OLEH: YUDHI HERTANTO
APAKAH BUMN alias perusahaan negara bisa bangkrut? Tentu saja. Tidak hanya perusahaan negara, bahkan sebuah negara pun bisa saja berada dalam situasi pailit. Terutama ketika gagal mewujudkan tujuani berbangsa dan bernegara.
Kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan adalah narasi besar dari pondasi kehidupan bersama. Termasuk dalam kemampuan untuk melakukan pengelolaan sumber-sumber ekonomi.
Tekor atau defisit berkelanjutan, adalah kondisi yang menjelaskan bila arus kas negatif, ketika uang masuk lebih sedikit dari biaya yang dikeluarkan. Pailit merupakan konsekuensi dari ketidakmampuan mengelola prioritas ekonomi.
BUMN sebagaimana organisasi perusahaan tidak terlepas dari hukum ekonomi yang mengatur persoalan penawaran dan permintaan -supply and demand. Pembedanya dari perusahaan pada umumnya, BUMN dimiliki negara cum pemerintah.
Keberadaan BUMN, terlahir sebagai bentuk dari kerangka kerja pemerintah, untuk dapat memberikan perlindungan kepentingan bagi urusan publik. Konsep utamanya, yakni mengelola persoalan yang terkait dengan hajat publik secara meluas.
Dengan demikian, BUMN sebagai bagian dari instrumen usaha negara, ditujukan bagi optimalisasi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Bentuk lingkup negara dan pemerintahan, akan mempengaruhi praktik serta arah kerja BUMN.
Membandingkan sepintas BUMN China, Singapura, dan Indonesia, akan terlihat bagaimana perbedaan model gerak strategisnya. Karakteristik China sebagai negara komunis, membuat BUMN Tiongkok sangat sentralistik. Sementara di Singapura, BUMN negeri singa itu lincah bak pelaku bisnis swasta. Sedang di Indonesia, BUMN banyak menjadi back up kepentingan kekuasaan -kapitalisme kroni.
Tarikan Pasar dan Politik
Layaknya sebuah badan usaha, maka BUMN memiliki tugas dan fokus prioritas untuk mendorong terciptanya efek distribusi keadilan dalam format kesejahteraan. Karena itu, BUMN akan berada dalam tarikan kepentingan pasar dan politik.
Pertama: BUMN harus mumpuni dalam melaksanakan bisnis dan usaha yang menjamin terpenuhinya kebutuhan publik. Kedua: pada saat bersamaan, BUMN dituntut untuk mampu mandiri dan berkembang, serta memberikan kontribusi bagi pendapatan negara.
Pertanyaannya, apakah negara bisa bertransaksi dan mengambil keuntungan dari masyarakat? Tentu saja. Pelayanan publik adalah bentuk transaksi. Lalu mencari profit? Jelas bisa. Tapi menempatkan keuntungan tersebut, untuk dikembalikan lagi dalam bentuk perbaikan kualitas pemberian layanan publik.
Orientasi keuntungan itu, akan mudah terlihat dari perkembangan arah lini bisnis BUMN, yang semakin variatif. Dibutuhkan kombinasi pengelolaan bisnis dengan kerangka kebijakan untuk menjadikan kehendak serta hajat publik sebagai hal utama.
Secara praktis, negara membutuhkan pembiayaan untuk menghidupkan seluruh program kerjanya. Pajak dan setoran penghasilan dari BUMN menjadi penyokong pembiayaan negara.
Perdebatan konsep negara dan bisnis, adalah sebuah bagian dari diskusi klasik. Pendekatan ekonomi klasik, yang menempatkan peran negara diluar kekuatan pasar, membuat pemahaman tentang faktor koreksi dalam keseimbangan ekonomi melalui invisible hand.
Negara yang baik, dalam pandangan klasik, adalah institusi bebas, serta mengatur secara lebih sedikit -laissez faire. Pasar menjadi pusat penentu meregulasi dirinya sendiri, sementara peran negara terpisah dan sangat terbatas.
Hal tersebut, berbeda dari Keynesian, bahwa intervensi negara justru diperlukan. Karena pasar tidak mampu berlaku sempurna. Kehadiran negara menjadi dibutuhkan, untuk memastikan berfungsi serta bekerjanya pasar guna menjawab hajat publik.
Pendulum Kesejahteraan
Disini letak kerumitan bermula, menyeimbangkan upaya mengejar profit sekaligus menjalankan public service obligation tidaklah mudah, kerap berhadapan dengan perspektif pragmatis bagi kepentingan kekuasaan.
Mengapa? Karena bisnis ini mengelola urusan hajat publik, maka potensi valuasi dari nilai yang dikelola menjadi sedemikian besar. Nominal tersebut, menjadi gula bagi banyak kepentingan lain, selain kepentingan publik.
Sudah sejak lama, inefisiensi di BUMN diendus sebagai penyebab gagalnya pengelolaan bisnis negara diberbagai sektor, yang relatif bersifat monopolistik. Institusi usaha milik pemerintah tersebut kerap lamban bergerak, tidak adaptif pada perubahan, bukan tanpa sebab, bisa jadi ada kepentingan dibalik itu.
Menjalankan kerja BUMN, membutuhkan tidak hanya profesionalitas, juga integritas, dan sikap kenegarawanan, yang menempatkan BUMN sebagai bekal bagi lapisan generasi penerus di masa depan.
Tawaran klasik bila BUMN kemudian berhadapan dengan kegagalan bisnis, maka resep tawaran yang diajukan pada aktivitas besar, yakni restrukturisasi menuju privatisasi. Diberikan peluang pengelolaan kepada tangan swasta, untuk melakukan perubahan badan usaha menjadi lebih gesit, efektif serta efisien. Pada titik ini, hajat publik kemudian diserahkan kembali melalui mekanisme pasar.
Dengan itu, prioritas kepentingan publik, menjadi kembali pada kalkulasi komersial. Padahal kekuasaan hadir untuk menghadirkan solusi dari peliknya menjawab problematika kebutuhan publik.
Menarik, melihat kembali bagaimana Amartya Sen penerima Nobel Ekonomi, yang mendapatkan temuan penelitian bahwa bencana kelaparan di suatu negara, terjadi bukanlah disebabkan karena musibah, melainkan gagalnya fungsi pemerintahan dalam menjalankan tugas kenegaraan, untuk melindungi kepentingan seluruh masyarakat.
Dalam kajian Amartya Sen, perspektif kombinasi distribusi kemakmuran, berjalan seiring dengan corak pemerintahan, sekaligus pada terbentuknya infrastruktur demokrasi yang menghadirkan keadilan.
Merujuk hal terakhir tersebut, bila kemudian sebuah BUMN berakhir pailit, atau diprivatisasi. Maka persoalan keadilan serta distribusi kesejahteraan bagi publik, menjadi semakin jauh dari harapan. Bahkan berpotensi menciptakan penurunan kepercayaan -public trust yang dapat menjadi ancaman demokrasi.
Beberapa negara gagal yang berujung pada konflik, justru memiliki potensi sumberdaya yang cukup bagi kesejahteraan publik, tetapi tidak mencukupi bagi ambisi kekuasaan. Dan untuk itu, persoalan pengelolaan BUMN harus dibersihkan dari berbagai tangan kotor, diluar kepentingan publik itu sendiri.
(Penulis adalah Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid)