RIDHMEDIA - Anggota Komisi I DPR Willy Aditya angkat bicara mengenai pembantaian etnis Uighur di Xinjiang, China. Dia mengatakan masalah etnis Uighur harus dilihat dari konteks kesejarahan yang menyertainya.
Selain itu, dialektika perang dagang antara AS dengan China juga tidak bisa dinafikan. Belum lagi ancaman terorisme, juga membayangi hubungan antara Beijing dengan negara bagian di wilayah barat ini.
“Ada konteks resistensi dan politik budaya, bahasa yang juga diekspresikan oleh Uighur terhadap pemerintahan China. Hal ini dihadapi oleh Pemerintah China dengan isu radikalisme, separatisme, hingga terorisme. Jadi bukan cuma konteks keagamaan saja yang terjadi,” terang Willy kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (17/12).
Keluarnya UU Kebijakan HAM terkait Etnis Uighur (Uyghur Human Rights Policy Act of 2019) oleh Kongres Amerika pada 3 Desember 2019 lalu, menurutnya, juga tidak bisa berdiri sendiri. UU tersebut memiliki konteks yang tidak bisa dilepaskan dari situasi ekonomi-politik yang menyertai dua negara tersebut.
China sendiri, menurut Willy, tidak pernah menjadikan kondisi HAM negara tujuan kerja sama sebagai pertimbangan. Apalagi sebagai cara untuk menundukkan negara tertentu dalam membangun kesepakatan bisnis.
Hal ini sangat berbeda dengan Amerika yang dalam beberapa kasus persaingan bisnisnya, bisa bermanuver dengan isu HAM. Bahkan dalam UU Uighur ini, Amerika memberi legitimasi dan dorongan besar bagi media di sana untuk membuat laporan-laporan terkait kasus tersebut.
“Kepentingan Indonesia terhadap Uighur berbeda dengan kepentingan Amerika dan negara sekutunya. Kepentingan kita adalah menjaga perdamaian dunia, UUD 1945 tegas mengamanatkan hal itu,” lanjut politikus dari Partai Nasdem ini.
Dia menegaskan, sikap Indonesia terhadap kasus Uighur tidak boleh didasarkan pada sentimen-sentimen yang justru dapat merugikan semua pihak. Membela hak asasi manusia warga Uighur harus ditandaskan pada prinsip kemanusian dan imparsialitas.
“Kita bisa belajar dari perubahan sikap Turki menanggapi kasus Uighur ini. Dari sebelumnya mendukung suara Amerika dan memojokan China berubah total. Setelah 2017 justru mendukung suara China karena ada kepentingan politik-ekonominya. Kita tidak boleh mengedepankan kepentingan pragmatis semacam itu,” tutupnya. [rmol]
Selain itu, dialektika perang dagang antara AS dengan China juga tidak bisa dinafikan. Belum lagi ancaman terorisme, juga membayangi hubungan antara Beijing dengan negara bagian di wilayah barat ini.
“Ada konteks resistensi dan politik budaya, bahasa yang juga diekspresikan oleh Uighur terhadap pemerintahan China. Hal ini dihadapi oleh Pemerintah China dengan isu radikalisme, separatisme, hingga terorisme. Jadi bukan cuma konteks keagamaan saja yang terjadi,” terang Willy kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (17/12).
Keluarnya UU Kebijakan HAM terkait Etnis Uighur (Uyghur Human Rights Policy Act of 2019) oleh Kongres Amerika pada 3 Desember 2019 lalu, menurutnya, juga tidak bisa berdiri sendiri. UU tersebut memiliki konteks yang tidak bisa dilepaskan dari situasi ekonomi-politik yang menyertai dua negara tersebut.
China sendiri, menurut Willy, tidak pernah menjadikan kondisi HAM negara tujuan kerja sama sebagai pertimbangan. Apalagi sebagai cara untuk menundukkan negara tertentu dalam membangun kesepakatan bisnis.
Hal ini sangat berbeda dengan Amerika yang dalam beberapa kasus persaingan bisnisnya, bisa bermanuver dengan isu HAM. Bahkan dalam UU Uighur ini, Amerika memberi legitimasi dan dorongan besar bagi media di sana untuk membuat laporan-laporan terkait kasus tersebut.
“Kepentingan Indonesia terhadap Uighur berbeda dengan kepentingan Amerika dan negara sekutunya. Kepentingan kita adalah menjaga perdamaian dunia, UUD 1945 tegas mengamanatkan hal itu,” lanjut politikus dari Partai Nasdem ini.
Dia menegaskan, sikap Indonesia terhadap kasus Uighur tidak boleh didasarkan pada sentimen-sentimen yang justru dapat merugikan semua pihak. Membela hak asasi manusia warga Uighur harus ditandaskan pada prinsip kemanusian dan imparsialitas.
“Kita bisa belajar dari perubahan sikap Turki menanggapi kasus Uighur ini. Dari sebelumnya mendukung suara Amerika dan memojokan China berubah total. Setelah 2017 justru mendukung suara China karena ada kepentingan politik-ekonominya. Kita tidak boleh mengedepankan kepentingan pragmatis semacam itu,” tutupnya. [rmol]