Oleh: Arif S
Selama hampir dua tahun, para nasabah mengeluh karena tidak pernah bisa menagih haknya untuk polis yang telah jatuh tempo.
Musibah banjir di kawasan Jadebotabek sudah mulai surut. Meski di beberapa wilayah masih ada sedikit genangan dan para pengungsi, secara umum kondisi jalanan dan kawasan perumahan sudah pulih alias normal.
Berdasarkan keterangan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) jumlah korban jiwa banjir di Jadebotabek dan Banten mencapai 60 orang. Korban terbanyak ada di Kabupaten Bogor, yakni mencapai 16 orang.
Lalu Jakarta 9 orang, Lebak 8 orang, serta Depok dan Kabupaten Bekasi masing-masing tiga orang. Ada lagi korban di Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, Kota Bogor, dan sejumlah korban yang hilang dan belum bisa dipastikan identtasnya.
Lokasi banjir terbanyak ada di Kota Bekasi, yaitu 58 titik. Kemudian Jakarta Selatan ada 39 titik, Kabupaten Bekasi 27 titik, Lebak dan Jakarta Timur masing-masing 13 titik, Kabupaten Bogor 12 titik, dan Jakarta Barat 7 titik. Wilayah lain meliputi Tangerang Selatan, Kota Tangerang, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara masing-masing di bawah 5 titik.
Kerugian materi tentu saja ada. Namun, sejauh ini belum ada yang melakukan penghitungan dari pihak yang berwenang.
Lantaran banjir sudah sirna, saya ingin mengalihkan perhatian ke persoalan sebelumnya yang ramai jadi pergunjingan pelbagai pihak. Masalah ini perlu terus dikawal karena menyangkut kepentingan masyarakat luas juga, yakni tentang PT Jiwasraya. Perusahaan asuransi jiwa milik pemerintah itu tiba-tiba meledak dan mengagetkan banyak pihak.
Terungkapnya borok di Jiwasraya sungguh terasa aneh. Perusahaan yang tergolong sehat ini mendadak diberitakan mengalami kerugian Rp10,2 triliun di tahun 2018. Sudah barang tentu ini menimbulkan tanda tanya besar. Persoalan menjadi kian ramai saat Presiden Joko Widodo mengutarakan, kondisi Jiwasraya itu sudah terjadi sejak 10 tahun lalu.
Keruan saja pernyataan presiden itu membuat suasana kian riuh dan banyak pihak menuding hal itu dianggap tak didasarkan data yang akurat. Dalam catatan banyak pihak, Jiwasraya memang menanggung beban utang Rp6 triliun. Akan tetapi itu terjadi pada tahun 2004. Utang itu salah satunya dipicu karena krisis moneter pada 1998.
Secara bertahap, utang itu akhirnya bisa terselesaikan. Pada akhir tahun 2009, utang itu bisa terbayar dan dinyatakan lunas. Ini berarti tak ada lagi tanggung yang menjadi beban Jiwasraya.
Mulailah Jiwasraya melewati jalan mulus untuk kembali mengeruk laba. Pada tahun 2010, keuntungan mulai diraih dengan nilai Rp201 miliar. Laba terus merangkak naik. Pada 2011, Jiwasraya mengantongi keuntungan Rp394 miliar. Sempat sedikit merosot pada tahun 2012 (Rp268 miliar), laba perusahaan melejit jadi Rp457 miliar di tahun 2013.
Laba Jiwasraya dalam tiga tahun berikutnya kian meroket. Mulai Rp 661 miliar pada 2014, lalu Rp1,048 triliun pada 2015, kemudian naik dua kali lipat menjadi Rp2,14 triliun di tahun 2016.
Anehnya, pada tahun 2017 tiba-tiba keuntungan Jiwasraya merosot drastis menjadi hanya Rp328 miliar. Mestinya hal ini sudah menjadi tanda tanya dan sorotan banyak pihak. Akan tetapi, kala itu, praktis tak ada suara kritis yang mempersoalkannya.
Dengan tren laba yang terus memperlihatkan peningatan dan kinerja perusahaan yang membaik, sungguh janggal bila laba seketika runtuh. Tidak terdeteksinya anjloknya laba Jiwasraya pada saat itu memperlihatkan tidak terbukanya informasi dari lembaga terkait. Bisa jadi pula daya kritis pengamat dan khalayak pada saat itu tertutup oleh kemilau prestasi semu dari kiprah pemerintah dan badan usaha milik negara (BUMN) lain yang seolah bersinar terang. Padahal, faktanya ada kabut gelap yang menyelimutinya.
Lebih mengejutkan tatkala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan, pada 2018, Jiwasraya mengalami defisit Rp10,2 triliun. Tanda tanya besar langsung muncul di benak masyarakat luas. Jika hanya karena problem kinerja semata, nyaris tidak mungkin perusahaan asuransi mengalami kerugian (loss) sebesar itu dalam sekejap.
Laba perusahaan asuransi akan mengecil bila sering terjadi klaim dari nasabahnya. Klaim ini biasanya akan dikurangi bebannya karena perusahaan asuransi lazimnya membagi risiko dengan mereasuransikan nilai (nasabah) yang dipertanggungkan. Jika terjadi kerugian atau risiko, maka ganti rugi akan dibayarkan oleh perusahaan asuransi dan juga reasuransi yang ikut menanggung risiko tadi.
Lagi pula, Jiwasraya adalah perusahaan asuransi jiwa (life). Nilai pertanggungan asuransi jiwa biasanya berada di bawah angka Rp10 miliar walau sejatinya manusia tak bisa dinilai dengan nominal berapa pun. Ini beda dengan asuransi kerugian. Dalam asuransi kerugian, yang dipertanggungkan adalah properti atau kepemilikan. Bisa saja nilai pertanggungannya mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Bahkan bukan tidak mungkin nilainya hingga triliunan rupiah jika itu sebuah perusahaan dengan aset besar.
Itu sebabnya, jika terjadi loss atau kerugian, misalnya kebakaran atau musibah lainnya, maka perusahaan asuransi harus mengeluarkan dana untuk membayar atau ganti rugi nasabah yang mengalami kebakaran tadi. Sekalipun beban itu juga ditanggung oleh perusahaan reasuransi, namun klaim yang dibayarkan perusahaan asuransi tetap cukup besar.
Pengecualian bisa saja terjadi jika perusahaan asuransi itu nekat atau nakal. Misalnya, perusahaan asuransi itu tidak mau membagi risiko ke reasuransi. Akibatnya, nilai properti yang diasuransikan akan ditanggung sendiri. Jika terjadi musibah (loss), maka semua klaim harus dipikul sendiri, tanpa ada perusahaan reasuransi yang ikut membagi/membayar beban risiko dari nilai pertanggungan yang diasuransikan.
Kerugian yang harus dibayarkan perusahaan asuransi jiwa bisa saja bernilai besar bila terjadi musibah yang menewaskan banyak orang dan kebetulan semuanya diasuransikan. Namun, hal semacam ini sangat jarang terjadi.
Dengan mekasnisme kerja seperti itu, adalah sebuah kemustahilan jika mendadak Jiwasraya mengalami kerugian dalam jumlah besar. Bisa jadi perusahaan itu melakukan investasi yang bersifak spekulatif dengan nilai luar biasa besar. Kalaupun ini terjadi, berarti dewan komisaris tak melakukan pengawasan dengan baik. Berarti pula ada pelanggaran dalam pengelolaan keuangan perusahaan.
Apabila bukan lantaran investasi salah arah yang terjadi, maka kemungkinan lain adalah terjadinya penjarahan terhadap keuangan Jiwasraya. Apa pun yang terjadi, aparat yang berwenang harus mengusut secara tuntas dan terbuka kasus ini. Masyarakat berhak tahu. Ada ratusan ribu (bukan tidak mungkin jutaan) yang menjadi nasabah Jiwasraya. Para nasabah ini harus mendapat informasi dengan benar.
Selama hampir dua tahun, para nasabah mengeluh karena tidak pernah bisa menagih haknya untuk polis yang telah jatuh tempo. Tahu-tahu, nasabah dikejutkan setelah mendengar adanya ledakan dinamit dalam kasus Jiwasraya.
Apalagi santer terdengar atau tudingan, bahwa dana Jiwasraya mengalir jauh hingga ke lingkaran istana. Suda pasti, aparat harus bisa mengungkap benar-tidaknya tudingan yang telah jadi gunjingan khalayak ini. Konyolnya lagi, mantan direktur keuangan Jiwasraya, Hary Prasetyo, pernah menjadi anggota Kantor Staf Kepresidenan.
Kejaksaan Agung telah pula melakukan penyidikan pada tahap awal. Indikasi kerugian yang ditemukan tak hanya Rp10,2 triliun namun diperkirakan lebih dari Rp13,7 triliun. Ke mana larinya dana Jiwasraya yang juga merupakan uang nasabah (rakyat) haruslah diungkap dengan terang-benderang. Jangan lagi ada kabut atau tirai yang menjadi penghalang pandangan bagi rakyat dalam kasus ini.
Dana Jiwasraya adalah dari rakyat yang menjadi nasabah. Ibaratnya, dana itu juga bagian dari jiwa dan raga rakyat di negeri ini. Meski rakyat akan selalu rela berkorban demi panggilan negeri, namun janganlah selalu rakyat yang dikorbankan. Bagi rakyat: Jiwasraya adalah milik kami. Ibaratnya, bagimu negeri, Jiwasraya kami. (Arif S/indonesiainside.id)
Selama hampir dua tahun, para nasabah mengeluh karena tidak pernah bisa menagih haknya untuk polis yang telah jatuh tempo.
Musibah banjir di kawasan Jadebotabek sudah mulai surut. Meski di beberapa wilayah masih ada sedikit genangan dan para pengungsi, secara umum kondisi jalanan dan kawasan perumahan sudah pulih alias normal.
Berdasarkan keterangan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) jumlah korban jiwa banjir di Jadebotabek dan Banten mencapai 60 orang. Korban terbanyak ada di Kabupaten Bogor, yakni mencapai 16 orang.
Lalu Jakarta 9 orang, Lebak 8 orang, serta Depok dan Kabupaten Bekasi masing-masing tiga orang. Ada lagi korban di Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, Kota Bogor, dan sejumlah korban yang hilang dan belum bisa dipastikan identtasnya.
Lokasi banjir terbanyak ada di Kota Bekasi, yaitu 58 titik. Kemudian Jakarta Selatan ada 39 titik, Kabupaten Bekasi 27 titik, Lebak dan Jakarta Timur masing-masing 13 titik, Kabupaten Bogor 12 titik, dan Jakarta Barat 7 titik. Wilayah lain meliputi Tangerang Selatan, Kota Tangerang, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara masing-masing di bawah 5 titik.
Kerugian materi tentu saja ada. Namun, sejauh ini belum ada yang melakukan penghitungan dari pihak yang berwenang.
Lantaran banjir sudah sirna, saya ingin mengalihkan perhatian ke persoalan sebelumnya yang ramai jadi pergunjingan pelbagai pihak. Masalah ini perlu terus dikawal karena menyangkut kepentingan masyarakat luas juga, yakni tentang PT Jiwasraya. Perusahaan asuransi jiwa milik pemerintah itu tiba-tiba meledak dan mengagetkan banyak pihak.
Terungkapnya borok di Jiwasraya sungguh terasa aneh. Perusahaan yang tergolong sehat ini mendadak diberitakan mengalami kerugian Rp10,2 triliun di tahun 2018. Sudah barang tentu ini menimbulkan tanda tanya besar. Persoalan menjadi kian ramai saat Presiden Joko Widodo mengutarakan, kondisi Jiwasraya itu sudah terjadi sejak 10 tahun lalu.
Keruan saja pernyataan presiden itu membuat suasana kian riuh dan banyak pihak menuding hal itu dianggap tak didasarkan data yang akurat. Dalam catatan banyak pihak, Jiwasraya memang menanggung beban utang Rp6 triliun. Akan tetapi itu terjadi pada tahun 2004. Utang itu salah satunya dipicu karena krisis moneter pada 1998.
Secara bertahap, utang itu akhirnya bisa terselesaikan. Pada akhir tahun 2009, utang itu bisa terbayar dan dinyatakan lunas. Ini berarti tak ada lagi tanggung yang menjadi beban Jiwasraya.
Mulailah Jiwasraya melewati jalan mulus untuk kembali mengeruk laba. Pada tahun 2010, keuntungan mulai diraih dengan nilai Rp201 miliar. Laba terus merangkak naik. Pada 2011, Jiwasraya mengantongi keuntungan Rp394 miliar. Sempat sedikit merosot pada tahun 2012 (Rp268 miliar), laba perusahaan melejit jadi Rp457 miliar di tahun 2013.
Laba Jiwasraya dalam tiga tahun berikutnya kian meroket. Mulai Rp 661 miliar pada 2014, lalu Rp1,048 triliun pada 2015, kemudian naik dua kali lipat menjadi Rp2,14 triliun di tahun 2016.
Anehnya, pada tahun 2017 tiba-tiba keuntungan Jiwasraya merosot drastis menjadi hanya Rp328 miliar. Mestinya hal ini sudah menjadi tanda tanya dan sorotan banyak pihak. Akan tetapi, kala itu, praktis tak ada suara kritis yang mempersoalkannya.
Dengan tren laba yang terus memperlihatkan peningatan dan kinerja perusahaan yang membaik, sungguh janggal bila laba seketika runtuh. Tidak terdeteksinya anjloknya laba Jiwasraya pada saat itu memperlihatkan tidak terbukanya informasi dari lembaga terkait. Bisa jadi pula daya kritis pengamat dan khalayak pada saat itu tertutup oleh kemilau prestasi semu dari kiprah pemerintah dan badan usaha milik negara (BUMN) lain yang seolah bersinar terang. Padahal, faktanya ada kabut gelap yang menyelimutinya.
Lebih mengejutkan tatkala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan, pada 2018, Jiwasraya mengalami defisit Rp10,2 triliun. Tanda tanya besar langsung muncul di benak masyarakat luas. Jika hanya karena problem kinerja semata, nyaris tidak mungkin perusahaan asuransi mengalami kerugian (loss) sebesar itu dalam sekejap.
Laba perusahaan asuransi akan mengecil bila sering terjadi klaim dari nasabahnya. Klaim ini biasanya akan dikurangi bebannya karena perusahaan asuransi lazimnya membagi risiko dengan mereasuransikan nilai (nasabah) yang dipertanggungkan. Jika terjadi kerugian atau risiko, maka ganti rugi akan dibayarkan oleh perusahaan asuransi dan juga reasuransi yang ikut menanggung risiko tadi.
Lagi pula, Jiwasraya adalah perusahaan asuransi jiwa (life). Nilai pertanggungan asuransi jiwa biasanya berada di bawah angka Rp10 miliar walau sejatinya manusia tak bisa dinilai dengan nominal berapa pun. Ini beda dengan asuransi kerugian. Dalam asuransi kerugian, yang dipertanggungkan adalah properti atau kepemilikan. Bisa saja nilai pertanggungannya mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Bahkan bukan tidak mungkin nilainya hingga triliunan rupiah jika itu sebuah perusahaan dengan aset besar.
Itu sebabnya, jika terjadi loss atau kerugian, misalnya kebakaran atau musibah lainnya, maka perusahaan asuransi harus mengeluarkan dana untuk membayar atau ganti rugi nasabah yang mengalami kebakaran tadi. Sekalipun beban itu juga ditanggung oleh perusahaan reasuransi, namun klaim yang dibayarkan perusahaan asuransi tetap cukup besar.
Pengecualian bisa saja terjadi jika perusahaan asuransi itu nekat atau nakal. Misalnya, perusahaan asuransi itu tidak mau membagi risiko ke reasuransi. Akibatnya, nilai properti yang diasuransikan akan ditanggung sendiri. Jika terjadi musibah (loss), maka semua klaim harus dipikul sendiri, tanpa ada perusahaan reasuransi yang ikut membagi/membayar beban risiko dari nilai pertanggungan yang diasuransikan.
Kerugian yang harus dibayarkan perusahaan asuransi jiwa bisa saja bernilai besar bila terjadi musibah yang menewaskan banyak orang dan kebetulan semuanya diasuransikan. Namun, hal semacam ini sangat jarang terjadi.
Dengan mekasnisme kerja seperti itu, adalah sebuah kemustahilan jika mendadak Jiwasraya mengalami kerugian dalam jumlah besar. Bisa jadi perusahaan itu melakukan investasi yang bersifak spekulatif dengan nilai luar biasa besar. Kalaupun ini terjadi, berarti dewan komisaris tak melakukan pengawasan dengan baik. Berarti pula ada pelanggaran dalam pengelolaan keuangan perusahaan.
Apabila bukan lantaran investasi salah arah yang terjadi, maka kemungkinan lain adalah terjadinya penjarahan terhadap keuangan Jiwasraya. Apa pun yang terjadi, aparat yang berwenang harus mengusut secara tuntas dan terbuka kasus ini. Masyarakat berhak tahu. Ada ratusan ribu (bukan tidak mungkin jutaan) yang menjadi nasabah Jiwasraya. Para nasabah ini harus mendapat informasi dengan benar.
Selama hampir dua tahun, para nasabah mengeluh karena tidak pernah bisa menagih haknya untuk polis yang telah jatuh tempo. Tahu-tahu, nasabah dikejutkan setelah mendengar adanya ledakan dinamit dalam kasus Jiwasraya.
Apalagi santer terdengar atau tudingan, bahwa dana Jiwasraya mengalir jauh hingga ke lingkaran istana. Suda pasti, aparat harus bisa mengungkap benar-tidaknya tudingan yang telah jadi gunjingan khalayak ini. Konyolnya lagi, mantan direktur keuangan Jiwasraya, Hary Prasetyo, pernah menjadi anggota Kantor Staf Kepresidenan.
Kejaksaan Agung telah pula melakukan penyidikan pada tahap awal. Indikasi kerugian yang ditemukan tak hanya Rp10,2 triliun namun diperkirakan lebih dari Rp13,7 triliun. Ke mana larinya dana Jiwasraya yang juga merupakan uang nasabah (rakyat) haruslah diungkap dengan terang-benderang. Jangan lagi ada kabut atau tirai yang menjadi penghalang pandangan bagi rakyat dalam kasus ini.
Dana Jiwasraya adalah dari rakyat yang menjadi nasabah. Ibaratnya, dana itu juga bagian dari jiwa dan raga rakyat di negeri ini. Meski rakyat akan selalu rela berkorban demi panggilan negeri, namun janganlah selalu rakyat yang dikorbankan. Bagi rakyat: Jiwasraya adalah milik kami. Ibaratnya, bagimu negeri, Jiwasraya kami. (Arif S/indonesiainside.id)