agama Islam, semakin meyakinkan kami, bahwa sesungguhnya memang tidak ada kebebasan beragama,” tegasnya.

Muhyiddin mengutip konstitusi Cina bab 2 artikel 38 yang secara jelas dikatakan, bahwa pemerintah Cina memberikan kebebasan kepada warganya untuk beragama dan tidak beragama. Berbeda dengan konstitusi Indonesia, nomor satu adalah Ketuhanan yang Maha Esa.

“Dalam konstitusi dikatakan, agama hanya boleh dipraktekkan di ruang tertutup tidak boleh di ruang terbuka,” ujarnya.

Ia pun menceritakan tentang Re-education Center atau camp reedukasi. Isinya adalah para pemuda dengan rentang umur sampai 50 tahun. Mereka adalah masyarakat Uighur yang kedapatan menampakkan identitas keislamannya dan secara demonstratif, terbuka menjalankan ajaran Islam.

“Jika anda menggunakan jilbab ke luar jalan, anda dianggap radikal. kalau anda radikal, anda berhak dikirim ke camp-camp re-education center, dilatih selama satu tahun, agar anda paham konstitusi Cina dan paham bahasa Mandarin. Karena pada umumnya orang Uighur tidak paham tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Mandarin,” terangnya.

“Di camp re-edukasi center tidak boleh sholat, baca Qur’an, puasa. Makan apa adanya disajikan oleh pemerintah. Itu cctv di setiap sudut,” lanjutnya.

Di camp tersebut, semua terkontrol, baik makan, minum, bacaan, terlebih, masyarakat Uighur yang “dipenjara” di camp itu tidak dibolehkan membawa gawai, sehingga otomatis terputus dari dunia luar.

“Kalau anda sholat, dianggap radikal jika sholat di ruang terbuka. Jika anda bekerja di sebuah kantor di sana, hari Jum’at dan anda ingin sholat Jum’at, maka itu dianggap radikal,” ujarnya.

Karenanya, sholat jumat dipenuhi oleh kakek-kakek dengan seragam yang sama. Tidak ada anak kecil, anak muda, karena konstitusi Cina melarangnya.

“Beragama setelah 18 tahun baru boleh. Kalau seorang ibu mengajarkan anaknya tentang agama di rumah, dianggap radikal. Ini hampir mirip dengan di daerah sana, jadi perlu kita pahami. Karenanya Muhammadiyah tidak percaya dengan deradikalisasi,” tegasnya.

Yang paling parah, Muhyiddin menjelaskan bahwa masyarakat Uighur di Re-education Center itu hanya diperbolehkan sholat dalam satu waktu. Dalam setahun, Cina membolehkan “tahanan” untuk merapel sholat.

“Menyedihkan. Kami diskusi dengan wakil ketua CIA, dia bilang sholatnya dirapel 8 bulan, 1 bulan, 1 minggu sekali. Kalau orang di camp Re-education itu dirapel sholatnya satu tahun. Versi mereka boleh-boleh saja,” ujarnya.

Sepulangnya dari kunjungan ke Xinjiang, rombongan ormas islam pun memberi laporan dan rekomendasi ke Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi. Di antara rekomendasi adalah, mendesak pemerintah Cina untuk memberi kebebasan kepada umat Islam untuk melaksanakan ibadah mereka secara terbuka, sebagaimana dijamin oleh piagam PBB.

“Ada banyak poinnya ke bu Retno. Tetapi kita tidak tahu apakah bu Retno sudah memanggil Dubes Cina atau belum, atau sudah diserahkan apa belum,” ujarnya.

Muhyiddin pun beralasan mengapa sepulangnya dari Xinjiang, rombongan delegasi tidak langsung mengadakan konferensi pers. Ia menyebut, setelah berdiskusi dengan Menlu, dengan adanya konferensi pers, dikhawatirkan terjadi pro-kontra di tengah masyarakat.

“Kami positive thinking mudah-mudahan ibu Menlu sudah menyampaikan itu kepada Dubes Cina yang bertugas di Indonesia,” ujarnya.

Terakhir, Muhyiddin menegaskan bahwa tuduhan Wall Street Journal tidak benar. Ia tegas menyatakan bahwa rombongan delegasi tidak menerima apa-apa dari China.

“Dana yang kami habiskan lebih banyak daripada yang diberikan untuk minum kopi di airport. Kami tegaskan no money, no corruption, nothing. Kami InsyaAllah ormas Islam tetap istiqamah tidak akan menjual harga agama dengan nilai yang sangat murah,” tutupnya.

Sumber: kiblat.net
Komentar

Tampilkan

Terkini