Ridhmedia - Presiden Joko Widodo dinilai terlalu berlebihan menyikapi pelanggaran yang dilakukan kapal nelayan China di Laut Natuna Utara.
Kenapa dalam kasus Natuna saya sempat bilang bahwa Jokowi over acting? Karena dia mesti ke Natuna. Ini cuma urusan kapal nelayan dan dikawal coast guard demi kepentingan nasionalnya China," ucap analis pertahanan dan militer, Connie Rahakundini Bakrie saat diskusi publik bertema Tantangan Geopolitik Indonesia Dalam Perspektif Global dan Kawasan di Kantor DPP Perkumpulan Gerakan Kebangsaan, Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat (17/1).
Padahal, kata Connie, kejadian yang sama juga pernah terjadi di Laut China Timur. Namun, Presiden Jepang saat itu tak turun langsung layaknya Jokowi.
Waktu di Laut China Timur Presiden Jepang enggak turun tuh. Maksud saya, buat apa? (Jokowi ke Natuna)" katanya.
Bahkan belakangan, kehadiran Jokowi ke Natuna digunakan pihak tertentu untuk menggiring opini seakan-akan pemerintah China takut dengan Presiden Jokowi.
"Apalagi media yang mengangkat Jokowi ke sana (seakan menyebut) China kabur. Kalau memang bisa begitu, saya tuntut Kementerian Pertahanan. Kita bikin kementerian boneka Jokowi, berikan gambar Jokowi dan taruh di semua kapal, takut kan China," tegasnya.
"Jadi menurut saya itu ada yang salah dari cara kita melihatnya," sambungnya.
Baginya, persoalan di Natuna Utara terjadi akibat beberapa hal. Salah satunya karena Indonesia bingung cara menyelesaikan persoalan tersebut.
"Ada tiga aspek. Satu, klaim sejarah, dua UNCLOS 1982, dan okupansi dan hak tradisional. Jadi ini (istilahnya) ada yang ngomongin kacamata, ada yang ngomongin buku, ada yang ngomongin pulpen," terangnya.
Selain itu, Connie berharap pemerintah harus berfikir menggunakan pendekatan lain lantaran Indonesia berpatokan pada UNCLOS 1982, sedangkan China berlandaskan history claim.
"Kenapa kita enggak mikir menggunakan elemen historical untuk mempererat komunikasi, kolaborasi, dan juga interaksi antarsesama negara kawasan," jelasnya.(rmol)